Siang itu sekira tahun 1986. Seorang anak berusia belasan tahun tengah menggelar sajadah di antara orang-orang yang telah lebih dulu membuat barisan salat di sebuah mesjid. Baru saja dia duduk pada hamparan sajadah yang digelarnya, seorang laki-laki muda dari barisan depan menoleh ke belakang dan berkata pada seorang muda lainnya yang duduk bersila di samping kiri sang anak.
"Ini anak yang pintar itu ya? Yang juara kelas. Dari tampangnya memang kelihatan cerdas. Besar nanti pasti jadi orang sukses"
Anak laki-laki itu hanya memandang dingin kepada dua laki-laki muda yang sedang bercakap-cakap. Lalu mengedar pandang ke sekeliling. Tak ada anak lain di barisan situ. Bila laki-laki muda yang ditanya tak menyahut, anak itu sama sekali tak menduga bahwa spatles itu ditujukan untuk dirinya sebab dia tak mengenal kedua pemuda.
"Iya betul anak ini" sahut laki-laki muda yang ditanya sambil menepuk bahu si anak.
Spatles yang ditujukan kepada anak laki-laki itu bukan terjadi sekali. Di lingkungan tempat tinggalnya, spatles terus berdatangan dari orang-orang di sekitarnya. Baik dari orang-orang yang dikenal maupun orang-orang yang tak dikenalnya.
Tahun terus berganti. Anak itu juga tumbuh seperti anak-anak lainnya. Setamat Sekolah Dasar Negeri (SDN), dia diterima pada sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN). Dia menjadi satu-satunya murid yang diterima dan bersekolah di SMP Negeri yang berasal dari SDN tersebut setelah seorang teman lainnya yang juga diterima di SMP Negeri lebih memilih bersekolah di SMP swasta. Spatles tertuju lagi padanya.
Di bangku sekolah SMP, dia dispatles lagi. Patuh, pendiam, rajin belajar, tidak pernah membolos, taat beribadah dan lainnya. Sangat sedikit bahkan nyaris tidak ada stigma yang pernah ditujukan pada dirinya. Meski postur tubuhnya kala itu terbilang paling kecil dan pendek di antara teman-teman sebaya satu sekolahnya---yang bisa saja mengundang perisakan atau stigma berulang baginya, tetap saja ia lebih sering menerima spatles. Â
Saat kelulusan SMP, dia terima sebuah amplop berisi selembar kertas seukuran A5 yang menunjukkan bahwa nilai hasil ujiannya dinyatakan layak  untuk mendaftar pada Sekolah Teknik Menengah Negeri Grafika yang menjadi pilihannya. Hatinya gembira. Namun kegembiraannya tidak sempurna karena untuk diterima sebagai murid STMN Grafika harus melalui serangkaian tes yang tidak mudah.
Mengapa orang tak henti memberikan spatles pada dirinya tanpa menggali lebih jauh untuk melihat keadaan yang sebenarnya? Barangkali kita memang memiliki kecenderungan menilai segala sesuatu hanya dari apa yang dilihat dan didengar tanpa perlu mengetahui kebenarannya. Karena kita seringkali membiarkan pikiran dalam kondisi heuristic, yang membuat nalar kita lumpuh sehingga selalu menggunakan cara berpikir cepat, mudah, sederhana dan ikut-ikutan. Â
Orang-orang yang melalukan spatles pada anak yang di tahun 1986 baru berusia belasan tahun tersebut, tidak tahu kebenarannya. Anak itu memang juara di tingkat Sekolah Dasar (SD) saat kelas lima dan enam, yang orang tidak tahu adalah jumlah murid di kelasnya kala itu hanya sekira 16 (enam belas) siswa.Â