Simthu ad-Durar adalah salah satu karya tentang sejarah nabi Muhammad yang dikarang oleh salah satu ulama kenamaan pada masanya yaitu Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Karyanya tidak kalah popular dengan karya-karya sebelumnya yang sudah menjadi santapan rohani para pencinta nabi Muhammad. Diantara karya yang popular sebelum munculnya Simthu ad-Durar adalah Barzanji karya Syekh Jafar al-Barzanji dan adz-Dziba’ karya Syekh Abdurrahman adz-Dziba’.Setiap tahun Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi meyeleng-garakan peringatan lahirnya Nabi Muhammad. Dengan membaca maulid adz-Dziba’ sebelum beliau mengarang Simthu ad-Durar. Kegiatan itu diselenggarakan setiap hari Kamis pada akhir bulan Rabiul Awwal dengan dihadiri para ulama dan para pemimpin di daerah tersebut.
Pada hari selasa pembuka Rabiul Awwal 1327 H, Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi menyuruh seseorang untuk membacakan maulid yang menjadi pembukaan pembukaan pada karyanya dengan pembukaan yang agung. Pada hari Kamis 10 Rabiul Awwal telah sempurna saduran Simthu ad-Durar dan kemudian dibacakan pada hari itu juga. Adapun sebab-sebab atau alasan penamaan kitab Simthu ad-Duraritu tidak dijelaskan oleh pengarang. Namun dalam petikan karya Taha bin Hasan dikatakan tujuan pembuatan kitab tersebut adalah untuk membangkitkan rasa duka cita yang mendalam bagi para muhibbin atas hubungan dan pertalian yang kuat dengan nabi Muhammad. Jika dilihat masing-masing kata penamaan kitab tersebut, maka secara sederhana bisa diartikan sebagai “Untaian mutiara kisah kelahiran manusia utama; akhlak, sifat dan riwayat hidup nabi”. Mutiara-mutiara itulah yang digubah oleh Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Habib Ali kemudian mengomentari sendiri karyanya dengan mengataakan: “jika seorang menjadikan kitab maulidku ini sebagai salah satu wirid atau menghafalnya maka, maka sir atau rahasia junjungan nabi Muhammad akan nampak pada dirinya. Aku mengarang dan mengimlakkanya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan nabi Muhammad. Ucapanku untuk nabi Muhammad adalah maqbul semua. Hal itu dikarenakan cintaku kepada junjungan nabi Muhammad, bahkan dalam tulisan-tulisanku juga maqbul. Bahkan dalam surat-suratku ketika aku menyifati nabi Muhammad, Allah membukakan padaku susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya.
nilai-nilai tasawuf diantaranya
1. Syukur. Banyak ulama mendefinisikan arti syukur, di antaranya menurut Ibnu Qayyim sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Isa ia mengatakan syukur adalah kesinambungan hati untuk mencintai sang Pemberi nikmat, kesinambungan anggota badan untuk menaatinya dan kesinambungan lisan untuk mengingat dan memujinya. Bersyukur adalah menisbatkan anugerah kepada pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan, makna syukur bukan hanya secara lisan tapi juga dengan anggota lain yaitu hatinya juga bersyukur
Menurut Habib Ali al-Habsyi syukur dengan lisan adalah nikmat yang besar. Manusia menerima beban lebih besar pada saat mereka menerima nikmat dibandingkan dengan memperoleh bencana. Karena bencana menuntut kesabaran, dan manusia mampu bersabar sedangkan kenikmatan perlu disyukuri padahal hanya sedikit orang-orang yang bersyukur. Pendapat Habib Ali ini sesuai dengan firman Allah surat Saba ayat 13: Dan sedikit sekali dari hamba-hamba yang bersyukur.
2. Zuhud. “Sederhana perangainya”. Zuhud secara literal berarti penarikan diri dari kesenangan duniawi dan menolak nafsu rendah. Zuhud adalah sikap melatih diri untuk tidak berhasrat kepada sesuatu yang mubah padahal ada kesanggupan untuk memperolehnya. Zuhud ini mempunyai sifat-sifat keutamaan dengan sifat yang lain seperti al-qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada), aliffah(menjaga diri dari sifat keburukan), as-sabru (sabar), at-tawadhu’(rendah hati), yang semua itu adalah kemampuan mencegah nafsu untuk mendapatkan kesenangan dunia. Karena Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang suka duniawi secara berlebihan maka dengan kita menerapkan sifat-sifat di atas tadi maka kita akan terhindar dari nafsu yang menginginkan kesenangan duniawi.
3. Nur Muhammad. Terminologi nur Muhammad adalah istilah yang digunakan oleh para sufi yang beraliran tasawuf falsafi. Seperti al-Hallaj, Ibnu Arabi dan al-Jilli. Nur Muhammad tidak persis identik dengan pribadi nabi Muhammad. Nur Muhammad sesungguhnya bukanlah persona manusia yang lebih dikenal sebagai nabi dan rasul terakhir. Dalam Simthu ad-Durardibahas pembahasan mengenai nur Muhammad: “Bahwa sesuatu yang mula pertama dicipta Allah. Ialah nur yang tersimpan dalam pribadi ini. Maka nur insan tercinta inilah. Makhluk pertama muncul di alam semesta. Darinya bercabang seluruh wujud ini. Ciptaan demi ciptaan. Yang baru datang ataupun yang sebelumnya”.
Pendapat Habib Ali al-Habsyi ini hampir sama dengan pendapat dari Ibnu Araby dalam kitab Fusus al-Hikam-nya, beliau berpendapat bahwa: Muhammad adalah ciptaan paling sempurna dari ras manusia. Untuk alasan ini segala sesuatu dimulai darinya dan di tutup dengannya. Sungguh, ia telah menjadi seorang nabi saat Adam masih berupa antara air dan tanah kemudian (ketika ia memanifestasi kepada bentuk manusia) dia adalah penutup para nabi”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H