Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Surat Djohan Effendi untuk Petinggi Negeri

11 Agustus 2010   03:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:08 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepada Yang Terhormat Para Petinggi Negara RI! Para Pemuka Agama! Para Pemimpin Parpol dan Ormas!! Para Cerdik Cendekia dan Tokoh Masyarakat! “Berilah kami tempat, Bapak Wali Kota, di mana saja di wilayah kota Mataram ini, di pinggiran yang dianggap angker banyak setannya sekalipun, atau di pekuburan-pekuburan, yang penting kami dapat keluar dari penampungan, hidup normal, menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan. Atau, jika telah dianggap menodai agama, telah melanggar UU No.1 PNPS/1/1965, sebagaimana selama ini diancamkan, jebloskanlah kami, Bapak Wali Kota, ke dalam penjara. Kami seluruh warga Ahmadi, pengungsi laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak, lahir batin, ikhlas dipenjara, tanpa proses hukum sekalipun. Atau jika sama sekali tidak ada tempat bagi kami, di ruang penjara tidak ada tempat bagi kami, di pekuburan-pekuburan juga tidak ada tempat bagi kami, maka galikanlah bagi kami, Bapak Wali Kota, kuburan. Kami seluruh warga Ahmadi pengungsi, laki-laki, perempuan, tua, muda maupun  anak-anak, siap dan ikhlas dikubur hidup-hidup. …” Bapak-bapak Yang terhormat! Kalimat-kalimat di atas saya kutip dari surat yang berisi jeritan  warga Ahmadiyah Lombok, yang sejak beberapa tahun ini terpaksa tinggal di penampungan, terusir dari tempat tinggal mereka, hanya karena mereka difatwakan menganut faham yang sesat. Mereka menjadi pengungsi di negeri mereka sendiri. Padahal mereka turun temurun warga negara RI. Mereka turun temurun  tinggal di atas bumi yang disediakan oleh Allah Tuhan Yang Maha Rahman, yang menyediakan bumi ini bagi segenap dan seluruh anak-cucu Adam, yang rahmat-Nya dikaruniakan kepada segenap umat manusia tanpa diskriminasi, tidak membedakan beriman atau kufur bersikap kufur kepada-Nya, beragama atau tidak, menganut ajaran yang benar atau ajaran yang sesat. Peristiwa pengusiran dan pengungsian ini sama sekali bukan kisah fiktif, tapi kisah nyata yang terjadi di negara kita yang berdasarkan Pancasila yang di antara sila-silanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Peristiwa ini terjadi sekarang, tidak di masa penjajahan, tidak di masa Revolusi Kemerdekaan, tidak di masa Pemerintahan Parlementer, tidak di masa Orde Lama dan juga tidak di masa Orde Baru. Tapi terjadi sekarang di masa Reformasi ketika Piagam Hak-hak Asasi Manusia diterima dan dimasukkan dalam Konstitusi kita. Lalu di mana tanggung jawab konstitusional para Petinggi Negara RI? Di mana tanggung jawab moral para pemuka agama bangsa kita? Di mana hati nurani tokoh-tokoh parpol, ormas, cendekiawan dan pemuka masyarakat kita? Dan sekarang Bapak-bapak yang terhormat, warga Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan sedang terancam, mesjid tempat mereka sebentar lagi menunaikan ibadah tarawih, tadarus, i’tikaf, akan disegel oleh Bupati sendiri. Pengalaman perih dihalang-halangi dan diganggu untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan sendiri juga terjadi di Bekasi. Dua orang umat Bahai masih ditahan di Lampung. Dilarang membuka warung sebagai usaha mencari nafkah sehari-hari. Seorang umat Bahai yang meninggal dunia di Pati terpaksa dimakamkan di bentaran kali karena ditolak Kepala Desa untuk dimakamkan di Pemakaman Umum Desa, bahkan dilarang dimakamkan di lahannya sendiri. Penganut Aliran Kepercayaan Penghayat Ketuhanan Yang Maha Esa, masih dipinggirkan, hak-hak sipil mereka tidak terjamin dan tidak dipenuhi. Daftar berbagai kasus penistaan hak-hak asasi dan hak-hak sipil terlalu panjang untuk dikemukakan. Komnas HAM mempunyai data yang relatif lengkap tentang kasus-kasus seperti ini. Kenapa masih ada warga negara kita yang tidak menikmati kebebasan berkeyakinan dalam negara yang berusia 65 tahuin ini? Pernahkan kita membayangkan bagaimana kalau nasib yang dialami warga negara yang teraniaya dan terzalimi ini justru menimpa kita sendiri? Pernahkan kita membayangkan betapa perihnya hati kita jika kebebasan kita untuk beriman dan beribadah menurut ajaran yang kita yakini akan menyelamatkan kita di dunia dan di akhirat kelak direnggut hanya karena kita berbeda dengan keyakinan mayoritas? Menyaksikan peristiwa-peristiwa memerihkan di atas izinkanlah saya bertanya kepada Para Petinggi dan Penguasa di negeri ini, apakah negara dan pemerintah sudah tidak mampu lagi menjamin, melindungi dan mempertahankan hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil yang tercantum dalam Konstitusi Negara kita bagi kelompok-kelompok minoritas? Kepada siapa lagi mereka harus mengharapkan perlindungan? Kepada Para Pemuka Agama, khususnya al-Mukarrimun Para Ulama, perkenankan saya bertanya, apakah manusia yang non Islam, atau yang menganut ajaran yang dianggap sesat itu, tidak termasuk anak-cucu Adam yang dimuliakan dan dianugerahi rezeki oleh Tuhan (Q. 17:70) sehingga mereka halal dilecehkan, diusir dan diperlakukan seolah-olah mereka tidak berhak hidup di atas bumi Tuhan yang menciptakan mereka? Andaikan mereka tersesat, apakah mereka tidak bisa menikmati kebebasan sebagaimana mereka yang kufur kepada Tuhan (Q. !8:29) sehingga kita merasa berhak memaksa mereka untuk mengikuti pendapat dan keyakinan kita? Apakah tidak sebaiknya kita mengikuti metoda yang dianjurkan Tuhan dalam menyeru manusia ke jalan Tuhan dengan cara bijaksana, nasehat yang baik dan kalau perlu dengan dialog yang lebih baik lagi; dan akhirnya menyerahkannya kepada Allah sendiri yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dan siapa yang benar-benar beroleh petunjuk? (Q. 16:7). Dan bukankah ketidaksukaan kita terhadap suatu kelompok tidak menghalalkan kita untuk bertindak tidak adil terhadap mereka? (Q. 5:8).  Apakah menurut al-Mukarrimun negara atau aparat pemerintah atau kelompok masyarakat berwenang membatasi anugerah Allah berupa hak hidup di atas bumi-Nya kepada mereka yang dianggap sesat? Apakah negara atau pejabat yang berkuasa berwenang membatasi kebebasan berkeyakinan yang diberikan Allah al-Khaliq kepada manusia, makhluk yang dimuliakan-Nya? Apakah hal itu tidak berarti merampas wewenang Allah dan hak  sesama manusia? Bapak-bapak yang terhormat! Dengan surat ini saya hanya ingin menyampaikan jeritan hati nurani saudara-saudara kita yang menderita.  Hati saya merasa tidak tahan lagi melihat penderitaan saudara-saudara yang teraniaya tersebut, dan saya merasa berdosa kalau saya tidak melakukannya. Hormat Takzim saya; Djohan Effendi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun