Reaksi aparat kepolisian yang dinilai tidak peka tanggap terhadap penanganan KDRT yang dialami oleh seorang istri sekaligus ibu dari empat anak yang menjadi korban KDRT suaminya, berakibat fatal. Pasalnya, empat hari setelah pelaporan pelaku KDRT (suami korban) melakukan aksi pembunuhan kepada empat anaknya.
Penilaian ketidakpekaan tanggap aparat kepolisian datang dari berbagai ahli atau pakar. Salah satunya datang dari Reza Indragiri Amril, seorang ahli psikologi forensik.
Reza Indragiri menilai seharusnya polisi bisa merespon secepat mungkin laporan atau begitu menerima kabar tentang KDRT. "Tapi memang tidak mudah dalam praktiknya", ucap Reza kepada Kompas.com, Kamis (7/12/2023).
Ketidakpekaan tanggap aparat kepolisian terhadap pelaku KDRT tentu saja tidak secara langsung menjadi akibat terjadinya kasus pembunuhan. Sebab selain kejadian KDRT, yang kabarnya dipicu oleh rasa cemburu, latar belakang pembunuhan juga diakibatkan oleh faktor ekonomi.
Namun motif apapun yang melatarbelakanginya, aksi pembunuhan pada empat anak kandung sendiri adalah suatu perbuatan di luar nalar manusia. Bukankah ada ungkapan, sebuas-buas harimau tak akan memangsa anak sendiri? Rupanya ungkapan ini seharusnya sudah hilang dari peradaban manusia. Karena faktanya, kasus orangtua membunuh (memangsa) anak sendiri sudah sangat sering terjadi.
Hanya saja, untuk kasus kali ini rasa kemanusiaan kita seperti turut digugah. Bagaimana tidak? Empat anak dengan usia 1 tahun, 3 tahun, 4 tahun dan 6 tahun terjajar kaku dalam sebuah kamar akibat dibekap satu-persatu oleh ayah kandungnya sendiri tanpa ragu.
Bayangkan! Usia keempatnya masih terbilang lugu, belum ada yang mengenal arti kehidupan secara utuh. Mereka sedang lucu-lucunya, asyik bermain, tak mengerti bagaimana rasa kecewa seorang ayah pada cemburu. Mereka hanya tahu bagaimana menikmati rasa susu, bersenda gurau, meracau dan terdiam dalam bisu.
Mereka belum memahami bila seorang ayah tak mempunyai pekerjaan itu berarti kesulitan. Ancaman ketidakdamaian dalam setiap rumah tangga. Gangguan serius yang bukan saja menguji iman dan kesabaran, melainkan pula luapan emosi dan nafsu. Mengaktivasi sinyal kekerasan domestik meski sekuat apapun upaya yang dilakukan untuk mengatup sifat temperamental.
Namun selain mereka berempat, yang tak banyak orang mengerti adalah apakah kehadiran mereka di dunia mulanya diinginkan? Dihadirkan dari doa-doa yang setiap hari dipanjatkan dan diberikan oleh sebab linangan air mata yang setiap detik dialirkan.
Seperti dilakukan dengan cara apapun oleh banyak pasangan suami istri yang belum dikarunia momongan sejak satu, dua, tiga hingga puluhan tahun pernikahan. Tetapi meskipun sampai air mata darah diteteskan, bila Tuhan masih belum menghendaki dan memberi kepercayaan maka kehadiran seorang anak dalam keluarga mustahil terjadi.