Sunan Gunung Djati-Wah.., saya terperanjat kaget setengah mati. Ketika baru-baru ini santer diberitakan media cetak dan online tentang kasus plagiasi tulisan orang lain oleh seorang profesor muda dari Universitas Parahyangan.
Profesor ini, sering menulis di media massa cetak nasional maupun daerah. Saya pernah membaca tulisannya di Harian Pikiran Rakyat, Kompas, Tempo, Media Indonesia, dan media lainnya.
Kalau tulisannya yang di The Jakarta Post, saya belum membacanya. Hanya tahu, bahwa sang profesor terbukti sudah memplagiasi tulisan ilmiah profesor dari luar negeri.
Kasus ini, sebetulnya bukan kali pertama. Pada tahun 2008, katanya, dia pernah memplagiasi tulisan dua orang profesor dari Filipina. Data lengkapnya saya punya. Jadi, sudah dua kali, sang profesor muda ini melakukan upaya pembohongan publik. Saya jadi sedikit menerawang; kasus plagiarisme merupakan sebuah bentuk bobroknya dunia akademisi kita. Banyak profesor, yang diraih bukan atas dasar kualitas intelektual. Namun, saya yakin sang profesor tersebut adalah orang pintar, karena lulusan luar negeri. Ya, itu tadi, tak ada cahaya moral dalam diri hinggga mengakibatkan mengambil jalan cepat untuk mencapai tujuan.
Saya rasa, dari ratusan buah pikir sang profesor itu, hanya satu-dua kali dilakukan dengan cara memplagiasi tulisan orang lain. Ini wanti-wanti bagi penulis di media massa. Jangan asal copy paste tanpa menyertakan sumbernya. Mengklaim tulisan orang lain sebagai buah karya sendiri, adalah kejahatan intelektual. Kenapa? Sebab, kita telah membohongi publik. Kalau nanti, anda sudah menjadi orang terkenal, kemudian ada pihak media yang meminta tulisan, jangan mengambil jalan pintas (copy paste segala). Kemudian, jangan menggunakan jasa Ghost writer. Mereka kerap kali mengambil jalan pintas….lho. Jangan percaya pada orang lain, tapi percayailah diri sendiri ok!
Tulislah buah pemikiran anda sendiri. Kalau perasaan lagi nggak mood, ya diamkan saja dulu. Tunggu beberapa hari untuk menulis kembali. Saya – meskipun baru beberapa tahun menulis di media massa – mencoba belajar menulis tanpa kutipan dari orang lain. Ya, sejak saya mengenal dunia internet ini dengan cara menuangkan buah pikiran via blog atau website komunitas. Saya bisa bebas menulis, tanpa ada paksaan dan tuntutan dari luar. Pernahkah saya memplagiasi tulisan orang lain? Tak pernah. Mungkin kalau mengutip saya pernah. Agar tulisan nggak disebut plagiasi, sertakan sumber ketika kita mengutip buah pikiran orang lain. Itu adalah sebentuk penghargaan intelektual bagi mereka.
Ketika melakukan plagiasi tulisan, matilah karir intelektual kita. Dan, setiap media memberlakukan kebijakan “daftar hitam” bagi penulis-penulis yang terbukti melakukan plagiasi. Tulisan kita tidak akan dimuat kembali selama beberapa tahun. Bahkan, selama-lamanya. Untuk kasus sang profesor muda tadi, ia harus legowo mengundurkan diri dari jabatan di universitas dan gelarnya dicopot. Kebayangkan, kalau pendidikan dari luar negeri tidak menjamin seseorang dapat memegang komitment moral seorang dosen. Jadi, ngapain sekolah tinggi-tinggi ke luar negeri, kalau hanya piawai mengklaim atau copy paste tulisan orang lain? Hahaha
Catatan: Plagiarisme = watak atau faham mengklaim kekayaan intelektual orang lain untuk membesarkan nama diri sendiri. Plagiasi = usaha mengklaim kekayaan intelektual orang lain. Plagiator = sebutan bagi orang yang kerjaannya mengklaim karya orang lain dengan nama diri sendiri. Wanti-wanti, sebutkanlah sumber kutipan ketika anda membaca karya orang lain. Jangan asal copy paste…, itu kata teman saya. [SUKRON ABDILAH, Pimred Sunan Gunung Djati]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H