Sunan Gunung Djati-Istilah teror dan intimidasi dulu sangat populer pada masa pemerintahan Orde Baru. Saat itu negara dikelola dengan manajemen teror pemerintahan yang otoriter.
Teror dan intimidasi memang dinilai ampuh untuk mengamankan legitimasi kekuasaan Orba, terbukti selama 32 tahun sistem menajemen teror penguasa mampu mengendalikan semua lini pemerintahan. Para aktifis kebenaran yang bersuara vokal dan lantang terhadap pemerintahan secara masif dan agresif ”diamankan” dengan cara diculik lalu dipenjara bahkan sampai dibunuh.
Rupanya, setelah dua belas tahun era reformasi berjalan, manajemen teror ala Orba tersebut belum sepenuhnya hilang. Apa yang menimpa Tama Satria langkun, aktifis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dianiaya oleh sekelompok orang yang tidak dikenal pada tanggal 8 Juli 2010 lalu dan juga pelemparan bom molotov ke kantor Tempo, merupakan bukti nyata, bahwa gaya premanisme, intimidasi dan teror masih bersemi di negeri tercinta ini. Peristiwa yang terjadi beruntun tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa peristiwa itu terjadi dalam waktu hampir bersamaan? Mengapa pula peristiwa itu terjadi tatkala ada pengungkapan rekening gemuk para perwira tinggi Polri? Siapa sebenarnya aktor dan pelaku di balik dua kasus tersebut? Resiko perjuangan kebenaran. Dunia aktivis adalah dunia idealis. Idealisme tumbuh subur menjadi elemen abstrak bernama gairah melakukan aktivitas dan perlawanan terhadap ”kemunafikan sosial”. Aktifis adalah eksekutor yang memiliki tanggung jawab yang lebih dari masyarakat umum karena posisinya yang lebih intens menjamah sumber-sumber pencerahan dan informasi publik, sehingga ia tidak saja berperan sebagai ”agen perubahan” an sich menjadi ”pengarah perubahan”. Disinilah para aktifis berperan seolah ”anjing penjaga” (wacthdog) yang setiap waktu akan selau ”menggonggong” untuk sekedar mengingatkan ataupun ”menggigit” terhadap para penguasa yang tidak patuh pada tuannya (baca: rakyat). Namun perlu disadari, bahwa perjuangan untuk menegakan kebenaran dan keadilan tidaklah berjalan dengan mulus, selalu ada kerikil dan duri yang menjadi hambatan. Ada pihak yang tidak senang dan ”terganggu, sehingga ia berusaha untuk menghentikan ”aksi moral” tersebut. Maka sebenarnya perjuangan aktivis kebenaran tidak saja mempertaruhkan idealismenya semata, juga merupakan pertaruhan nyawa. Lingkup terkecil saja, dunia aktifis mahasiswa tidak terlepas dari sikap teror dan intimidasi. Aktifis mahasiswa yang sedikit vokal dan lantang mengkritisi kebijakan serta ketimpangan di kampusnya, terkadang diancam lewat jalur akademis. Entah proses perkuliahannya akan dipersulit, atau ujiannya tidak akan diluluskan, dan sebagainya. Dalam lingkup kehidupan politik berbangsa dan bernegara, tak jarang para aktivis kebenaran mendapatkan teror dan intimidasi. Ingatan kita masih segar, bagaimana (alm) Munir yang meninggal karena diracun. Sebab banyak pihak yang merasa ”terusik” dengan perjuangan beliau yang sangat frontal memperjuangkan penegakan hak asasi manusia (HAM). Ada beberapa hikmah yang bisa kita jadikan pelajaran dari kejadian yang menimpa aktivis ICW dan Koran Tempo tersebut. Pertama, saya menyakini bahwa aksi teror dan intimidasi tersebut bukan semakin menciutkan dan matinya gerakan advokasi dan perjuangan kebenaran. Justru malah sebaliknya, akan semakin masif dan agresifnya proses perjuangan tersebut. Meminjam terminologi dalam dunia persilatan Thie Khie I Beng, ilmu yang bisa menyedot kekuatan lawan. Bahwa, setiap tekanan dan pukulan yang dilancarkan kepada para aktivis, bukannya menghancurkan, tetapi justru akan menambah kekuatan mereka. Kedua, negara harus menjamin perlindungan dan kemanan bagi setiap warga negara, terutama para aktifis kebenaran. Dengan cara menguatkan peranan Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK). LPSK harus diberi kewenangan lebih untuk pro aktif “menjemput bola” bagi para korban dan saksi untuk berusaha menawarkan perlindungan. Sebab selama ini LPSK hanya “menunggu bola” untuk melakukan perlindungan. Ketiga, pengusutan kasus ini harus benar-benar komprehensif dan terbuka. Siapa aktor dibalik aksi teror tersebut? Bukan rahasia umum lagi, opini yang berkembang di masyarakat bahwa peristiwa tersebut terkait dengan lembaga Polri. Kepolisian sebagai institusi pelindung dan pengayom masyarakat harus benar-benar serius mengusut kasus ini. Bagaimanapun perjuangan para aktifis kebenaran ini sangatlah mulia. Mereka senantiasa menjadi garda terdepan (avant garde) dalam konteks perubahan sosial dan reformasi bangsa yang konstruktif bagi masa depan. Mudah-mudahan kejadian ini dijadikan sebagai the rallying point, yang akan menimbulkan efek solidaritas dan membentuk basis dukungan dari berbagai pihak, sehingga perjuangan untuk menegakan kebenaran dan keadilan semakin kuat. Intimidasi dan teror adalah resiko dari perjuangan. Kita yang hanya “Diam” saja mempunyai resiko apalagi berjuang. Wallahu A’lam Penulis adalah pengurus Badko HMI Jawa Barat, peneliti pada Rausyan Fikr Insitute.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H