Seusai peristiwa Mei 1998 di awal tahun 1999, empat orang sekawan membuka sebuah warung kopi dengan cara kongsi di depan sebuah rumah. Letaknya 9 (sembilan) meter dari lintas kereta api Tangerang-Kota. Dua orang merupakan anggota Kamra (Keamanan Rakyat) aktif. Kamra sendiri dibentuk 18 Februari 1999 berdasarkan Undang-undang N0. 20/1982 sebagai buntut dari tragedi Mei 1998.
Dua orang lagi merupakan pemuda yang ketika itu belum mempunyai pekerjaan tetap. Bangunan warung kopi dibuat dengan konsep tradisional menggunakan bahan bambu dan atap daun kelapa kering. Warung kopi itu menjual kopi seduh dan variannya, beragam menu masakan mie rebus dan goreng, beraneka minuman panas dan dingin serta rokok eceran.Â
Warung kopi mulai buka jam 07.00 pagi hingga tutup jam 10 atau di bawah jam 12 malam. Khusus hari sabtu dan minggu biasanya tutup lebih malam atau hari berikutnya. Keempat sekawan menjaga warungnya bergiliran. Sampai enam bulan pertama sejak warung kopi itu dibuka, omset dan penghasilan bersih yang didapat oleh warung kopi terhitung lumayan.
Tetapi memasuki bulan ke tujuh salah seorang dari empat sekawan bikin ulah. Omset dan penghasilan warung kopi menurun, kerja sama tim terganggu, emosi mulai memengaruhi pelayanan mereka pada konsumen. Jam buka warung tidak lagi konsisten. Masuk bulan berikutnya mereka punya pesaing, yang lokasinya bersebelahan. Tepat di sebelah kiri warung kopi.
Pesaing ini sebenarnya tidak lebih tepat disebut sebagai pesaing karena warung tersebut tergolong warung kelontong, yang tidak menyediakan makanan dan minuman instan siap saji, melainkan berbagai macam kebutuhan sehari-hari berupa barang mentah. Warungnya pun tidak dibuka seutuhnya sebab warung yang dimaksud adalah ruang tamu yang dialihfungsikan untuk berjualan.
Sehingga keberadaan warung itu di awal-awal hanya diketahui pembeli atau konsumen melalui mulut ke mulut. Tetapi baru diketahui kemudian bahwa warung kelontong yang buka di sebelah warung kopi empat sekawan akhirnya menjadi pesaing utama adalah karena warung kelontong itu ternyata menyediakan pula rokok eceran, minuman seduh termasuk kopi dan variannya, mie instan matang dan minuman dingin.
Dengan adanya konflik internal, pelayanan yang buruk, jam buka yang tidak konsisten dan adanya pesaing yang sangat dekat serta mempunyai kelengkapan barang penunjang kebutuhan sehari-hari yang dijual, harga jual lebih murah tidak terlalu memberikan pengaruh yang signifikan bagi warung kopi empat sekawan. Mereka terancam gulung tikar. Tetapi apakah pelayanan warung sebelah lebih baik?
Dari sekilas pengamatan ada ketigaklogisan dalam cara warung kelontong pesaing mengambil alih konsumen atau pelanggan warung kopi empat sekawan. Alasan ketidaklogisannya adalah harga yang dipatok warung kelontong lebih mahal dan pelayanan warung kelontong tidak lebih baik.Â
Lalu terdapat satu momen pemilik warung kelontong yang terpantau sejak warung kopi empat sekawan mulai dibuka, ia tidak pernah membeli atau memesan apa pun. Tetapi beberapa hari sebelum warung kelontong itu dibuka, pemilik sempat datang ke warung kopi empat sekawan untuk membeli satu buah kopi susu kemasan. Itulah satu-satunya momen pemilik warung kelontong berbelanja untuk pertama dan terakhir kalinya di warung kopi empat sekawan.Â
Dari ketiga poin ketidaklogisan yang diamati tentu saja tidak berhubungan dengan logika mistika. Meskipun sejumlah orang yang ikut mengamati mengaitkannya dengan perkara mistik. Alasan mengapa warung kelontong lebih laris dan dapat menarik pelanggan warung kopi empat sekawan bukan pengasihan, klenik atau hal gaib seperti kecenderungan pemikiran masyarakat adalah adanya kondisi yang lebih baik, lebih lengkap dan beberapa kelebihan lain dari warung kelontong pesaing.Â