Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Akar Filsafat Sunda

4 Februari 2010   01:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:06 3318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Sudah dapat dipastikan, bahwa majunya sebuah Negara akarnya adalah karena hadirnya manusia yang dapat berpikir secara bebas, mendalam dan universal.

Pemikiran seperti itu kita sebut filsafat. Tak ada yang menyangsikan lagi tentang kedudukan filsafat sebagai pintu masuk untuk meraih keadaban hidup. Sultan Takdir Ali Syahbana, misalnya, pernah mencatat:

“Menilik kepada pentingnya kedudukan filsafat sebagai pusat, sebagai inti dan sari daripada pikiran sesuatu bangsa, yang terjelma dalam penghidupan masyarakat dan kebudayaan, telah selayaknya orang-orang yang menjadi pemimpin dalam pekerjaan pembangunan negara Indonesia yang sedang kita bentuk bersama-sama, mempunyai kewajiban mendasarkan usaha dan perbuatannya atas dasar pertimbangan filsafat, yaitu agar tiap usaha, pekerjaan atau ciptaannya tidak tergantung di awang-awang, tetapi berdasar atas kesungguhan mencari pokok kebenaran sedalam-dalamnya.” Kalau kita boleh bernostalgia, sejatinya Yunani dinobatkan sebagai pewaris peradaban Barat alamatnya tidak lain kerena pewarisan filsafatnya yang mengagumkan. Dalam tradisi Islam, puncak peradaban yang pernah digapainya pada abad pertengahan adalah masa-masa ketika filsafat justru mengambil perananan dalam nalar kaum muslimin. Para pemikir Muslim dengan kreatif memasuki wilayah filsafat. Dengan terbuka membuka ruang dialog yang kritis dengan tradisi Yunani (hellenisme) ketika di belahan dunia lain (Barat) filsafat itu dijadikan anak haram dan diposisikan sebagai pelayan Geraja (abad pertengahan) sebelum pada akhirnya “akal yang tersubordinasi doktrin Gereja” itu ditemukan kembali pada periode modern lewat bantuan para filsuf Muslim. Umat dengan memukau mampu berpikir dengan runtut dan menusuk ke akar persoalan tanpa harus khawatir dengan stigma sesat apalagi dijadikan target penganiyaan fisik oleh sekelompok laskar yang dengan jumawa mengklaim sebagai pemilik kebenaran tunggal yang malah menjadi residu peradaban, mendangkalkan kebudayaan. Konteks kesundaan Kaitan antara filsafat dengan kesundaan: inilah yang sampai saat ini selalu dipadungdengkeun (wacana) dan atau jangan-jangan orang Sunda tidak memiliki akar filsafat yang kokoh sehingga akhirnya menjadi entitas budaya yang tidak cukup kreatif memberikan andil jangankan dalam aras global hatta untuk konteks nasional sekalipun. Dalam hal ini Ajip Rosidi (2006) pernah menulis “Banyak sekali orang yang berbicara tentang “falsafah Sunda” yang menimbulkan tandatanya pada diri saya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “falsafah Sunda”? Yang saya tangkap kalau saya dengar orang berbicara atau menulis tentang “falsafah Sunda” hanyalah pikiran-pikiran orang itu sendiri yang sering tidak rasional, tidak sistimatis dan tidak jelas metodologinya. Biasanya merupakan campuran mitos, mistik dan kirata basa saja. Ngawur!” Absennya filsafat, langsung atau tidak langsung, hakikatnya yang menjadi muasal dari keterpurukan manusia Sunda saat ini. Boleh jadi jati ka silih ku junti itu bibit buit-nya karena jati itu tidak dijangkarkan di atas pijaka yang kokoh yakni cara berpikir filosofis. Tentu saja berbicara tentang historiografi filsafat mengandaikan tumbuh hidupnya tradisi berpikir yang panjang yang kemudian pikiran ini didokumentasikan dalam tulisan yang dapat di baca dan di telaah oleh generasi di kemudian hari. Di sisi ini, nampaknya tradisi untuk menuliskan gagasan-gagasan besar yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan kehidupan secara rasional belum lama berkembang dan andaipun ada terutama dalam ajaran etis maka tulisan itu hanya dapat di akses oleh segelintir orang saja. Sebagaimana ditunjukan Ajip Rosidi bahwa sejak abad ke-19, orang Sunda menuliskan bahasa Sunda yang diterbitkan berupa buku, tetapi seperti juga naskah-naskah isi buku-buku itu kebanyakan berupa cerita atau uraian tentang agama. Hampir tidak ada yang bersifat hasil pemikiran, apalagi yang kritis! Bersikap kritis dalam masyarakat Sunda dianggap kurang ajar. Henteu Nyunda. Pengecualian Namun juga harus diakui dari sekian banyak manusia Sunda, ada satu orang yang sering ditahbiskan sebagai seorang sufi dan juga filosuf yang tidak disangsikan lagi kedalaman pemikirannya. Siapa lagi kalau bukan Haji Hasan Mustapa. Pemikiran Haji Hasan Mustapa inilah seharusnya yang musti dijadikan dasar filosofis manusia Sunda saat ini. Pemikiran filsafatnya kebanyakan dikemas dalam bentuk dangding dan guguritan. Terkadang juga dalam bentuk aforisme dan dialog imajiner yang penuh daya pukau. Karyanya sangat melimpah mencapai 54 buah buku dan 10.000 guguritan dengan tema yang cukup beragam. Di antaranya, sebagaimana dicatat Ensiklopedi Sunda adalah dalam bentuk kajian etnografi Bab Adat-Adat Urang Sunda Jeung Priangan Liana ti Éta (1913), Leutik Jadi Patélaan Adatna Jalma-Jalma di Pasundan (1916); Pakumpulan Atawa Susuratanana Antara Juragan Haji Hasan Mustafa Sareng Kyai Kurdi (1925); Buku Pengapungan (Hadis Mikraj, tahun 1928); Syekh Nurjaman (1958). Buku Pusaka Kanaga Wara, Pamalatén, Wawarisan, dan Kasauran Panungtungan; Petikan Qur’an Katut Abad Padikana (1937) dan Galaran Sasaka di Kaislaman (1937; Aji Wiwitan (17 jilid) dan Kasful Sarair fi Hakikati Aceh wa Fidir (Buku Rahasia Sebetulnya Aceh dan Fidi). Seorang filosuf dan sufi dengan pengembaraan pemikiran yang sangat luas. Pemikirannya menusuk ke akar religiositas yang mendalam, dan pada saat yang sama menjulang melampaui nalar instrumental. Tentu saja karena kebanyakan dikemas dalam bentuk metafora dan aforisme, maka terkadang musykil untuk difahami, kerap disalahpahami dan boleh jadi mendatangkan antipati. Sikap yang terakhir (antipati) bukan hanya nampak saat ini terutama dengan mencuatnya gerakan keagamaan yang harfiah yang selalu mengidealisir sejarah dengan paradigmanya yang berorientasi Timur Tengah, namun juga pada saat beliau hidup tidak sedikit ulama sezaman yang sama sekali tidak sehaluan yang disebut Haji Hasan Mustapa sebagai orang-orang yang berpikiran dangkal: Basana serab pangilo//Sapedah kula kitu//Matak risi nu sisip budi //Budi daya kula//Geus tepi ka kitu//Dongkap ka masyaallohna//Kajen teuing hararemeng galih//Moal matak doraka Penutup Tentu menghidupkan ajaran Haji Hasan Mustapa dalam konteks kesundaan mutakhir, bukan hanya dari filsafat ketuhanannya, namun juga filsafat yang menekankan tentang bagaimana sejatinya hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan pemimpin dengan rakyatnya dan juga hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Dan yang lebih penting dari itu adalah bukan sekadar mengkaji produk pemikiran filosuf besar Sunda itu, tapi bagaimana mewarisi dialektika berpikirnya. Terus berpikir tanpa mengenal batas. Tidak berhenti memposisikan kebudayaan sebagai proses yang harus dilakoni dengan ikhlas dan sepenuh hati untuk mencari k(K)ebenaran yang dalam religiositas kebenaran itu dapat bernama iman yang murni, inklusif, moderat dan dalam aras sosial dapat dimaknai sebagi sikap yang toleran dan santun sebagaimana nampak dalam “Puyuh Ngungkung dina Kurung” : Sapanjang neangan kidul//kaler deui kaler deui//sapanjang neangan wetan, kulon deui kulon deui//sapanjang neangan aya//euwuh deui euweuh deui//Ngalantung neangan tungtung//Kawit deui kawit deui//Sapanjang neangan tengah//Sisi deui sisi deui//Sapanjang neangan awas//Huam deui huam deui//Ngalantun timu panemu//Nimu deui nimu deui//Sapanjang neangan ngaran//Lain deui lain deui //Sapanjang neangan padang surem deui surem deui. [ASEP SALAHUDIN] TRIBUN JABAR, SABTU, 30 JANUARI 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun