Komentar dan Catatan Kecil Tentang Penulis Buku Catatan Harian Oposisi Rice Cooker Tak ada gunanya mati jika kamu tak menghantui ingatan seseorang… Jika kamu tak meninggalkan secercah rasa. (Peter Ustinov)
Sunan Gunung Djati-Ungkapan diatas sangat menarik, seperti ingin menjelaskan bahwa kehidupan dan kematian seseorang akan sangat berharga jika ia memberikan gagasan, karya dan manfaat bagi orang-orang—khoirunnas anfa’ahum linnas, dan Ibn Ghifarie telah memulainya melalui salah satu karyanya ini.
Jujur saja, membaca kumpulan catatan harian yang sederhana ini, saya seperti dihadirkan kembali in a reality that was slipping a way, dalam realitas yang telah menghilang pergi, dan itu berarti karya ini menjadi semacam ikhtiar yang mencoba menempatkan kita kembali (yang terlibat didalamnya) pada proses muhasabah dalam labirin prolonged infantilism yang tak kunjung korejat. Atau dengan kata lain, bisa jadi semacam “marginalia” dalam mushaf-mushaf kenyataan yang apak dan berdebu di rak pustaka keseharian kita. Ini mesti cukup menggembirakan, karena catatan harian—seperti laiknya jenis karya pena lain yang awalnya berkecambah dari kegelisahan—mengakui sebuah keharusan gagasan, perasaan dan pengamatan untuk bermain bebas didalamnya. Ia bisa menjadi semacam rasa empati bahkan protes, atau lebih jauhnya, memberi cibiran terhadap disequilibrium, insomnia sampai apatisme terhadap sekitar dengan cara yang santun dan beradab, yaitu menulis. Dengan menulis, pendapat kita abadi; tidak seperti protes sesaat, demikian Helvy Tiana Rosa takjub.
Begitupun salah satu karya Ibn Ghifarie ini, tiba-tiba menjadi semacam terapi untuk penyakit insomnia saya terhadap pelbagai peristiwa yang lewat. Tak berlebihan, karena saya percaya bahwa mencatat dan menulis merupakan semacam “formula” agar kita tak kehilangan beberapa ingatan; dan Ibnu Ghifarie melakukannya dengan lucu, akrab, haru dan atau tiba-tiba menghentak. Setiap tahap gagasan dan kesaksiannya seperti mengingatkan saya bahwa kejadian di sekitar yang sedang dan telah saya lewati tak selamanya adem dan halal. Tapi, ngomong-ngomong, syapa seh Ibn Ghifarie?
Ibn Ghifarie lahir ke dunia ini di Kandangwesi Bung Bulang Garut Selatan, pada 20 Januari 1984. Kawan-kawan dekatnya sering memanggilnya dengan panggilan akrab: Boelldzh (baca; Buled), dari pengertian basa Sunda, karena postur tubuhnya bulat. Ia menempuh pendidikan kolor merah di SDN Bung Bulang II Garut. Pergi merantau sekolah menengah di Mts Tarogong, MA Tarogong. Petualangan belajarnya kemudian parkir di UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada tahun 2002, di jurusan Studi Agama-Agama (d/h Perbandingan Agama). Konon, kelak ia sempat dikutuk menjadi “sekertaris” kaum aktivis di kampus tersebut.
Perlu diketahui juga, ia pelajar aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Pencinta Alam (PA). Kuatnya pengaruh keluarga dalam beraktivitas di kampus mencetaknya jadi pemuda “hiperaktif” dalam prestasi pergulatan kemahasiswaan, diantaranya mangkal di BEMJ PA (Badan Eksekutif Mahasiswa) Jurusan Perbandingan Agama sebagai Sekretaris (2003-2004), Ketua DLMJ PA (Dewan Legislatif Mahasiswa Jurusan) (2004-2006) dan Komisi A DPM (Dewan Perwakilan Mahasiwa) KBM UIN SGD Bandung (2004-2005), Sekretaris Umum LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) Bandung (2003-2004). Tak hanya itu, iapun aktif di organisasi ekstra kampus, sempat menjabat sebagai Sekjend GMPI (Gerakan Persatuan Mahasiswa Islam) Bandung (2004-2005), ikut pula membidani terbentuknya Foramgas (Forum Aliansi Mahasiswa Garut Selatan) (2003-2004), PPMK (Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Kandangwesi) (2004-2005), FKMPAI (Forum Komunikasi Mahasiswa Perbandingan Agama Se-Indonesia) (2003-2004), Forsada Jabar (Forum Silaturahmi Antar Beda Agama) Jawa Barat (2003-2004) dan mungkin banyak yang lainnya.
Inilah Ibn Ghifarie alias Boelldzh. Sebenarnya ia jarang bicara, tapi ia lebih senang menjelaskan setiap kata, gagasan dan perasaan lewat pena. Tempo dulu—seperti yang pernah diceritakannya—ia memang lebih giat bicara, hingga mendapat julukan Singa Podium. Apalagi bila bicara tentang persoalan sekitar, mulai dari kaum minoritas, anak jalanan, nasib perempuan, para tokoh, sampai tetek bengek permasalahan politik. Kini, ia hanya mungkin lebih banyak bertemu kita lewat ruang menulis. Sebab, “ruang tersebut memberi kehormatan besar bagi setiap orang yang ingin hidup beradab” ucapnya suatu ketika. Beberapa kumpulan karyanya diantaranya Mengugat Gerakan Mahasiswa (2005), Pergulatan Pemikiran Mahasiswa Di Saka (2006), hadir juga dalam Antologi Puisi 11 Titik (2007), buku “Catatan merah” tentang kampusnya yang akan segera diterbitkan akhir tahun ini dengan judul Menggugat Kampus Islam, dan banyak tulisan-tulisan lainnya yang masih berserak disetiap forum maya. (Sebagian isi buku ini juga sudah diimplementasikan di situs blognya: http://www.ghifarie.web.id)
Kesehariannya memang sempat hanyut mengelola forum maya, mailing list dan chatting untuk diskusi panjang dengan siapapun. Ia cukup senang mencari kawan sebanyak-banyaknya di dunia maya. Pun ia seorang blogger yang handal. Dunia maya jadi salah satu taman bermainnya. Tak heran jika ia kemudian sempat keasyikan dan tertarik juga menikmati Teori Small World Phenomenon-nya sosiolog Stanley Milgram dan Six Degrees of Separation Theory dalam layanan Friendster.com. Ia cukup lihai menjaring kawan-kawan di dunia maya. Tapi kesehariannya memang lebih dipenuhi dengan kegiatan menonton berita, membaca, diskusi dan menulis. Betapa tolol orang ingin menghentikannya menulis. Betapa tidak, menulis sudah menjadi “ritual pacaran” baginya. Disaat yang lainnya kencan di malam minggu, dia menulis. Disaat saya banting setir dari kegiatan menulis dan tergoda pada proyek inovasi “nuklir” dari unsur-unsur kacang kedelai dan ginseng, dia masih tetap menulis. Itu sebabnya tak sungkan jika saya bilang, berhati-hatilah berjalan di hadapan Ibnu Ghifarie, karena barangkali ia dapat menjadikanmu sebuah “korban” berita, atau semacam catatan pribadi. Hm, tapi itu akan menyenangkan daripada kita harus menjadi sepotong keju…
Sedikit catatan lagi tentangnya. Yang saya tahu, dia amat terbuka dalam pergaulan, bisa masuk semua kalangan di kampusnya. Dia bisa enjoy melakukan banyak hal, kecuali disuruh memakai baju warna pink, mengenakan jeans skinny leg tahun 80-an, sepatu pantofel warna kuning cerah, mengoleksi lip gloss, berjalan manis di catwalk dan menghina pengangguran. Ia menyukai baju warna hitam dan hobbi mutlaknya ada 5: membaca, diskusi, menulis, menulis dan menulis. Yap, nulla dies sine linea, itulah motto yang cocok bagi aktivis yang kemudian cukup lama sempat sibuk menjadi wartawan kampus ini.
Walhasil, dari buku Oposisi Rice Cooker ini, saya menemukan banyak catatan-catatan harian yang sarat kegelisahan, protes sampai beberapa kegembiraan yang kemudian seperti segera akan terasa dingin kembali dipermukaan bathin, hanya karena bisingnya peristiwa-peristiwa yang menuntut mesti dimengerti. Namun, sepatutnya kita berharap, kumpulan catatan harian ini mudah-mudahan jadi semacam der kampf der erinnerung, perjuangan untuk mengingat dan mengenang serta pelajaran berharga pada anak-anak LPIK khususnya, masyarakat (kampus) umumnya. Mudah-mudahan gagasan dan seluruh isi di buku ini juga benar-benar mampu menghantui ingatan dan meninggalkan secercah rasa bagi banyak orang…
Mh, saya jadi iri pada Ibn Ghifarie; tekadnya untuk terus menulis sudah benar-benar buled. Sukses Boelledzh! [Badru Tamam Mifka]