Penyebab daddy blues lanjutan itu bernama YouTube dan kawanannya. Sebab lepas dari kecemasan pra kelahiran, masa kelahiran, pascakelahiran dan masa perawatan bayi, YouTube dan kawanannya dapat begitu saja mengambil alih pengasuhan tiap orang tua.Â
Rasa cemas, takut dan stres akan pertumbuhan dan perkembangan yang dapat berimbas pada masa depan anak belum berakhir ketika ternyata, kami juga dihadapkan pada sekawanan flatform digital, yang mampu berkamuflase menjadi apa pun lewat pola pengasuhan tak terlihat. Â Â
Kecemasan dalam pertarungan yang tak seimbang ini bahkan baru saja dimulai. Iya pertarungan, dan tak seimbang pula. Mirisnya, lawan utama ayah dan ibumu adalah platform digital, terutama YouTube.Â
YouTube telah mengambil alih sebagian masa kecilmu. Ia siap 24 jam terjaga untukmu. Energinya tak habis-habis. Daya tariknya mampu membuat dirimu tertawa, bicara, berjalan, melompat, bernyanyi tetapi sekaligus juga membuatmu membantah, berkata kasar dan berbohong.Â
Buatmu, YouTube bisa menjadi teman, saudara, ayah, ibu dan guru dalam bayangan, barangkali pula Tuhan. Tapi yang mengerikan, YouTube sekaligus juga bisa menjadi musuh dalam selimut, serigala berbulu domba atau musang berbulu ayam. Sebentar baik, sekejap lalu menyerupa monster.Â
Kamu tahu Nak! Ketika kami mengajarkanmu bahasa untuk mulai bicara dengan mengulang kata menyebut papa dan mama, entah bagaimana kosa kota yang kau pilih dan terlontar dari mulut kecilmu untuk memanggil kami adalah ayah ibu. Padahal kami tak pernah mengajarkan itu. Maka kami cenderung yakin itu ulah YouTube. Apakah baik?Â
Awalnya iya. Kami menilai YouTube luar biasa. Saat ibumu misalnya, kesulitan mencari cara agar dirimu berkenan menghabiskan makanan di piring yang telah disiapkan, tetapi ketika semua cara yang ibumu lakukan gagal dan akhirnya menyerah, ternyata dengan YouTube, makanan di piringmu kerap habis.Â
Waktu dongeng sebelum tidur kami kisahkan padamu secara bergantian supaya dirimu tertidur dengan tujuan membangun imajinasi dan daya kreatifitasmu, meskipun sesekali berhasil, lain kali kau tetap terjaga sementara kami sudah tidur pulas. Tapi cerita dongeng yang kami sodorkan dari YouTube kepadamu seringkali bisa membuatmu tiba-tiba nyenyak.
Camkan ini Nak! Salah satu teman YouTube-mu, yang membuat ayah terheran adalah konten mainan. Pada waktu-waktu ayah bisa menemanimu dulu, ayah melihat konten mainan ini sangat bisa melumpuhkan nalar logismu.Â
Bagaimana mungkin sebuah mainan baru yang bahkan masih dalam kemasan bisa tiba-tiba berada di atas pohon, di semak belukar, di tepian sungai, di lintasan rel kereta api atau lokasi lainnya yang mampu membunuh nalarmu. Siapa orangnya yang membuang mainan baru ke lokasi-lokasi berbahaya seperti itu? Tidak logis. Irasional. Â Â
Namun konten-konten semacam itu banyak sekali. Konten itu meniadakan logika, mengundang bahaya dan membuatmu berpikir bahwa mainan-mainan baru bisa didapat oleh seorang anak tanpa perlu membelinya atau bekerja terlebih dahulu. Semua tampak 'abrakadabra', sudah ada di depan mata, di tempat-tempat berbahaya pula. Ini kreator konten atau dukun mainan?
Sejak itu, ayah menyadari bahwa selain pengaruh positif, YouTube juga memberikan pengaruh negatif yang jauh lebih banyak, lebih dahsyat dan lebih kompleks bagi dirimu. Ironisnya, ayah tak sanggup sepenuhnya mencegahmu untuk tidak berinteraksi dengannya. Â
Maafkan ayah Nak! Ayah tak lagi punya waktu dan daya berlebih untuk bisa bertarung melawan dominasi YouTube dan kawanannya untuk bisa sesering mungkin bersamamu. Ayah hanya bisa menyerahkan pada ibumu agar semaksimal mungkin menjagamu dari pengaruh buruk YouTube.Â
Karena waktu dan daya yang ayah miliki telah jauh lebih dulu dibaktikan pada pekerjaan untuk menukarnya dengan sejumlah penghasilan demi mencukupi kebutuhan kita. Pekerjaan, yang bahkan senantiasa membuat kita hanya bisa bertemu satu kali sepekan. Dan dengan pendapatan ayah yang masih jauh dari harapan, ayah kerap membatalkan keinginanmu lantaran keuangan yang tak memungkinkan. Â
Lebih sedih, tiap ayah pulang di akhir pekan kamu sudah terlelap, Nak. Bila pun masih terjaga, ayah yang sudah lelah segera merebah tanpa sempat bercengkrama. Lalu lagi-lagi, YouTube yang menggantikan ayah menemanimu. Tak jarang kesedihan lebih meraja, karena pelukan yang ayah rindukan tak kesampaian lantaran kamu lebih memilih sibuk dalam diam bersama YouTube.
Maafkan ayah! Sampai saat ini masih belum mampu merebut hatimu sepenuhnya dari sebagian masa kecilmu yang telah diambil alih oleh YouTube. Tetapi ayah masih bersyukur, ada dampak positif YouTube yang masih singgah dan terbaca didirimu. Sampai suatu saat kau berkata "Aku rindu ayah" berulang kali melalui video call atau voice message, ayah yakin pada saatnya nanti, YouTube akan kita buat bertekuk lutut. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H