Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fragmen Duka

18 Januari 2010   02:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:24 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Neraka adalah nama yang ke tujuh Dari cinta ini dimana aku menderita Karena disana tak ada cinta yang menelan dan mengutuk Saat neraka mengubah segala sesuatu menjadi menghancurkan, Didalam cinta tak ada lagi yang menerima Melainkan penghinaan dan penyiksaan tanpa ampun; Selamanya menjadi gelisah Selamanya dikejar-kejar dan mendapat hukuman baru; Menjadi terlahap dan tertelan sepenuhnya Didalam intisarinya yang tidak dapat dimengerti, Kepada penemu didalam panas dan dingin yang tanpa henti, Didalam kegelapan yang dalam, luas akan cinta. Ini menjadi siksaan Neraka lebih baik ENTAH kutukan apa? Sehingga membuat aku berdosa sepanjang masa selama menanggung titipan nyawa dari tuhan. Padahal aku tidak pernah mengemis harap supaya dilahirkan kedunia. akhir-akhir ini aku didera kekalutan, ketakutan mencengkram lalui amuk kesedihan. Objek yang tersemat dalam kesadaran menjadi mati. Tak ada sisa juga jiwa. Aku melihat Sartre malam itu, dengan pedang terhunus dan bau amis darah begitu pekat menusuk hidungku, bercak itu masih berceceran di ujungnya. Ia muncul lewat rapatnya pintu. Langkahnya tak tersentuh desiran angin, nafasnya sekelebat temaram sunyi. Ia mewartakan kematian [aku] dalam sejarah manusia. Aku tak merasa heran dengan kematian dalam pikiran: “Neraka adalah orang-orang lain.” Memaknai hidupku seperti terapung diatas air tanpa arah dan labuhan. Pada ke absurdan kupahat segenap rasa yang telah lenyap, lantunan nihilisme ku rapatkan pada kepastian akan ketidak-pastian. sukmaku melayang diatas awan; sebuah mimpi tak bisa aku cengkram dan hasratku pun nggan untuk menggapainya. Sadarku terbenam didasar jagad raya. kini aku tak lebih dari seonggok daging yang menubuh dalam jasad tanpa nalar dan rasa, hasrat dan harap, subjek dan objek—karena telah dipasung kematian dan ketiadaan diri yang menginginkan aku. Dalam menghayati keterlemparan kedunia ini. sosok kemuraman, kesedihan, keputusasaan, sakit hati, kehampaan, penderitaan. Membuat aku tersadar dari segala kepalsuan, ternyata dalam hidup ini aku tidak boleh bergembira karena aku hidup tetapi sebaliknya aku harus meratapi kenyataan ini. Noneksistensi lebih bermakna ketimbang eksistensi. Hidup adalah sesuatu yang seharusnya tidak ada. “Aku pesimisme maka aku ada”. Kau selalu merapatkan harap dan bersimpuh pada tarian doa, pada setiap nyanyian dzikir dan semoga Tuhan memberikan kuasanya padamu. Tapi aku akan menggugap dalam bisu seraya berteriak; kenapa aku Ada.! Apakah Kamu seorang penganut fatalisme-romantik?– seorang pecinta yang mempercayai takdir cintanya. Rasa-rasanya memang seperti itu! Dalam sebuah dunia yang Tuhannya mati rausan tahun yang lalu dan komputer, bukan orakel, yang meramalkan masa depan, kepercayaan sang pecinta akan taqdir hampir-hampir merupakan sebuah mistisme. Bagiku, untuk bergantung pada ide bahwa Kamu dan aku telah di taqdirkan untuk bertemu untuk jatuh cinta, melekatkan pada sistem kepercayaan primitif yang setara dengan pembacaan ahli nujum atau ramaan bola kristal. Kalau Tuhan tidak bermain dadu, dia tidak menjalankan layanan kencan. Bukankah Kamu berharap, moga orang yang bodoh ini segera enyah dari hadapanmu, karena telah mengagungkan cinta. Sekarang dipaksa dan di ultimatum supaya menerima kenyataan bahwa tak ada gurat takdir yang menaungi kita. Mungkin Tuhan cemburu karena aku telah menduakannya, sehingga turun petuah dari langit melalui sangkakala kun fayakun-Nya, maka kita pun hanya mampu bungkam penuh tanya. Dan aku tidak akan mengeluh pada nasib yang telah Tuhan kutuk pada hamba-Nya ini. Tuhan cukup berkuasa untuk menciptakan alam semesta dan ia adalah Tuhan yang mengasihi, yang memperhatikan umat-Nya. Masalahnya adalah masalah keburukan, dan sebagaimana dalam ritus Zoroastrianisme, ini adalah persoalan bertapa tidak perlunya ada penderitaan, kesedihan dan kematian jika memang Tuhan yang maha baik dan maha kuasa menciptakan dan menjaga dunia. Jika Tuhan tidak baik, jika ia bukan tuhan yang pengasih dan peduli, seperti adanya penderitaan dan kesedihan. Kenapa ia disebut maha menyayangi dan mengasihi? Semua aspek kehidupanku melulu bersentuhan dengan daya nalar-intuitif, penuh dengan simbolisme-abstrak secara tipikal selalu tersangkut pada kultus naratif-theologis mengenai hakikat hidup yang aku alami dan rasakan. Aku mesti menaruh curiga pada maksud tuhan mempertemukan aku dengan Widi hingga aku mengiklarkan perasaan cinta padanya. Jangan-jangan Tuhan mau menyiksaku dengan segala ke-Mahaan-nya. Atau jangan-jangan Tuhan tahu dengan penderitaanku tapi tidak bisa apa-apa. Kamui bertanya; seolah-olah aku masih menyumbat segumpal harap atas semua lakuku pada-nya. Atas romantisme masa lalu yang pernah singgah dalam pilinan otak (entah dia pernah mencintaiku atau tidak, hanya Kamu-lah yang tahu). Kau tafsirkan aku, dalam premis-premis keseharian lalu menarik kesimpulan—aku masih marapatkan pada harap meski harapan itu sungguh tidak ada, mungkin terjegal oleh ke-egoan-ku karena terlalu sering men[doa]kanmu dalam segenap gundah dan kecemasan. Bukankah cinta seperti siklus yang banal. Menurutmu apakah harapan itu? Mungkin tak lain dari pertanyaan konyol seorang anak yang bertanya pada bapaknya, “kau ini masih kecil dan belum cukup umur untuk tahu apa harapan itu”, celoteh sang bapak. apalagi memaknainya. Jadi, diamlah! Lebih baik kamu bermain saja, dari pada mempertanyakan pertanyaan itu. Lalu anak itu pergi berlalu dan seketika melupakan pertanyaan yang tadi ia gugat pada bapaknya. Pertanyaan itu sempat menyeruak terlontar dari mulutku 15 tahun yang lalu. Kini muntah seperti pijar lahar yang menyembul dari perut gunung api yang sudah bosan dengan ketermenungannya dalam kebisuan. Harapan? Sebagai mana dikira banyak orang atau konsepsi umum (common sense) mengenainya, yang mengartikan sebagai menghendaki dan menginginkan? Sebuah tujuan yang tak tahu apakah akan tergapai atau malah menyerah saja sebelum menghayatinya. Atau hanya sebuah idea saja; seperti Plato yang menyematkan realitas pada sebentuk Form idea. Jika demikian, di analogkan seperti orang yang menginginkan mobil, rumah, kekasih yang ideal, dapat dikategorikan orang yang sedang berharap. Apakah disebut harapan jika objek harapan bukan berupa sesuatu (benda) melainkan kehidupan yang lebih bermakna; suatu kondisi hidup yang menyenangkan, bebas dari kejenuhan yang berkepanjangan, seperti seseorang yang telah menyakiti perasaanku lalu berubah menjadi baik hati. Seperti dalam istilah teologis—untuk keselamatan, atau dalam istilah politik—untuk revolusi, atau dalam istilah cinta—untuk kebahagiaan. Memang semua itu dapat dikategorikan harapan. Akan tetapi, itu semua bukan-harapan (non-hope) jika mengandung sifat kefasifan dan “menunggu untuk”—sehingga harapan dalam kenyataanya menjadi kedok dari resignasi dan dibungkus dalam kerangka ideologis sehingga kebenarannya bersifat aksiomatik, yaitu kebenarannya sudah mutlak tidak bisa diganggu-gugat sehingga sudah tertutup rapat untuk mengajukan pertanyaan. Bukankah itu semua menyiratkan sebuah ketegasan atas sifat rapuh dan lemah diriku dalam mengarungi ambiguitas hidup ini. Erich Fromm bangkit dari liang lahat sambil mencibir kelakuan ku lalu berbisik tentang sebuah ide—bahwa dunia dipengaruhi oleh kamu dan usaha-usaha kamu sehingga sebagai akibatnya kamu mempunyai harapan-harapan. Konon sejarah mencatat; peradaban dunia yang telah tertancap di bumi ribuan tahun silam. Seperti dalam kisah-kisah Skandinavia kuno dan dalam mitos-mitos Yunani kuno, hubungan-hubungan dan harapan-harapan semacam itu selalu dipertautkan. Dengan kekuatan lain diluar manusia yang adi kodrati, kekuatan Transendental, supranatural (baca Tuhan). aku selalu pasrah dengan keadaan tanpa bisa berkehendak lain selain―sebuah kehendak Tuhan yang maha Kuasa tapi terkadang ia maha murka. Bukankah itu yang Kamu jadikan tameng atas semua kemuakanmu padaku, hasratmu telah menjelma menjadi bukan-diri (bukan seorang Kamu yang aku kenal). Apakah kau telah dirasuki oleh iblis jahat yang suka menipu? Atau kau berada dalam tekanan orang lain yang punya kuasa? sehingga melepaskan cinta yang telah mengajariku berbahagia dengan ketidak-bahagiaan. pisah dengan harapan adalah opsi terakhir yang tak bisa dibantah. Akirnya aku hanya bisa mengurut dada dan mengubur semua harapan yang selalu kuhembuskan dalam bait-bait nyanyian duka. Dengan tetesan darah, kutuliskan pada atap langit dan kukirimkan sepucuk surat yang penuh dengan satir, pada Tuhan, yang sedari tadi tertawa. Apakah Kamu selalu mengeja nasib dalam melekatkan harap pada kuasa waktu yang terbentang dari ketiadaan menuju Ada yang tertuang dalam “harapan-waktu”?. Mengapa waktu menjadi kategori sentral dalam menapaki jejek-jejak laku? Ingatlah tak ada suatu pengecualian dalam peristiwa sekarang kecuali hanya dalam momen berikutnya, hari berikutnya, tahun berikutnya, dan seterusnya hingga aku akhirnya menjadi makhluk sejarah. aku terperangkap dalam dunia internal seolah-olah di dunia itu hanya kita yang eksis atau meng-Ada, dan menampik dunia eksternal yang terlanjur dicap absurd. Untuk meyakini bahwa harapan dapat direalisasikan dalam dunia ini, niscaya aku harus meng afirmasi subjek lain diluar diriku sendiri. Haruskah aku mengamini pandangan Robinspierre, yang tunduk pada masa depan dengan kondisi terkulai dan lemah—seperti yang terpahat dalam altar pemujaannya, sambil mengepulkan asap rokok yang tinggal diujung batas, yang ia temukan dibawah ranjang dengan kondisi setengah utuh dan terpojok disudut kamarnya sambil memandangi langit-langit yang usang, bolong dan berdebu ia bergumam; “saya tidak melakukan apapun, saya tetap pasif, sebab saya tidak melakukan apa-apa dan tidak berdaya. Tetapi masa depan, proyeksi dari waktu akan mendatangkan apa yang tidak bisa saya raih” Sementara menunggu dengan pasif merupakan bentuk ketidakberdayaan dan impotensi yang memuakkan—ada bentuk ketidak berdayaan dan keputusasaan lain yang tersamarkan oleh bentuk yang sangat berlawanan—penyamaran yang terwujud dalam tindakan adventurisme, yang acuh pada realitas. Apakah Kamu mempersepsi aku seperti itu? Yang Sepanjang hidupnya hanya bisa berkeluh kesah pada diam, bergumam pada pekat malam. Hanya bisa menangis ketika dunia menikamnya. Dimanakah konsep aku yang sekarang? Mungkin dalam benakmu, aku berharap supaya bisa kembali lagi seperti dahulu. Ketika aku merasa menikmati hidup, tertawa, merasakan kesedihan denganmu, ceria, bahagia, bisa berbagi penderitaan, bercengkrama dengan keheningan. Bukan seperti sekarang; hidup yang entah tak berarah, kekalutan mendera, harapan yang sirna dalam menapaki sisa umur, perasaan cemas dan takut pada hari esok yang tak bertepi, semua galau telah membenamkan dalam lorong simulakrum hidup yang mengurai keindahan bersamamu. Lalu Kamu berharap supaya aku mau menjadi temanmu dan merupakan harapanmu yang telah ditafsir menurut ribuan ayat pembebasan. kehendakmu dan keinginanmu menjadi titik final dalam perumusan hasrat dari gejala menuju jelaga. Tapi sayang Kamu terlalu gegabah menarik kesimpulan, justru harapku tak lain dari sebuah harap pada ketersembunyian hidup dan membiarkan realitas berkehendak sesuai apa yang dia kehendaki. [Apuy Telahmati] lelakidisimpangkegilaan sept'2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun