Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyantap Kebenaran

16 November 2009   17:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:19 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Benarkah setiap “kebenaran” selalu mungkin diberi tanda kurung dan di dalamnya ia punya kemungkinan untuk bisa dilukai? Pantaskah saya menjawab “benar” untuk jawaban diatas sebagai pernyataan miniatur dari keyakinan yang saya pegang? Saya kesulitan bermain dadu diantara keraguan dan keyakinan yang mutlak terlukai. Antara harapan untuk meragukan segala sesuatu dan keyakinan yang tak henti digugat. Tak ada titik final bagi kebenaran, seperti juga tak ada titik final bagi keberlangsungan eksistensi manusia dengan segenap perangkat nalar dan sebagainya. Jadi, barangkali tak terlalu salah jika kita tak akan pernah sampai pada titik yang sebenarnya. Yang ada hanyalah rasa humor yang tinggi bagi kecemasan kita dalam memahami dunia, Tuhan dan tetek bengek lainnya. Tentu saja, dalam selera pandang yang berbeda, dan saya mesti–dalam hal tertentu–meyakini bahwa saya bisa meyukai humor sampai mati. Bukankah itu “kebenaran” yang pribadi, dan itu absah. Persoalannya, kenapa kita tak juga berhenti menghibur diri dalam pelbagai keyakinan-diri yang dibangun dengan menghalalkan caci-maki, darah dan sebagainya dan sebagainya? Sementara kita tak peduli pada akibat-akibat universal, misalnya, dari sebab-sebab parsial seperti merampas hak orang lain untuk berpikir dan berkeyakinan dengan jujur dan baik. Atau barangkali kita seperti menyantap kebenaran diatas meja makan yang sama, seperti rasa kenyang selalu akan hilang beberapa jam kemudian…setelah kita membuang sesuatu yang menjijikan dari anus nalar dan kesombongan kita, diatas kepala orang lain… Dalam pemikiran dan lainnya, saya hanya punya niat sederhana: setelah makan malam, saya selalu menyempatkan diri untuk membuktikan-diri bahwa saya suka humor, seperti juga tusuk gigi yang dibuang setelah pakai, dan kembali diingat setiapkali saya selesai makan… [BADRU TAMAM MIFKA] Catatan Harian, Desember 2007

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun