IKN yang terletak di Penajam Paser, Kalimantan Timur akan menggantikan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara (IKN), lantas nama baru untuk Ibu Kota Negara (IKN) apa? Masa iya IKN (i-ka-en)Â yang notabene kependekkan dari identitasnya sebagai kota ibu suatu negara. Bila mau sederhana sih diberi nama sesuai letaknya, yakni Penajam Paser.Â
Tetapi untuk topik kali ini yang jadi bahasan bukan Ibu Kota Negara barunya, melainkan mantan Ibu Kotanya, yaitu Jakarta. Iya, bila Ibu Kota Negara resmi berganti maka Jakarta akan menjadi mantan Ibu Kota. Kalau katanya Ibu Kota lebih kejam dari Ibu Tiri, kira-kira mantan Ibu Kota akan tetap kejam tidak ya?
Jakarta telah banyak memberi warna kehidupan khususnya bagi warga yang bermukim atau bertempat tinggal di dalamnya. Sejumlah peristiwa besar pernah terjadi di Jakarta. Antara lain, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, perpindahan sementara Ibu Kota Negara ke Yogyakarta, Peristiwa Gerakan 30 September 1965, Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974 dan Kerusuhan Mei 1998. Â
Sebelum bernama Jakarta, wilayah ibu kota sempat bernama Sunda Kelapa, Jayakarta atau Batavia pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan Jakarta di berbagai sektor kemudian menjadi daya tarik bagi orang-orang desa untuk beramai-ramai mengadu nasib di Ibu Kota. Terlebih para penduduk yang tinggal di kota penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur.Â
Urbanisasi penduduk dari desa atau kota penyangga ke Jakarta mulai terjadi sejak masa orde baru ketika pembangunan sedang gencar dilakukan. Urbanisasi kemudian membuat penduduk Jakarta semakin padat, jumlah moda transportasi termasuk transportasi pribadi melesat, polusi meningkat. Sebagai pusat kota dan Ibu Kota Negara, Jakarta kini dihuni oleh beraneka ragam suku, ras dan budaya.
Kepadatan penduduk Jakarta tentu saja berdampak pada ketersediaan lahan hunian yang semakin sempit, air tanah yang memburuk, lahan terbuka hijau yang kian berkurang, sistem pembuangan air sisa rumah tangga yang tidak teratur, pengelolaan sampah yang tidak terintegrasi, penyerapan air tanah yang terus tergerus jalan-jalan aspal atau beton, pendirian bangunan rumah-rumah yang tidak sesuai aturan dan banyak aspek yang menjadikan Jakarta semrawut.
Akibatnya, Jakarta jadi salah satu kota termacet di Indonesia, seringkali dilanda banjir saat tiba musim hujan, dan senantiasa mengalami polusi udara. Oleh karena masalah kepadatan, kemacetan, banjir dan polusi yang sampai saat ini belum menemukan solusi pemecahan, Jakarta akhirnya akan digantikan sebagai Ibu Kota Negara.
Namun menurut generasi topping, desa atau kota termasuk ibu kota adalah wilayah yang berlokasi di suata area tertentu yang merujuk pada fisik. Sementara segala sesuatu yang memiliki daya tarik dari kota Jakarta bukanlah status keibukotaan atau lokasinya, melainkan keberagaman penduduk dengan segenap permasalahan yang bisa menjadi bahan, objek atau sumber kreativitas untuk pembuatan konten.Â
Oleh sebab itu, jika Jakarta menjadi mantan ibu kota dan tata kelolanya mengarah pada penyatuan wilayah dengan kota-kota penyangga Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur maka aglomerasi Jakarta bagi generasi topping sesungguhnya bukan suatu masalah yang harus diperdebatkan.Â
Jakarta sekarang atau Jakarta nanti (mantan ibu kota) bila ditelaah untuk aglomerasi terhadap kota-kota penyangga Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur tidak akan mengubah apa-apa kecuali penyebutan untuk nama atau identitas kotanya saja. Karena yang menarik dari setiap wilayah atau kota bagi generasi topping adalah daya tarik yang dimiliki untuk bahan, objek atau sumber konten. Jakarta sendiri memiliki begitu banyak daya tarik yang luar biasa, yang bisa dijadikan bahan, objek atau sumber untuk materi pembuatan konten.Â