Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Kejujuran Lewat 'We Listen, We Don't Judge' di Dunia Penelitian

13 Desember 2024   15:15 Diperbarui: 13 Desember 2024   15:15 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tren We Listen, We Don't Judge(Pexels/azerbaijan_stockers)/lifestyle.kompas.com

Sekilas membaca sebuah artikel berjudul "Arti Istilah 'We Listen We Don't Jugde' yang Viral di Media Sosial" di tekno. kompas.com, rasa ingin tahu bergegas menelusuri apa maksud di baliknya.  

Beranjak dari topik pilihan jadi peneliti di Kompasiana dengan mengangkat ungkapan we listen we don't judge ke dalam topik tulisan kali ini, semangat apa sesungguhnya yang hendak dibawa dan dibangun ke dunia penelitian melalui ungkapan itu? 

We listen we don't judge merupakan sebuah tantangan kejujuran di media sosial. Sebuah tren untuk menempatkan momen pengakuan dan saling jujur kepada orang-orang terdekat terkait rahasia tersembunyi tanpa khawatir ada yang marah ataupun tersinggung saat mendengarnya. 

Biasanya, tren we listen we don't judge dilakukan oleh dua orang. Bisa bersama pasangan, teman, atau keluarga. Masing-masing dari mereka mengungkapkan fakta tersembunyi terkait hubungan mereka selama ini. Beberapa pengakuan yang diungkap pun beragam, mulai dari yang lucu hingga serius. 

Cara kerja tren we listen we don't judge cukup sederhana. Jika konten akan diunggah di TikTok atau di X, maka peserta hanya perlu berdampingan atau bersama. Bedanya, kalau di TikTok identik dengan menggunakan video, di X identik dengan menggunakan teks atau tulisan.

Maka mereka akan mengawali video atau tulisan dengan kalimat we listen, we don't judge bersamaan. Setelah itu, salah satu dari mereka mengungkapkan rahasia atau fakta tentang diri mereka yang selama ini belum pernah diketahui oleh lawan bicaranya. Dilakukan berulang secara bergantian. 

Di dalam tren atau fenomena we listen we don't judge terbungkus semangat positif, yakni semangat menarasikan cara mengekpresikan kejujuran di tengah-tengah dunia digital yang sudah penuh sesak dengan kebohongan atau hoaks. Apakah semangat yang sama juga hendak dibangun ke dunia penelitian?

Akhir-akhir ini dunia penelitian dalam konteks dunia pendidikan sedang diterpa isu pelanggaran etik. Banyak penelitian yang dilakukan oleh kaum intelektual di dunia pendidikan diduga hasil dari melakukan rekayasa, mencatut karya orang lain atau melalui perjokian. 

Lalu ketika hasil penelitian tersebut dipublikasi ke dalam jurnal ilmiah, diduga sengaja diterbitkan ke dalam publikasi kategori jurnal predator alias abal-abal. Hasilnya, seperti berita yang sudah beredar dan tersebar di media sosial bahwa dunia pendidikan kita sedang terjerat perjokian, jurnal predator dan gelar bermasalah. 

Artinya, intelektualitas pendidikan kita kini patut dipertanyakan dan dikemblikan integritas dan kredibilitasnya. Semangat untuk mengembalikan intelektualitas pendidikan pada integritas dan kredibilitas inilah yang sepertinya hendak dibangun di dunia penelitian melalui ungkapan 'we listen, we don't judge', yang secara harfiah bermakna kita mendengarkan, kita tidak menghakimi atau memvonis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun