Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar dari Sapi dan Martabak untuk Pendidikan Berkualitas

27 November 2024   17:36 Diperbarui: 27 November 2024   17:38 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia pendidikan tengah dihebohkan oleh seorang murid dan guru di sebuah sekolah dasar (SD) di Lumajang. Usai tanya jawab tentang makanan yang dikonsumsi oleh sapi, antara guru dan murid-murid di sekolah tersebut, tanya jawab itu membuat heboh dan viral di media sosial TikTok. 

Pasalnya, salah seorang murid sekolah dasar yang bernama Desril menjawab dengan jawaban tak biasa untuk pertanyaan, sapi yang menghasilkan susu makannya apa?  

Ketika teman-temannya menjawab makanan sapi adalah rumput atau buah-buahan, Desril justru menjawab dengan jawaban yang tak pernah terbayangkan oleh sang guru atau siapa pun, yaitu "martabak".

Jawaban martabak membuat Pak Ribut, guru yang bertanya tidak begitu saja percaya. Tetapi alih-alih berdebat panjang tanpa ada ujungnya alias debat kusir, Pak Ribut lebih memilih menghentikan debat dan akan membuktikan jawaban Desril dengan melihat langsung ke TKPS (Tempat Kejadian Perkara Sapi). 

Maka pada konten yang tersebar di media sosial berikutnya, dalam konten menguji pembuktian, tersaji kunjungan Pak Ribut dan Desril ke rumah tetangga Desril, yaitu Pak Kamal pemilik sapi. Di sana Pak Ribut terlihat membawa beberapa potong martabak. 

Saat potong demi potong martabak mulai disodorkan, tampak sapi milik Pak Kamal melahap habis setiap potongan martabak yang disodorkan ke mulut sapi tersebut. 

Dengan membuktikan dan menyaksiksan secara langsung, Pak Ribut akhirnya percaya bahwa ada sapi makan martabak. Karenanya Pak Ribut rela merogoh kocek hingga Rp 1 juta sebagai hadiah kepada Desril sebab jawaban sapi makan martabak terbukti benar. 

Sementara seringkali dalam ruang debat yang membahas tema-tema penting yang terkait masalah kebangsaan dan kenegaraan, kita kerap melihat dalam setiap debat di berbagai ruang digital dengan topik apa pun, terutama aspek politik, para pendebat selalu saling mempertahankan argumentasi dan pendapat tanpa menunjukkan bukti konkret. 

Semua pendebat biasanya mengacu pada data yang ditunjukkan, dan tentu saja setiap data ternyata tidak mempunyai kecenderungan kesamaan antara data satu dan lainnya, meskipun untuk objek data yang seharusnya sama. Jadi, siapa benar dan siapa salah tetap saja masih menjadi pertanyaan di benak penonton. 

Padahal seperti kita ketahui bahwa peserta debat pada acara atau program di ruang-ruang digital senantiasa terdiri orang- orang yang mempunyai jenjang pendidikan tinggi, intektualitas mumpuni, kompetensi, kapabilitas, keahlian dan kecerdasan. Karena umumnya mereka adalah para pejabat, eksekutif, profesional, akademisi, praktisi atau pakar lainnya. 

Tetapi bukannya menunjukkan pembuktian konkret atau minimal melahirkan solusi cerdas, debat pada setiap acara atau program justru menciptakan polemik dan berlanjut di kolom komentar oleh masing-masing kubu pembelanya. 

Tak jarang bersambung dengan pembuatan konten-konten penguat pendapat atau argumentasi oleh masing-masing kubu untuk melakukan pembelaan siapa yang benar dan siapa salah, dengan catatan tetap tanpa titik temu. 

Begitu terus debat yang terjadi antar para elite di ruang-ruang digital tanpa melakukan eksekusi melalui adu atau uji validitas data secara langsung. Pertanyaannya, di tingkat pendidikan yang mana perdebatan hanya bisa diuji lewat retorika tanpa pembuktian untuk dapat menentukan validitas dan kebenaran suatu data? 

Di dunia pendidikan, Ujian Nasional 2024 mengacu pada wacana Ujian Nasional yang akan dikembalikan oleh Kemendikdasmen usai Kemendikbudristek dipecah, banyak pihak tidak setuju atau tidak sepakat, dengan alasan yang juga belum dapat diuji kepastiannya. 

Padahal dengan adanya UN, ini berarti dunia pendidikan sedang menguji kebenaran sapi penghasil susu makan martabak, tentu saja dalam konteks yang sangat luas. 

Pendidikan juga seharusnya melahirkan mental-mental pendebat yang tidak asal bicara walaupun berbasis data. Karena data yang benar adalah data yang bisa ditunjukkan validitasnya, bukan sekadar retorika semata. 

Maka dari perisitiwa debat sapi dan martabak kita bisa belajar banyak hal dan mengambil manfaat untuk membuat pendidikan berkualitas di Indonesia. Beberapa hal yang dapat dipelajari dan bermanfaat dari kebenaran sapi makan martabak antara lain:

1. Ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki sifat adaptif terhadap lingkungan dan peradaban manusia. Seperti sapi yang ternyata tidak lagi hanya makan rumput, dedaunan, sayuran atau buah-buahan, sapi beradaptasi pada apa pun makanan yang diuji cobakan. 

Dengan demikian, dunia pendidikan dengan segala konsep, sistem, strategi dan perkembangannya tidak berjalan statis, melainkan terus mengikuti dinamika yang terjadi. 

2. Sapi makan martabak menunjukkan bahwa kemampuan beradaptasi seharusnya diterapkan pada pola pendidikan kita, sehingga apa pun tantangan dan perubahan yang terjadi akan mampu diantisipasi oleh setiap generasi yang dihasilkan oleh pendidikan. 

3. Dunia pendidikan wajib melahirkan generasi cerdas yang tidak hanya mampu menjadi pendebat hebat tetapi sekaligus pendebat yang solutif dan bermental ksatria. 

Bayangkan bila semua guru yang merupakan identitas sosok cerdas di sekolah, mempunyai jiwa ksatria seperti Pak Ribut, berkenan merendahkan ego keilmuannya (mengakui kekurangannya) dengan berupaya membuktikan langsung kebenaran jawaban seorang murid sekolah dasar (SD). 

4. Sapi makan martabak mengajarkan pada kita semua bahwa kebenaran tidak hanya bisa dikatakan, tetapi perlu diuji atau dibuktikan. Itulah kenapa di dunia pendidikan, ujian perlu dilaksanakan. 

5. Tidak sekadar berkenan merendahkan ego keilmuannya, Pak Ribut juga memberikan apresiasi terhadap kebenaran dengan memberi hadiah uang kepada Desril. 

Artinya, Orang-orang terdidik selain diharapkan berjiwa ksatria, juga diharapkan mempunyai sikap rendah hati, tidak sombong, simPATI danbempati serta peka dalam merespon kemampuan atau pengalaman orang lain. 

Untuk dunia pendidikan, tentu bisa menjadi contoh betapa apresiasi atau penghargaan dibutuhkan baik oleh pendidik maupun peserta didik. 

Belajar dari sapi dan martabak untuk pendidikan berkualitas, berarti berusaha mempelajari, menggali, mendalami dan menyelami peristiwa tanya jawab antara guru dan murid tentang keilmuan, sikap dan perilaku pendidikan serta korelasi positif yang dapat diambil darinya. 

Untuk kemudian sedemikian rupa disusun dan dibentuk untuk menjadi kebiasaan di dalam kegiatan belajar mengajar. Sehingga apa yang dapat dipelajari dari peristiwa sapi makan martabat dan memberi manfaat bagi dunia pendidikan segera bisa diterapkan guna menghasilkan pendidikan berkualitas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun