Sunan Gunung Djati-Sejarahwan Azyumardi Azra dalam sebuah tulisannya pernah menyatakan, sumber lokal tanpa disandingkan dengan catatan sejarah yang sezaman atau yang ditulis oleh orang luar (asing) tidak kuat dalam rekonstruksi sejarah.
Bahkan, penulisan sejarah Islam pun masih bersifat konvensional dan bernuansa politik tanpa memperkaya dengan tinjauan ilmu-ilmu sosial sehingga terkesan bahwa sejarah Islam itu terpenggal-penggal.
Azra berharap bahwa penulisan sejarah pada masa sekarang ini harusnya mulai menggunakan pendekatan baru; menulis sejarah dengan menyuluruh dan interpretasinya dikuatkan dengan ilmu-ilmu sosial. Pernyataan ini memang bukan lahir dari seorang yang tidak mengerti sejarah dan operasional metodologi sejarah, tetapi betul-betul menunjukkan seorang yang berpegang pada landasan akademis.
Saya pernah mendapat pencerahan perihal yang sama ketika mengikuti kuliah metodologi sejarah di Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab UIN Sunan Gunung Djati Bandung sekira 2001 di bawah asuhan Dr.Sulasman, M.Hum. Namun karena saya tidak terlalu “serius” dalam kuliah sehingga hal-ikhwal metodologi sejarah hanya sekadar memenuhi kebutuhan kuliah semata. Baru pada saat hendak membuat skripsi yang berjudul “Konsep Sejarah Menurut Ali Syariati”, terpikir bahwa metodologi sangat penting untuk menguatkan pemikiran yang hendak ditulis. Kemudian dibaca beberapa buku yang berkaitan dengan metodologi sejarah, bahkan teori-teori hermeneutika pun dipadukan dalam menganalisis karya-karya Ali Syariati. Singkat kata, selesailah skripsi itu dan disidangkan pada Agustus 2003 dengan dua penguji dosen senior: Aam Abdillah dan Ajid Thohir.
Memang tidak ada debat kusir yang neugtreug, bahkan dari pertanyaan yang diajukan keduanya tidak terlalu susah dalam menjawab. Saya hanya mengira keduanya memang tidak mengetahui tentang Ali Syariati sehingga hanya sekadar berbagi informasi. Bisa dimaklumi karena wacana-wacana pemikiran kesejarahan dari kalangan Muslim Syiah belum muncul selama perkuliahan. Saya tidak tahu apakah sudah masuk dalam studi filsafat sejarah Islam dan teori-teori sejarah?
Kembali pada metodologi sejarah, khususnya sumber penulisan sejarah. Almarhum Prof.Dr.Kuntowijoyo dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah menerangkan bahwa ada empat tahapan yang harus dilakukan seorang sejarawan dalam menyusun karya sejarah.
Pertama, heuristik atau pengumpulan data sejarah yang betul-betul valid dan otentik yang kemudian terbagi data primer dan sekunder. Memang yang menjadi persoalan dalam sebuah karya sejarah, bahkan kritikan dari berbagai akademisi sejarah biasanya pada sumber. Tidak semua data masa lalu bisa bisa menjadi sumber penulisan sejarah (historiografi) dan yang termasuk ke dalam sumber sejarah hanya ada dua: saksi mata sejarah dan naskah (tercetak) atau jejak arkeologis. Menurut Kuntowijoyo, untuk yang pertama sangat susah sekali menemukannya. Apalagi jika yang dikajinya itu peristiwa atau masa yang berabad-abad pasti tidak akan ditemukan orang yang hidupnya ratusan tahun. Karena itu, sumber yang pertama ini untuk penelusurannya kadang diabaikan kecuali jika rentang waktunya dekat. Hanya naskah yang tercetak atau jejak arkeologis yang memungkinkan bisa menjadi sumber untuk merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah.
Kedua, kritik atau pengujian kebenaran. Setiap data atau sumber yang ada itu harus diuji kebenarannya sebelum benar-benar dinyatakan sebagai sumber yang valid. Apabila sudah betul-betul lulus uji alias kebenarannya tidak disangsikan maka data itu disebut fakta sejarah.
Ketiga, interpretasi. Fakta-fakta sejarah yang sudah dikritik dapat direkonstruksi sembari memberikan interpretasi dalam penyusunannya. Bahkan, sangat dianjurkan seorang sejarawan menggunakan bantuan ilmu-ilmu sosial atau ilmu bantu lainnya dalam upaya mengungkap hakikat dibalik peristiwa. Apabila sudah melakukan interpretasi kemudian masuk tahapan menuliskannya atau historiografi. Inilah tahapan terakhir (keempat) dalam penelitian sejarah.
Benarkah melalui metodologi sejarah dapat terungkap dengan jelas gambaran sejarah pada masa dahulu? Pertanyaan inilah tampaknya yang perlu dijawab karena dalam setiap karya tidak lepas dari subjektivitas sang penulis sejarah. Meskipun dengan menggunakan metodologi ilmiah, saya yakin para sejarawan dalam merekonstruksi sejarah baru sekadar mengira karyanya sebagai yang benar dan tidak ada sejarawan yang mampu menghadirkan masa lalu dengan sebenar-benarnya kejadian.
Hal ini juga yang pernah dikemukakan Ahmad Mansur Suryanegara (AMS) dalam diskusi dibeberapa tempat mengenai buku Api Sejarah. Menurutnya, ia tidak dapat mengambil informasi dari mereka yang sudah wafat atau pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia; yang dalam ilmu sejarah termasuk sumber pertama (primer). Apalagi data-data yang tertulis yang berkaitan dengan tokoh dan peristiwa sejarah sulit untuk ditemukan. Memang ada beberapa catatan yang ditulis oleh pegawai administrasi atau para penulis Belanda, tetapi harus disadari bahwa yang mereka kerjakan semata-mata untuk kepentingan menjajah. Karena itu, AMS mengaku dalam proses rekonstruksi sejarah tidak hanya mengandalkan sumber-sumber yang ada, tetapi menggunakan pendekatan spiritual.