Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Agak Laen: "Omon Koson" Politik, Jalan Buntu Demokrasi

22 Februari 2024   19:45 Diperbarui: 22 Februari 2024   20:09 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: tandaseru.di/gurusiana.id

Banyak politisi bahkan masyarakat yang terbilang awam tentang dunia politk, mengatakan hal yang senada tentang adanya kepentingan abadi yang mampu menafikan pertemanan abadi dan permusuhan abadi. Narasi tersebut rasanya terus bergema terhitung sejak awal reformasi hingga pemilu tahun ini.

Tapi sungguh tanpa disadari, sepertinya diksi 'kepentingan' yang diperkuat dengan diksi 'abadi' yang membentuk frasa 'kepentingan abadi' yang terus bergema memiliki kecenderungan 'agak laen' dalam menghambat demokrasi bersih dan sehat. Frasa 'kepentingan abadi', memenuhi alam bawah sadar manusia untuk menutup jalur-jalur yang bersih dan sehat sehingga menghadirkan jalan buntu bagi demokrasi yang demikian.  

Lebih dalam, ketika frasa itu sanggup menguburkan frasa pertemanan abadi dan permusuhan abadi, kepentingan abadi mempunyai tendensi kuat menjadi biang kerok rusaknya demokrasi di sepanjang perjalanan sejarah demokrasi Indonesia usai bergulirnya rezim orde baru.

Parahnya, dengan menyaksikan berbagai hasil reportase pemilu 2024 biang kerok tersebut terindikasi menguat. Frasa kepentingan abadi teridentifikasi sangat terbuka (overtcover) dan sangat jelas pula menafikan frasa pertemanan abadi dan permusuhan abadi.

Bagi para politisi, adagium yang menarasikan tak ada pertemanan abadi dan permusuhan abadi kecuali kepentingan abadi adalah hal yang dinamis dan biasa saja dalam ranah politik. Padahal akar masalahnya justru berada di titik itu.

Oleh karena disitu pulalah ujung dari korban politik lagi-lagi kembali ke rakyat, yang dalam negara demokrasi seharusnya jadi pemegang kekuasaan tertinggi. Tapi malang, kekuasaan rakyat dalam demokrasi selama ini masih sebatas simbolisasi. Coba perhatikan dinamika politik yang terjadi pada pemilu sekarang bila dinilai sebagai sesuatu yang dinamis dan biasa saja!

Vote buying yang ternyata masih terjad sebagai aktivitas penawaran harga untuk suara dengan alat tukar material uang, sembako atau lainnya, yang menjadi bagian dari money politics terkesan tetap dianggap biasa saja meskipun dinilai sebagai bentuk pelanggaran pemilu. Sementara seperti diketahui, janji-janji politik jelas belum bisa langsung ditepati oleh para kandidat.

Lihat juga sejumlah elite politik yang lompat sana loncat sini seumpama seekor bunglon yang terus beradaptasi dan menyesuaikan warna tubuhnya terhadap lingkungan! Sebuah bukti "omon koson" politik yang dipertontonkan ketika kepentingan abadi mampu menafikan pertemanan abadi dan permusuhan abadi dalam realitas nyata yang sangat terbuka.

Contoh konkret, pada pemilu lima tahun yang lalu, seorang politisi pernah mengungkapkan alasannya tidak mendukung Prabowo dengan berkata, "He may be a good man, but i can not support him karena dia punya sejarah kelam". Dan pada pemilu lima tahun kemudian, clink! Dalam suatu debat usai berlangsungnya debat calon presiden, politisi tersebut tampak mati-matian membela Prabowo.

Seperti telah diketahui terkait sejarah kelam yang dimaksud adalah penculikan aktivis 97-98, yang menyeret nama Prabowo Subianto untuk ikut bertanggung jawab. Penuntutan tanggung jawab atas isu pelanggaran HAM tersebut bahkan tak henti-hentinya digaungkan oleh para aktivis 98 lainnya yang telah menjadi bagian dari elite politik hingga elite pemerintahan.

Tetapi lagi-lagi, rakyat dipertontonkan drama frasa kepentingan abadi yang mampu menggeser pertemanan abadi dan permusuhan abadi. Saat sejumlah elite politik yang juga elite pemerintahan yang dulunya berseberangan dengan Prabowo terutama soal isu pelanggaran HAM, kini malah berbalik mendukung Prabowo dan berada di garda terdepan.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun