Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena 'Referendom' di Generasi Topping

15 Juni 2024   12:48 Diperbarui: 15 Juni 2024   13:48 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok. Pribadi

Baru-baru ini beredar informasi tentang seorang mahasiswi lulusan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (UNSRI) melakukan somasi kepada Universitas Muhammadiyah (UM) Palembang Fakultas Hukum atas salah satu mahasiswinya yang diduga telah melakukan plagiat skripsi. Kelanjutan atas somasi itu membuat UM Palembang resmi menjatuhkan sanksi berat berupa pembatalan wisuda dan memberikan skors selama satu semester terhadap mahasiswi pelaku plagiat sebagai konsekuensi yang harus ditanggung atas perbuatannya. 

Sebelumnya, bertahun-tahun ke belakang, sudah sering tersiar berita tentang plagiarisme yang membuat heboh dunia pendidikan. Terlebih ketika diketahui bahwa tindakan plagiarisme yang terjadi di dunia pendidikan dilakukan oleh orang dengan gelar akademis yang seharusnya terbilang memiliki kemampuan mumpuni untuk menciptakan karya orisinal. Mulai dari plagiat artikel ilmiah, jurnal ilmiah, tesis, disertasi atau tulisan ilmiah lainnya, yang terbukti pernah dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Mengapa plagiarisme di kalangan intelektual masih terjadi?

Menurut pengamat dan praktisi pendidikan Indra Charismiadji seperti dilansir dari jawapos.com, mengatakan bahwa plagiarisme sudah dimulai pada jenjang sekolah dasar hingga menengah. Berdasarkan data kajian, tindakan plagiat peserta didik di tinggakt SD hingga SMA sangat masif. Bahkan angkanya mencapai 94 persen. "Ternyata 94 persen mereka itu cocok dengan tulisan siswa lainnya," ungkapnya dalam sebuah webinar Plagiarisme dan Wajah Masa Depan Dunia Akademik. Mengacu pada data kajian tindak plagiat di tingkat SD hingga SMA yang angkanya mencapai 94 persen, sepertinya dunia pendidikan belum bisa berharap banyak untuk dapat menekan tindak plagiarisme atau plagiat di tingkat pendidikan tinggi sekalipun.

Selain itu, tuntutan publikasi ilmiah untuk pemenuhan syarat kenaikan jenjang jabatan dan keharusan gelar pendidikan lebih tinggi untuk dapat memenuhi syarat tetap bisa mengajar di berbagai perguruan tinggi menjadi faktor lainnya, yang membuat tindak plagiarisme atau plagiat marak dilakukan sebagai jalan percepatan untuk pemenuhan syarat karena secara personal dianggap kebutuhan mendesak. Dan di sisi lain, di luar dunia pendidikan, tindakan plagiarisme atau plagiat juga kerap dilakukan.   

Seperti yang terjadi di sekira tahun 2017, ketika sebuah artikel berjudul 'Warisan' viral dan membawa nama penulisnya mengalami kondisi sama, yakni fase viral. Sehingga dalam masa-masa itu sang penulis sempat mengalami sukseskadabranya. Namun kondisi tersebut tidak bertahan lama ketika kembali beredar informasi viral tentang artikel yang berjudul 'Warisan' dan beberapa judul lain yang ditulis olehnya bukan hasil karya orisinal, melainkan karya orang lain yang dibuat tanpa menyebutkan sumber sehingga banyak orang menyatakan bahwa perbuatan penulis adalah tindakan plagiat. Maka tak butuh waktu lama, informasi viral tentang tindakan plagiat membuat penulisnya menerima apa yang disebut dalam generasi topping sebagai balakazam. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan plagiarisme atau plagiat ini sehingga pelakunya harus mendapat konsekuensi?

Menurut Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Rhenald Kasali plagiat atau tidak, hanya berlaku untuk karya ilmiah. Sepanjang kata-kata atau tulisan merupakan pendapat umum, hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai plagiarisme. Secara etimologi, plagiarisme berasal dari kata Latin “plagiarius” yang berarti “penculik”, yang menculik anak. Aronson (2007) menyatakan bahwa kata plagiarisme masuk ke dalam kamus bahasa Inggris Oxford pada tahun 1621 dan plagiarisme telah didefinisikan oleh Encyclopedia Britannica sebagai “tindakan mengambil tulisan orang lain dan memberikannya sebagai milik sendiri.” Ini adalah tindakan pemalsuan, pembajakan, dan penipuan dan dinyatakan sebagai kejahatan serius akademisi (Jawad 2013) . 

Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) plagiarisme berarti penjiplakan yang melanggar hak cipta dan plagiat berarti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri. Sehingga berdasarkan semua definisi tadi dapat disimpulkan bahwa plagiarisme atau plagiat merupakan tindakan atau perbuatan yang sama, yaitu mengambil tulisan orang lain tanpa mencantumkan atau menyebutkan nama sumber penulis asalnya, baik untuk karya ilmiah maupun tulisan umum dengan perbedaan kepemilikkan hak cipta dan konsekuensinya. 

Pada karya ilmiah semacam skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah, jurnal atau tulisan ilmiah lainnya, yang dinilai sebagai bentuk hasil karya tulis adalah yang mempunyai hak cipta sehingga apabila dilanggar melalui plagiarisme atau plagiat, maka pelakunya akan menerima konsekuensi seperti pencabutan nilai, pembatalan wisuda, skorsing, pembatalan ijasah, pencopotan jabatan, pemecatan, penundaan kenaikan jabatan, pembayaran denda atau konsekuensi akademis lainnya. 

Sedangkan pada tulisan yang menghasilkan karya tulisan seperti artikel yang bersifat umum, akan cenderung dianggap sebagai pendapat umum atau opini yang tidak memiliki nilai hak cipta, dan seperti diketahui bahwa konsekuensi yang bisa diterima oleh orang yang melakukan plagiarisme atau plagiat untuk kategori ini umumnya hanya cenderung sebatas sanksi sosial. Lalu apa kaitannya dengan fenomena "referendom" di generasi topping? 

Akhir-akhir ini di dunia digital ada dua kasus menarik yang menjadi sorotan warganet (masyarakat) dan mendapat respon luar biasa. Salah satu respon luar biasa tersebut yaitu kemunculan konten-konten kreator atau para topper, yang membuat konten dalam bentuk video dengan ulasan topik kasus Vina-Eky Cirebon atau peristiwa hukum putusan MA (Mahkamah Agung). Dan dari semua konten-konten itu, beberapa diantaranya mengalami fase viral. Dari fenomena kemunculan konten-konten semacam itulah didapat temuan menarik terkait perilaku sosial dalam interaksi digital manusia, yang dapat merepresentasikan perilaku sosial pada konten-konten yang dimaksud sebagai  fenomena "referendom". Sebelum masuk pada fenomena "referendom, ada satu istilah yang dapat mengarahkan mengapa fenomena "referendom" menjadi menarik untuk diangkat sebagai temuan dalam interaksi sosial digital. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun