Baru-baru ini kita disuguhi berita tentang perseteruan antar food vlogger terkait kritisi makanan di salah satu warung. Sekarang ini, kita sangat sulit membedakan informasi mana yang benar untuk apapun soalan perseteruan yang muncul di dunia maya.Â
Jika mengkritisi dengan jujur merupakan sebuah kesalahan, apakah me-review sebaliknya demi menutupi atau menghargai kekurangan bisa dibenarkan?Â
Baru minggu kemarin, saya berupaya memenuhi rasa penasaran istri yang ingin mentraktir ibunya dengan makanan jenis ayam goreng tepung. Bukan dari brand ayam tepung yang sudah ternama dan berasal dari luar sana. Tetapi brand ini mulai dikenal masyarakat.Â
Selain pernah menikmati salah satu menu masakan dari brand tersebut, istri saya tertarik dengan promo yang ia lihat di salah satu media sosial.Â
Menu paket bertema keluarga, gambar promonya menarik, paket ayam tepung dengan beragam rasa yang tampak digambar memadati wadah kotaknya. Harganya di kisaran Rp 180.000.Â
Untuk bisa mendapatkan produk paket promo itu, kami menempuh jarak 8-10 km dengan mengendarai sepeda motor.Â
Beruntung saat kami tiba warungnya masih buka. Tapi seperti biasanya, warung dengan konsep modern akan membebankan PPN pada pembelinya, karenanya kami jadi membayar Rp 200.000 untuk paket tersebut.Â
Ketika tiba di rumah dan paket kami buka, istri saya agak terkejut lantaran isi di dalamnya tidak sesuai ekspektasi. Wadah kotak besar itu berisi empat bungkus nasi dan ayam tepung goreng aneka yang diharapkan penuhi wadah kotaknya ternyata tidak sesuai gambar. Sedikit isinya.
Menyesal tidak. Agak kecewa iya. Sepertinya, apa yang kami alami banyak dialami oleh orang-orang sekarang, harga makanan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.Â
Di berita daring malah banyak beredar orang-orang yang merasa dijebak oleh beberapa warung makan soal harga yang harus dibayar. Sehingga warung-warung dengan harga jual yang mahal kini sudah jadi hal yang biasa. Iya, biasa menjengkelkan.