Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Fatihah” Bencana

18 Maret 2010   01:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:21 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sunan Gunung Djati-Silih bergantinya bencana di bumi Indonesia, kendati tidak sehebat gempa di Jawa Barat, Padang, dan Tsunami di Aceh; bukan berarti optimisme hidup kita mesti berhenti.

Masih segar dalam ingatan kolektif, longsor di Kabupaten Bandung beberapa minggu ke belakang. Beberapa hari ini, guyuran hujan lebat dibarengi kilatan petir dan gemuruh angin juga, sejatinya tak membuat kita dipenuhi kegelisahan dan putus asa. Bencana, dalam doktrin ajaran Islam, ialah ”kiamat shugra” yang dapat menyadarkan kita ikhwal substansi kehidupan yang kerap kita abaikan.

Bencana dalam kehidupan dapat berfungsi sebagai pemantik kesadaran ekologis sekaligus kesadaran teologis dalam diri umat manusia. Kesadaran yang sempat mengendap menjadi reflika tak tersentuh refleksi itu, ketika bencana ujug-ujug muncul ke alam sadar tanpa kendali. Adakah perilaku destruktif umat manusia yang mengakibatkan alam kembali menyemburkan aneka bencana? Pakar sufisme, Seyyed Hossein Nasr, dalam buku “The Garden of Truth; Mereguk Sari Tasawuf” (Mizan, 2010) mengetengahkan penafsiran maknawi terhadap surah al-Fatihah. Surah Al-Quran yang sering dibaca minimal 17 kali oleh umat Islam tersebut, katanya, mengandung konsep tauhid yang bersifat ekologis. Manusia yang menyadari bahwa Tuhan pencipta alam raya, ia akan memahami hubungan yang dibina dengan alam haruslah bersifat keilahiyan. Ini artinya, memosisikan alam sejajar dengan eksistensi dirinya sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati. Kesadaran eco(teo)logis Pendapat Seyyed Hossein Nasr itu berpijak pada kalimat “alhamdulillahi rabbi al-alamin” dalam surah al-Fatihah sebagai inti pentingnya kesadaran ekologis yang bersifat ilahiyah (eco-teologis). Kalimat pujian “alhamdulillah” kemudian dilanjutkan dengan kalimat “rabbi al-alamin” menunjukkan umat manusia sejatinya menempatkan alam sebagai bagian dari-Nya. Sebab “rabbi al-alamin” secara etimologis berarti: pemelihara, penjaga, atau laiknya ibu yang melahirkan alam ini. Menghormati alam berarti menghormati sang pemelihara, sang pemilik atau sang penjaga alam (Allah). Namun, keserakahan umat manusia menyebabkan alam ini mulai mengidap kesakitan di setiap rusuk, sehingga ekosistem tidak berjalan seimbang. Ketika musim hujan tiba, tumpukan sampah mengakibatkan aliran air tak mengalir di tempat semestinya. Alhasil, banjir dan longsor tentunya merebak pada musim ini sebagai pemantik kesadaran kita bahwa mesti mewaspadai labilitas topografi alam. Seandainya surah al-Fatihah dipahami secara maknawi oleh ratusan juta umat Islam Indonesia. Entah itu oleh pejabat, tokoh masyarakat, rakyat, agamawan, dan yang lainnya. Di dalamnya ada pemantik yang siap menyalakan kesadaran umat manusia: membina hubungan yang harmonis dengan alam adalah misi suci ajaran Islam. Di kedalaman jiwa umat manusia tersimpan reflika kesadaran yang terpendam. Tuhan, sang pemilik alam raya, sebelum umat manusia lahir ke muka bumi meniupkan ruh “kesadaran” untuk berelasi seharmonis mungkin dengan alam sekitar. Namun, karena syahwat atau nafsu keserakahan sedemikian kuat dalam diri manusia akhirnya kesadaran tersebut terpendam, kemudian menghilang. Manusia, pada posisi ini, mengagungkan peradaban material sehingga alam menjadi objek eksploitasi “seksis” yang berujung pada kerusakan ekologis. Tugas suci kita, sebagai makluk-Nya adalah memperjuangkan ide, harapan, cita-cita, resolusi diri, dan imajinasi kesejahteraan bangsa agar mewujud dalam bentuk nyata. Dalam bahasa lain, memungut kembali ”reflika kesadaran” sebagai manusia berkesadaran ekologis harus mulai dicamkan tanpa henti di sanubari. Bukan lantas menjadi angan yang bersifat fana dan tiada. Apalagi di tengah ketidakseimbangan ekosistem, cuaca yang tak terprediksi, bencana alam terjadi di hampir setiap daerah; kita sejatinya bahu membahu membenahi ”relasi tak seimbang” untuk menghormati saudara kita (alam sekitar). Peradaban Indonesia memiliki potensi besar menjadi negara hebat di dunia kalau ditopang dengan konstruksi peradaban utama. Tentunya tanpa mengabaikan tradisi ketimuran (misalnya local wisdom, spiritualitas dan immaterial), peradaban yang kita bangun sejatinya tak bersifat eksploitatif dan dekonstruktif. Dalam upaya mewujudkan peradaban utama, ormas dan tokoh Islam sepatutnya mengejawantahkan visi pembebasan. Ketika pengrusakan alam merajalela, agama sejatinya memberikan advokasi yang membebaskan alam dari tangan-tangan tak bertangungjawab manusia. Al-quran, khususnya surah Al-Fatihah, me­negaskan individu harus berterima kasih atas pemberian alam oleh Tuhan dalam kehidupan ini. ”Fatihah bencana” bagi kita ialah melakukan pendobrakan atas logika pembangunan bangsa ini dari yang mengeksploitasi alam ke arah logika pemeliharaan agar pembangunan menjadi berkelanjutan (sustainable). Kesadaran seperti itulah yang sepatutnya kita punguti bersama. Tuhan menempatkan manusia sebagai faktor penentu kelahiran sebuah perubahan dalam se­jarah kehidupan. Hancur dan bangkitnya peradaban manusia ditentukan sikap, mental, dan paradigma yang kita bangun dalam menggulirkan pembangunan. Karena itu, sebuah keniscayaan bagi umat manusia kembali meresapi tujuan diciptakan dirinya ke muka bumi. Selain menebarkan benih ”rahmat” bagi alam sekitar (rahmatan lil alamin), dalam surah Al-Fatihah tujuan kita diciptakan ialah bersyukur atas pemberian-Nya berupa alam (alhamdulillahi rabbi al-alamin), di mana hidup kita bergantung kepadanya. Tak heran jika Tuhan sangat mencela manusia yang melakukan pembunuhan (terhadap manusia) dan merusak (alam sekitar). Wallahua’lam [SUKRON ABDILAH]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun