Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kemana Idealnya Arah Pendidikan Islam?

18 November 2009   07:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:17 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sunan Gunung Djati-Jika Aa Nafis menulis novel runtuhnya surau kami, maka jika kita mau jujur, saat ini ‘lampu kuning’ pendidikan tengah menyala, karena bisa jadi runtuhnya madrasah (baca: lembaga pendidikan) akan terjadi.

Banyak contoh yang menggambarkan keruntuhan madrasah itu tengah terus terjadi. Bicara kualitas, belum banyak keluarga atau pun lembaga pendidikan Islam yang memiliki kualitas tinggi, hanya bisa dihitung jari. Bahkan, tak sedikit, lembaga pendidikan yang harus gulung tikar, atas sekedar ada saja.

Akibatnya, produk pendidikan Islam dinilai gagal menghadapi realitas sejarah. Tantangan zaman yang menuntut kesanggupan mental, skill dan keterampilan yang mumpuni belum sepenuhnya bisa dihadapi. Bukan sekedar kecerdasan intelektual dan keterampilan, tapi juga kecerdasan emosional dan spiritual harus dimiliki produk pendidikan Islam.

Celakanya lagi, terdapat pemahaman keliru, bahwa pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada lembaga pendidikan formal dan informal. Padahal pengertian lembaga pendidikan Islam termasuk di dalamnya adalah keluarga. Justru keluarga itu lah sebagai tempat inti terjadinya proses pendidikan setiap saat. Bahkan, pendidikan itu sudah dimulai semenjak sang ibu membangun komunikasi penuh cinta dengan sang bayi yang masih di kandungan.

Memang, masih ada keluarga yang menjadi basis pendidikan Islam. Sudah banyak juga lembaga pendidikan Islam seperti pesantren yang melakukan transformasi diri. Namun jumlahnya belum banyak dibanding kebutuhan. Karena jika dilakukan perbandingan, jumlah umat Islam tidak sebanding dengan jumlah lembaga pendidikan Islam berkualitas.

Jika demikian, kemana idealnya arah pendidikan Islam? Sebuah pertanyaan yang menggugat sekaligus mengingatkan kepada kita semua sebagai stakeholder pendidikan Islam, tentang pentingnya merumuskan kembali konsep pendidikan Islam dengan basis epistemologi yang cocok, ideal.

Dalam seminar internasional bertajuk Epistemologi Dalam Perspektif Islam; Teori dan Aplikasinya Dalam Institusi Pendidikan Tinggi, yang diselenggarakan UIN Bandung, 13 November 2009. Sebagai pembicara, hadir Osman Bakar, Deputy CEO, International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia; Ahmad Tafsir, Ketua Program Doktor Pendidikan Islam UIN Bandung dan Nanat Fatah Natsir, Rektor UIN Bandung.

Disimpulkan bahwa peradaban dibangun oleh epistemologi. Praktik epistemologi salah satunya ada dalam pendidikan, lebih praktis lagi ada dalam kurikulum. Dalam praktik nyatanya, orang tua, guru dan dosen menjadi pelaku, mediator dari basis epistemologi tersebut. Pendidikan adalah model transformasi nilai, epistemologi dan pengetahuan antar generasi. Pendidikan adalah sistem keadaban yang ada semenjak manusia ada, diciptakan. Modelnya dari pendidikan sederhana sampai yang sifatnya bertingkat. Akarnya adalah epistemologi.

Namun, soal ini, rupanya sebagian besar pelaku pendidikan banyak yang tidak menyadari atau mungkin tidak memahami. Akibatnya, produk pendidikan Islam atau pendidikan Indonesia seperti kebingungan dan hanya bisa mengekor dengan konsep pendidikan yang basis epistemologinya berasal dari Barat. Terlebih, di lingkup keluarga, sebagai lembaga pendidikan inti, dominasi tayangan televisi telah menjadi guru baru yang menguasai kesadaran dan pengetahuan keluarga.

Osman Bakar, Ph.D dalam paparannya menyatakan semua kebudayaan dan agama, memiliki basis epistemologinya sendiri-sendiri. Karena itu, keliru jika dengan serta merta dan tanpa sikap kritis mengambil epistemoli dari peradaban Barat. “Tak mungkin kita memiliki epistemologi yang unggul tanpa memiliki kosmologi (pandangan dunia tentang alam) dan psikologi (pandangan dunia tentang manusia) yang komprehensif,” katanya.

Lebih lanjut, Osman menyatakan, kosmologi dan psikologi Islam dibangun dengan prinsip tauhid. “Kita bersedia untuk mengambil dari berbagai sumber, selama itu cocok dengan semangat tauhid yang menjadi konsep keimanan umat Islam,” tegasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun