Seiring perkembangan interaksi sosial digital yang semakin masif, kosakata baru sepertinya menjadi salah satu isi materi yang diselipkan ke dalam konten bagi sejumlah generasi topping.Â
Bila di generasi Z atau di generasi sebelumnya kosakata baru dimunculkan untuk pergaulan sehari-hari sehingga timbul bahasa gaul dengan berbagai versi, seperti bahasa gaul prokem, bahasa gaul alay dan bahasa gaul Jaksel.Â
Bahasa gaul merupakan hasil kreatifitas kaum muda dalam menciptakan komunikasi yang berupaya keluar dari keseriusan atau kebakuan kata per kata agar tidak kaku, luwes dan santai ketika bercakap-cakap di kalangan sebayanya.Â
Komunikasi dalam bahasa gaul awalnya  cenderung dicipta dan dimanfaatkan untuk kebutuhan di antara kelompok kaum muda supaya tidak dimengerti oleh kelompok lainnya terutama oleh para orang tua.Â
Namun selaras dengan pemakaiannya yang terus merambah pergaulan, bahasa gaul kian menjadi tren dan dikenal sampai akhirnya pada satu masa, Debby Sahertian, seorang artis, pembawa acara dan pemain peran meluncurkan buku "Kamus Gaul Debby Sahertian Bow!". Sehingga Debby Sahertian dikenal sebagai salah satu sosok pencipta bahasa gaul.
Beberapa kosakata bahasa gaul Debby Sahertian yang masih sering digunakan di antaranya adalah: akika/eke; aku, begindang; begini, belenjong; belanja, cucok; cocok, dese; dia, endang; enak, jayus; humor yang tidak lucu (garing), jeng; sapaan untuk perempuan, jijay; jijik, lekong; laki-laki, makarena; makan, mursida; murah, sapose; siapa, Titi DJ; hati-hati di jalan, yey; kamu.
Sementara untuk bahasa gaul prokem yang identik dengan bahasa daerah lokal terutama betawi, sempat booming di eranya, dan sejumlah kosakata yang masih sesekali terdengar digunakan antara lain: bokap; bapak, nyokap; ibu, siokap; siapa, brokap; berapa, mokat; mati, rokum; rumah, pembokat; pembantu, celokan; celana, sokat; sakit.Â
Deretan kosakata baru gaul lainnya seringkali disebut bahasa gaul alay atau anak layangan, yang awalnya merujuk pada setiap penulisan kata dengan menggabungkan huruf dan angka yang menyerupa huruf dengan tambahan berbagai macam tanda baca untuk penegasan. Di antara kosakata yang paling kentara mencirikan bahasa gaul alay lainnya adalah kata ciyus; serius, miapah; demi apa, macama; sama-sama, cemungut; semangat, ea; ya atau iya.Â
Pada umumnya, setiap kosakata baru diciptakan dari jenis akronim, singkatan, pelesetan kata dan huruf atau suku kata yang dibalik, seperti baper dari bawa perasaan, gabut dari gaji buta, curcol dari curhat colongan, OTW dari on the way, OOTD dari outfit of the day, GWS dari get well soon, keles atau keleus dari kata kali, halu dari kata halusinasi, gemoy dari kata gemas, ngab dari kata bang, woles dari kata selow atau santai, gelay dari kata geli, dan kosakata lainnya.Â
Sedangkan hal berbeda tidak didapat dari bahasa gaul Jaksel karena bahasa gaul Jaksel lebih merujuk pada penggunaan campuran bahasa antara Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris, bukan berdasarkan penciptaan kosakata baru. Lalu siapa yang memulai atau menjadi pionir pengejar viral melalui kosakata baru di era serba digital?
Sebagian masyarakat barangkali masih ingat dengan frasa-frasa berikut ini: kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, labil ekonomi, twenty nine my age, harmonisasi dan statusisasi, yang digunakan oleh seorang Vicky Prasetyo dalam sebuah wawancara seusai acara pertunangannya dengan seorang artis dangdut pemilik goyang itik, Zaskia Gotik.
Bila merujuk pada frasa atau kata tanpa terikat pada kalimat, sepertinya tak ada yang salah dengan frasa atau kata yang sempat menghebohkan jagat publik tersebut. Tetapi jadi lain soal saat frasa atau kata masuk ke dalam kalimat, terutama saat kalimat-kalimat yang diungkapkan dalam wawancara di sekira tahun 2013 dan diunggah oleh akun "tv-ri" pada 7 September 2013 ternyata terdengar tidak pas, aneh, intelek tapi tidak jelas makna, ngaco, ngawur atau sebut saja ambyar seambyar-ambyarnya.Â
Kehebohan wawancara itu kemudian mengenalkan publik pada bahasa intelek yang dikombinasi dengan Bahasa Inggris mirip bahasa gaul Jaksel, yang tentu saja terpeleset hingga menjadi narasi "Bahasa Vickynisasi" untuk merujuk pada upaya seseorang yang gagal meniru gaya bahasa yang dimiliki oleh kalangan berstatus sosial dan berpendidikan tinggi, cendikiawan atau kaum intelektual.Â
Untuk mengingatkan kembali pada kehebohan pada masa itu, di antara isi wawancaranya adalah berikut: Â
"Di usiaku ini, twenty nine my age, aku masih merindukan apresiasi karena basically, aku senang musik, walaupun kontroversi hati aku lebih menyudutkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih ya", lalu "Kita belajar, apa ya, harmonisasi terkecil sampai terbesar. Aku pikir kita nggak boleh ego terhadap satu kepentingan dan kudeta apa yang kita menjadi keinginan". Lanjut, "Dengan adanya hubungan ini, bukan mempertakut, bukan mempersuran statusisasi kemakmuran keluarga, tapi menjadi confident.", dan "Tapi, kita harus bisa mensiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita tetap lebih baik dan aku sangat bangga..."
Seorang psikiater dari RS. Omni Alam Sutera, dr. Andri, SPKJ menganggap istilah-istilah baru yang dipakai Vicky seperti 'statusisasi kemakmuran' membuat fungsi bahasa sebagai alat komunikasi gagal karena tidak ada yang paham maksudnya. Ditambahkan oleh dr. Andri, dalam ilmu kedokteran juga dikenal istilah neologisme, yakni pembentukkan kata-kata baru yang tidak memiliki konteks. Kencenderungan ini sering ditemukan pada gangguan jiwa berat. Pembentukkan kosakata baru yang tidak bisa dirujuk sebagai perbendaharaan kosakata Bahasa Indonesia lantaran dimaksudkan untuk maksud lain. Biasanya terjadi pada gangguan jiwa berat. Apakah Vicky mengalami neologisme seperti pada gangguan jiwa berat?Â
Baik bahasa gaul Jaksel atau bahasa Vickynisasi, keduanya tidak menghasilkan kosakata baru, melainkan semangat atau tren baru dalam berkomunikasi. Tetapi untuk kasus bahasa Vickynisasi, frasa atau kata yang diungkap terkesan baru sehingga kata atau frasa yang diucapkan di antaranya bisa dikatakan sebagai neologisme. Namun yang patut menjadi perhatian dari frasa atau kata yang diungkap oleh Vicky adalah kehebohan sampai tiba dan berada di fase viral serta melahirkan narasi 'bahasa Vickynisasi'.Â
Di fase itulah, nama Vicky Prasetyo kemudian dikenal publik, dan dengan segenap kontroversi kehidupan asmara dan pernikahannya, ia justru mulai diundang ke berbagai acara hingga akhirnya menjadi artis dan pembawa acara. Sebuah popularitas yang didapat dari cara tak biasa. Di luar prediksi para motivator (baca: formulapreneur). Mirip seekor kelinci yang dikeluarkan dari dalam topi seorang pesulap. Salah satu keuntungan atau keberhasilan (cuan) yang dalam generasi topping disebut "Sukseskadabra".Â
Pengalaman Vicky Prasetyo tiba dan berada di fase viral lewat bahasa Vikcynisasi lalu meraih sukseskadabra, selanjutnya menjadi pionir atau perintis jalan sukses bagi para generasi topping. Kisah Vikcy kemudian mulai diikuti oleh sebagian besar generasi topping dengan berupaya menyelipkan atau memasukkan kosakata baru pada konten yang dibuatnya. Mengejar viral melalui kosakata baru bagi generasi topping kini banyak dilakukan di berbagai platform digital dan/atau platform media sosial. Â Â Â Â Â
***
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H