“Agama memiliki sembilan nyawa…” demikian Goenawan Muhammad bicara. Ia tak pernah mati-mati meskipun manusia—atau apapun namanya—menusuknya berulangkali. Bahkan nun di belahan dunia lain konon para sosiolog seperti Peter Berger, Jose Cassanova, dan Rodney Stark percaya bahwa dunia kita bukannya sedang mendekati kepada satu titik yang sekular, tapi justru kepada titik di mana agama-agama menjalani kebangkitannya…
Sunan Gunung Djati-Betapa takjub saya menulisnya kembali, di sebuah taman yang lurus menghadap mesjid besar, sembari saya melihat orang-orang berbondong-bondong dan memenuhi mesjid.
Ketika saya sempatkan diri masuk lebih dalam, saya dengar suara orang-orang ramai melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, dan setelah itu bicara tentang pribadi yang takzim pada agamanya yang besar; seperti juga yang kerap saya dengar dari ceramah dalam acara-acara keagamaan. Lalu di tempat lain, saya juga temukan ormas-ormas Islam, partai-partai Islam, komunitas-komunitas Islam, dan lainnya.
Ternyata dimanapun orang masih menyimpan ingatan tentang agamanya dalam pelbagai bentuk. Ternyata denyut nadi “agama” masih hidup ditengah arus dunia yang sebenarnya mencemaskan iman. Toh disini keberagamaan umat tetap seksi, riuh dan terkadang hadir berlebihan dalam banyak ragam. Tapi rutinitas keberagamaan acapkali jadi lingkaran yang membuat saya tak bisa menemukan tikungan Islam yang sebenarnya.
Banyak umat sudah kehilangan nikmat iman dan mereka melarikan kenyataan itu pada kemewahan mengekspresikan agama. Kita telah begitu jauh mempercantik iman dengan dunia. Harga mahal untuk merayakan ekspresi keberagamaan. Atau muncullah sebuah kecintaan yang berlebih pada agama sendiri: inilah agama yang paling suci, maka sayapun suci. Saya khawatir kecintaan pada diri sendiri dan apapun yang saya miliki menjadikan saya merasa selalu benar. Karena agama saya paling benar. Karena saya bagian dari umat terpilih yang mesti menjalankan amar ma’ruf nahyi munkar, bahkan dengan kekerasan, kemarahan dan ketololan sekalipun…
Bahwa kemudian bisa dimengerti, tak mesti orang yang beragama secara otomatis benar dan baik. Karena pada dasarnya, beragama juga proses, seperti halnya orang yang mengaku tidak beragama dan berusaha merumuskan ajaran moral sendiri, tetapi di saat yang sama keduanya memang tidak dengan serta merta lengkap melunasinya.
Selalu ada hal yang membuat orang khianat dari konsepsi moral, harmonitas dan konsistensi iman. Sebab manusia memiliki dua karakter negatif yang dapat membahayakan; yaitu ifsad fil-ardl (berkecenderungan membuat kerusakan di muka bumi) dan safk al-dima’ (potensi konflik antarsesama manusia). Qaaluu ataj ‘alu fitha man yufsidu fiiha wa yasfikud-dima’? Tak heran jika Quran menggambarkan protes malaikat seperti itu akan rencana penciptaan manusia. Dan kita tahu, semua orang dapat kalah oleh kedua potensi destruktif diatas.
Disitulah manusia selalu ada dalam keadaan perang dengan bayangannya sendiri. Jika dua potensi yang telah disebutkan tadi lebih unggul menguasai lebih banyak bagian diri kita, saat itulah manusia berada dalam keadaan kalah oleh dirinya sendiri. Terlepas apakah dia beragama ataupun tidak. Karena intinya, beragama dan tidak beragama adalah proses kerja keras untuk menafsir, memahami dan melaksanakan apa yang mereka imani. Jika saya mengatakan orang tak beragama celaka dengan pilihannya untuk tak-beragama, maka pantas juga saya mempertanyakan apakah umat muslimin dapat celaka karena keliru menjalankan dan mengekspresikan agamanya? Atau justeru sebaliknya, orang yang mengaku atheis bisa lebih manusiawi daripada orang yang mengaku beragama?
Mayoritas Memangkas Minoritas
Memilih berdiri dibawah kibaran agama, dosa tidak lebih popular ketimbang pahala. Agama dianggap jaminan mutlak-kesucian bagi perilaku penganutnya. Wilayah sakralisasi kuasa dalam eksklusifitas keberagamaan kita dapat dengan tiba-tiba membuat segala hal mejadi halal dalam sentuhan tangan kita—seperti halnya Midas yang menyentuh apapun menjadi emas. Termasuk ketika darah saudara sendiri menjadi halal karena perbedaan iman dan pendapat dalam menafsirkan kitab suci.
Dalam satu agama saja, perpecahan bisa terjadi. Muncullah kelompok yang selalu mengatakan di luar dirinya adalah kafir—di luar mazhabnya, di luar pendapat teologisnya, di luar agamanya. Islam jadi tampak begitu angkuh dan serakah. Egoisme pengetahuan kelompok dihunuskan dengan perangkat kekuasaan.