Sunan Gunung Djati-Sekitar 30 orang peserta mengikuti Bedah Film Memoirs of a Geisha Bersama Women Studies Center (WSC) di Aula Student Center UIN SGD Bandung, Rabu (18/11) Tak hanya kaum Hawa yang menonton film itu, kaum Adam pun diperbolehkan, "Ini tidak di khususkan untuk perempuan, laki-laki juga boleh, karena WSC bukan milik perempuan. Bahkan ada anggota dan pengurus dari laki-laki, ungkap Pedi Acara yang menghadirkan nara sumber Neng Hannah, Dosen Fakultas Ushuluddin ini, menurut Reni Sendiawati Ketua Pengarah WSC menuturkan "Kegiatan ini merupakan acara diskusi rutin yang dilakukan oleh WSC dalam bentuk Bedah Film" paparnya "Film ini mengisahkan perjuangan seorang perempuan melawan ketidakadilan gender. Masa seorang perempuan hanya didik untuk menjadi wanita penghibur semata" tegasnya Tak hanya itu, "Perempuan hanya dijadikan alat untuk menggairahkan nafsu lelaki hidung belang saja. Kenapa harus wanita?" jelasnya Kondisi ini akan memperburuk perempuan dan susah membangkitkan semangat kaum perempuan untuk melawan subordinasi. "Memang Gheisa dalam kehidupan masyarakat Jepang merupakan strata sosial tersendiri yang sangat unik. Karena berbede dengan profesi penghibur dikebanyakan budaya lain" ungkap Neng Hannah "Seorang Gheisa akan menjadi primadona bukan karena sekedar menjual tubuhnya, tetapi dituntut menjadi seorang seniman dan intelektual"ujarnya Tentu cerita perempuan yang dianggap penghibur tidak hanya terjadi di Jepang, "Seperti di Korea dalam sejarah kekaisaran. Ada seorang kaisar berhak memiliki seribu selir dengan tugas khusus. Ya seperti Gheisa yang sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi penghibur kaisar. Mereka di sekolahkan, belajar nari, seni bahkan berbagai macam ilmu pengetahuan agar sang Kaisar merasa nyaman dengan para selir" tambahnya Dalam Islam pun ada kisah yang sama seperti Gheisa. "Ini bermula dari perbudakan dan dilegaklan dalam sejarah Islam. Ini terekam dalam Surat Al-Muminuun yang menjelaskan  ciri-ciri yang beriman adalah mereka yang menjaga kemaluanya kecuali untuk istri dan budak-budak perempuan mereka." jelasnya Budaya yang mirip Gheisa dalm Islam disebut dengan Jawari atau Jaryah tunggalnya yang berati budak perempuan demikian diungkapkan Tabari, ahli sejarah pertama dalam Islam yang mengungkapkan Khalifah Yazid II (Dinasti Umayyah 101 H/720 M)memilki beribu jaryah dan sangat jatuh cinta kepada Hababa. "Kepergian Hababa menyisakan luka yang mendalam bagi Yazid, sehingga seminggu setelah kematianya Hababa tidak dikuburkan karena tak mampu berpisah denganya, Ia melupakan shalat, negara, mesjid, sembahyang Jumat" tegasnya Budaya Gheisa, selir, Jaryah merupakan bukti penguasaan budaya laki-laki atas tubuh dan diri perempuan. "Supaya perempuan tidak dianggap pelangkap dan terekam dalam sejarah, maka hendakla mengabadikan dirinya dalam bentuk tulisan. Karena menulis adalah menghamili diri dan melahirkan. Kini saatnya perempuan menulis" "Satu bentuk dari membiasakan diri menulis adalah dengan membuat bulletin. Semoga penonton Bedah Film ini bisa menungkan gagasan, idenya dalam buletin kami," harapan Reni Sendiawati [Ibn Ghifarie]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H