Mohon tunggu...
Sunandar Umar
Sunandar Umar Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Ayah yang belajar menulis

Lahir di Suli (Luwu) Sulsel. Konsultan dan pemerhati ekososbud

Selanjutnya

Tutup

Money

Pembangunan Pariwisata dan Pengentasan Kemiskinan

13 Februari 2012   05:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:43 5960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tantangan yang dihadapi umat manusia dewasa ini adalah perubahan peradaban yang terjadi dalam waktu cepat, dengan skala besar dan secara substansi mendasar. Perubahan menimbulkan kompleksitas, ketidakpastian dan konflik sebagai peluang tetapi juga sekaligus mendatangkan masalah yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pembangunan menimbulkan perubahan keadaan dan pergeseran peran pelaku, ada yang diuntungkan dan adapula yang dirugikan.

Pembangunan pariwisata dapat meningkatkan perekonomian suatu negeri, dan dunia. Sektor ini memberikan peluang bergeraknya berbagai kegiatan ekonomi masyarakat. Para turis yang berkunjung pada suatu negara membawa devisa ke negara tersebut. Dengan devisa, maka negara akan memperoleh dana pembangunan untuk meningkatkan perekonomian dan memberantas kemiskinan. Dengan demikian devisa meningkatkan perekonomian negara dan dunia. Karena itu, maka sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang mampu mengintegrasikan kemajuan perekonomian pada berbagai dimensi pada skala nasional, regional, dan global.

Adapun kemiskinan merupakan permasalahan nasional, regional, dan global yang tidak bisa dibiarkan, sebab menyengsarakan umat manusia. Mengentaskan kemiskinan memerlukan dana besar. Salah satu cara mengentaskan kemiskinan rakyat adalah melibatkan rakyat miskin dalam berbagai kegiatan integratif dengan bisnis pariwisata.

Kompleksitas Kemiskinan

Arti kemiskinan manusia secara umum adalah “kurangnya kemampuan esensial manusia terutama dalam hal “ke-melek-huruf-an” (kemampuan membaca;literacy) serta tingkat kesehatan dan gizi”. Selain itu diartikan pula sebagai kurangnya pendapatan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi minimum. Definisi atau pengertian kemiskinan perlu pula dibedakan antara kemiskinan absolut (absolute poverty) dan kemiskinan relatif (relative poverty). Kemiskinan Absolut diindikasikan dengan suatu tingkat kemiskinan yang di bawah itu kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi. Sedangkan kemiskinan relatif adalah suatu tingkat kemiskinan dalam hubungannya dengan suatu rasio Garis Kemiskinan Absolut atau proporsi distribusi pendapatan (kesejahteraan) yang timpang (tidak merata) (ADB, 1999: 26).

Menganalisa faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah sesuatu yang kompleks. Mulai dari faktor sumberdaya manusianya, kondisi alam, geografis, kondisi sosial-budaya, sampai kepada sistem ekonomi dan politik yang menyebabkan timpang atau tidak meratanya distribusi pendapatan. Kerapkali faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan tumpang tindih satu sama lain. Faktor-faktor rendahnya mutu sumberdaya manusia, kondisi alam dan geografis, serta kondisi sosial-budaya berkaitan dengan tingkat keterbelakangan (underdevelopment) suatu masyarakat yang pada dasarnya dapat diperbaiki. Namun ada pula faktor kondisi alam dan geografis yang tidak dapat lagi tertanggulangi sehingga menyebabkan kemiskinan absolut yang menetap sifatnya. Tapi banyak ahli yang lebih meyakini bahwa faktor dominan penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan ekonomi, sosial ataupun politik yang mengakibatkan apa yang disebut kemiskinan struktural (struktural poverty), baik pada tatanan negara maupun internasional.
Pada awalnya kemiskinan selalu dikaitkan dengan faktor ekonomis, yang dinyatakan dalam ukuran tingkat pendapatan (income) atau tingkat konsumsi individu atau komunitas. Lembaga donor internasional seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia (ADB), sebagai contoh, pada periode sebelumnya menggunakan tingkat pendapatan $ 1 per hari sebagai batas proverty line . Sementara di negara-negara berkembang kemiskinan diukur dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar, yang dinyatakan dalam ukuran kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan kalori. Pandangan di atas jelas berimplikasi pada pendekatan yang digunakan untuk mengentaskan kemiskinan tersebut. Seperti banyak diterapkan di negara-negara berkembang umumnya upaya pengentasan kemiskinan dilakukan dengan pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Para pengambil keputusan memandang pertumbuhan output nasional dan regional yang dinyatakan dalam pendapatan perkapita atau GNP dapat mendorong kegiatan ekonomi lainnya (multiplier effect), yang pada gilirannya menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan peluang berusaha. Bila skenario ini berjalan sesuai asumsi tersebut, kemiskinan secara tidak langsung dapat dientaskan. Namun pengalaman menunjukkan peningkatan produk domestik bruto (GNP) tidak dengan sendirinya membawa peningkatan standar hidup masyarakat secara keseluruhan maupun individu. Ada dua alasan mengapa hal tersebut tidak berlaku. Pertama, umumnya pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi sehingga secara komparatif tidak memberikan peningkatan taraf hidup secara signifikan. Selanjutnya, adanya ketidakadilan dan struktur ekonomi yang tidak berpihak kepada kaum miskin, membuat output pertumbuhan tersebut tidak terdistribusi secara. merata. Teori trickle down effect yang mendasari kebijakan di atas tidak berlaku sepenuhnya. Kemakmuran tersebut umumnya hanya akan "menetes" kepada lapisan masyarakat tertentu yang secara komparatif memiliki pengetahuan, keterampilan, daya saing, dan absorptive eapacity yang lebih baik. Sementara mereka yang benar-benar miskin dan mengalami apa yang disebut kemiskinan absolut jarang mengenyam hasil pembangunan tersebut. Bahkan,sering pembangunan justru membuat mereka mengalami marginalisasi, baik fisik maupun sosial. Gagal dengan pendekatan trickle down effect tersebut, upaya pengentasan kemiskinan selanjutnya diarahkan dengan pola bantuan langsung Tapi di sini muncul implikasi baru. Pada satu sisi bantuan tersebut memang dapat efektif mencapai sasaran, tapi pada sisi lain input eksternal tanpa adanya perkuatan sosial (social strengthening) sering menimbulkan ketergantungan dan mematikan kreasi dan inovasi masyarakat. Persoalan lain ditemui dalam penentuan target group. Banyak kontroversi dalam berkaitan dengan pemilahan kelompok sasaran tersebut. Sebagian mengatakan bahwa proyek kemiskinan harus diperuntukkan bagi kaum miskin sendiri. Tapi di sisi lain banyak program pengentasan kemiskinan yang gagal karena tidak mendapatkan dukungan dari komponen masyarakat lainnya. Antusiasme pemerintah untuk menangani masalah kemiskinan juga terbentur kenyataan bahwa mereka umumnnya inarticulate secara politik, Sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa-desa yang terpencil atau perkampungan kumuh perkotaan sehingga terlihat oleh elit pemerintah.lebih jauh mereka terorganisir dengan baik sehingga tidak mampu menyatakan pandangan dengan jelas kepada pemerintah. Perpecahan di antara mereka serta tidak adanya juru bicara yang dikenal dan dipercaya umum lebih lanjut memperlemah kepentingan mereka secara politik.
Penanganan Kemiskinan
Untuk mendorong perekonomian rakyat, banyak para ahli yang menyarankan agar paket-paket deregulasi dapat secara langsung membantu atau mendorong tumbuhnya perekonomian rakyat, sekaligus untuk mengatasi kesenjangan antara golongan ekonomi kuat dengan golongan ekonomi lemah. Untuk itu, selain perlunya peranan pemerintah, maka pengembangan keswadayaan masyarakat juga penting artinya. Pengembangan keswadayaan masyarakat selain memerlukan kebijakan publik yang menyentuh kepentingan masyarakat, inisiatif dari bawah, yang berasal dari masyarakat, juga diperlukan.

Otonomi Daerah dan Pengembangan Pariwisata

Momentum otonomi daerah memberi harapan baru, sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan serta mengemban misi pelayanan masyarakat. Bersamaan dengan itu, kondisi ekonomi Indonesia yang sedang dalam masa pemulihan yang berjalan relatif lambat karena pertumbuhan investasi masih negatif, ekspor juga masih lemah, maka pertumbuhan ekonomi praktis hanya bergantung pada konsumsi masyarakat dan pengeluaran pemerintah. Hal ini semakin mamacu semua pihak untuk berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan daerah.

Di sisi lain, himpitan berbagai krisis tersebut menyebabkan sumber pendapatan yang bersumber pada kondisi keuangan negara menjadi kritis. Oleh karen itu, alokasi anggaran belanja untuk pengeluaran daerah terkena dampaknya.

Berbagai upaya penggalian maupun pengembangan potensi daerah dituntut untuk meningkatkan sumber penerimaan daerah, sebagai salah satu modal pembiayaan dan penyelenggaraan pembangunan. Hal ini penting, sebab Pendapatan Asli Daerah merupakan simbol kemandirian keuangan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.

Salah satu potensi yang dapat digali dan dikembangkan sebagai sumber pendapatan tersebut yakni kekayaan sumber daya alam dan budaya yang dieksploitasi sebagai Obyek dan Daya Tarik Wisata. Alasan utama pengembangan pariwisata pada suatu daerah sangat erat kaitannya dengan pembangunan perekonomian daerah tersebut, dalam hal keuntungan dan manfaat yang bisa diperoleh masyarakat daerah setempat.

Dengan dikembangkannya pariwisata di suatu daerah, diharapkan jumlah kunjungan wisatawan akan meningkat yang selanjutnya akan menimbulkan permintaan baru terhadap hasil-hasil pertanian, peternakan, perkebunan, kerajinan maupun industri rumah tangga, sebagai akibat dari pengeluaran uang yang dibelanjakan di daerah tujuan wisata tersebut. Dengan demikian upaya pengembangan pariwisata itu tidak berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan erat dengan sektor ekonomi, sosial dan budaya.

Dampak positif yang langsung diperoleh pemerintah daerah atas pengembangan pariwisata tersebut yakni berupa pajak daerah maupun retribusi daerah. Sektor pariwisata memberikan kontribusi kepada daerah melalui pajak daerah, retribusi daerah, serta pendapatan lain-lain yang sah berupa pemberian hak atas tanah pemerintah.  Dari pajak daerah sendiri, sektor pariwisata memberikan kontribusi berupa pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan serta pajak reklame. Sedangkan dari retribusi daerah, sektor pariwisata telah memberikan kontribusi berupa pajak tempat rekreasi.

Pemanfaatan potensi sumber daya alam sering kali tidak dilakukan secara optimal dan cenderung eksploitatif. Kecenderungan ini perlu segera dibenahi salah satunya melalui pengembangan industri pariwisata dengan menata kembali berbagai potensi dan kekayaan alam dan hayati berbasis pada pengembangan kawasan secara terpadu. Potensi wisata alam, baik alami maupun buatan, belum dikembangkan secara baik dan menjadi andalan. Banyak potensi alam yang belum tergarap secara optimal. Pengembangan kawasan wisata alam dan agro mampu memberikan kontribusi pada pendapatan asli daerah, membuka peluang usaha dan kesempatan kerja serta sekaligus berfungsi menjaga dan melestarikan kekayaaan alam dan hayati. Apalagi kebutuhan pasar wisata agro dan alam cukup besar dan menunjukkan peningkatan di seluruh dunia. Sekitar 52% aset wisata Indonesia sebenarnya berupa sumber daya alam. Australia memiliki 55% aset wisata yang juga merupakan jenis wisata alam. Tercatat lebih dari 29 juta penduduk Amerika melakukan sejumlah 310 juta perjalanan yang dimotivasi oleh wisata alam. Sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah, pengembangan industri agrowisata seharusnya memegang peranan penting di masa depan. Pengembangan industri ini akan berdampak sangat luas dan signifikan dalam pengembangan ekonomi dan upaya-upaya pelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Melalui perencanaan dan pengembangan yang tepat, ekowisata dapat menjadi salah satu sektor penting dalam ekonomi daerah.

Pengembangan industri pariwisata khususnya ekowisata memerlukan kreativitas dan inovasi, kerjasama dan koordinasi serta promosi dan pemasaran yang baik. Pengembangan ekowisata berbasis kawasan berarti juga adanya keterlibatan unsur-unsur wilayah dan masyarakat secara intensif.

Pengembangan kawasan wisata budaya adalah merupakan salah satu bentuk konkret dari pelestarian budaya dan manfaat bagi pengembangan kepariwisataan baik yang memiliki nilai-nilai pelestarian aset budaya, agar aset budaya tersebut dapat berfungsi lebih optimal untuk peningkatan dan pemahaman masyarakat akan pentingnya karya-karya budaya bangsa dalam bentik manajemen pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan yang baik. Kawasan wisata budaya mengandung makna penguatan regulasi dan penyusunan pondasi kebijakan yang mempermudah dan menjamin pelaku-pelaku di bidang kebudayaan dan kepariwisataan bersinergi dan berkoordinasi. Kawasan wisata budaya merupakan implementasi yang didasari kepada dua kepentingan yaitu mengembangkan kebudayaan dan kebudayaan sebagai bagian penting dalam menumbuhkembangkan kekuatan budaya lokal yang memiliki nilai unique selling point sebagai dasar untuk memasyarakatkan keunggulan komparatif dari segi budaya dan kepariwisataan. Pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu kawasan adalah dalam upaya mensinergiskan berbagai kepentingan sebagimana makna dari suatu kawasan merupakan keterpaduan pengelolaan yang memiliki nilai promosi yaitu one stop service, intinya pada satu tempat dapat diberikan pelayanan dari berbagai jasa usaha pariwisata dan dapat menikmati berbagai sajian kesenian dan kawasan wisata budaya, mencerminkan pengelolaan wisata budaya secara terpadu untuk tercapainya optimalisasi aset kepariwisataan dan kebudayaan sebagai langkah pemberdayaan masyarakat. Menuju kepada pendekatan penting Community Based Tourism dan Community Based Culture Centered.

Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pariwisata berbasis masyarakat sebagai sebuah pendekatan pemberdayaan yang melibatkan dan meletakkan masyarakat sebagai pelaku penting dalam konteks paradigma baru pembangunan yakni pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development paradigma) Pariwisata berbasis masyarakat merupakan peluang untuk menggerakkan segenap potensi dan dinamika masyarakat, guna mengimbangi peran pelaku usaha pariwisata skala besar. Pariwisata berbasis masyarakat tidak berarti merupakan upaya kecil dan lokal semata, tetapi perlu diletakkan dalam konteks kerjasama masyarakat secara global. Dari beberapa ulasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pariwisata berbasis masyarakat adalah pariwisata dimana masyarakat atau warga setempat memainkan peranan penting dan utama dalam pengambilan keputusan mempengaruhi dan memberi manfaat terhadap kehidupan dan lingkungan mereka.

Dalam konsep pariwisata berbasis masyarakat terkandung di dalamnya adalah konsep pemberdayaan masyarakat, upaya pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya selalu dihubungkan dengan karakteristik sasaran sebagai suatu komunitas yang mempunyai ciri, latar belakang, dan pemberdayaan masyarakat, yang terpenting adalah dimulai dengan bagaimana cara menciptakan kondisi suasana, atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang.

Dalam mencapai tujuan pemberdayaan, berbagai upaya dapat dilakukan melalui berbagai macam strategi. Salah satu strategi yang memungkinkan adalah pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang secara konseptual memiliki ciri-ciri uni serta sejumlah karakter yang oleh Nasikun (2000:26-27) dikemukakan sebagai berikut:1) Pariwisata berbasis masyarakat menemukan rasionalitasnya dalam properti dan ciri-ciri unik dan karakter yang lebih unik diorganisasi dalam skala yang kecil, jenis pariwisata ini pada dasarnya merupakan, secara ekologis aman, dan tidak banyak menimbulkan dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional, 2) Pariwisata berbasis komunitas memiliki peluang lebih mampu mengembangkan obyek-obyek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil dan oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha local, 3) Berkaitan sangat erat dan sebagai konsekuensi dari keduanya lebih dari pariwisata konvensional, dimana komunitas lokal melibatkan diri dalam menikmati keuntungan perkembangan pariwisata, dan oleh karena itu lebih memberdayakan masyarakat.

Tantangan mewujudkan pariwisata berkelanjutan berbasis masyarakat adalah memerlukan pemberdayaan masyarakat yang sungguh-sungguh dilakukan oleh, dari, dan untuk masyarakat secara partisipatif muncul sebagai alternatif terhadap pendekatan pembangunan yang serba sentralistik dan bersifat top down.

REFERENSI:
Arief, S. and A. Sasono (1980) Indonesia: Dependency and Underdevelopment. Kuala Lumpur, Meta
ADB (October 1999)

Fighting Poverty in Asia and the Pacific: The Poverty Reduction Strategy of the Asian Development Bank (Mimeo)

Pranarka, AMW dan Prijono, Onny S (ed). 1996. Pemberdayaan, Konsep,   Kebijakan dan Implementasi. CSIS. Jakarta.

Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan              Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta.

Syamsu dkk. 2001. Penerapan Etika Perencanaan pada kawasan wisata, studi kasus di kawasan Agrowisata Salak Pondoh, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta”, Jakarta: LP3M STP Tri Sakti, Jurnal Ilmiah, Vol 5. No. 3 Maret 2001.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun