Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui parstisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Lalu tertuang dalam Pasal 6A (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 setelah amandemen, yang berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat", menunjukkan bahwa kemenangan Pilpres 2024 ditentukan oleh kuantitas suara rakyat. Â Â
Sementara tentang koalisi gemuk atau koalisi ramping tertuang dalam pasal 6A (2), Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sehingga berdasarkan bunyi Undang-Undang tersebut, koalisi partai baik gemuk maupun ramping hanya sebatas mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.Â
Informasi itu memberikan pengertian bahwa koalisi gemuk atau koalisi ramping tidak menentukan atau bisa menjamin kemenangan Pilpres 2024. Maka masing-masing koalisi yang dianggap sudah terbentuk untuk mengusung capres Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo atau Anies Bawesdan kelak tetap membutuhkan tim sukses untuk mengejar perolehan kuantitas suara. Terlebih bentukan koalisi masih mungkin mengalami bongkar pasang.Â
Bagi rakyat pemilih cerdas, koalisi yang paling mungkin memiliki kemampuan mengambil kuantitas suara rakyat adalah koalisi berkualitas. Terutama ketika proses pelaksanaan pemilu didukung oleh sarana teknologi informasi digital dan menjadikan sarana tersebut sebagai media untuk menangkap sebanyak mungkin suara rakyat di kebisingan digital pemilu. Â
Seperti diketahui bahwa kebisingan digital pemilu pernah terjadi lima atau sepuluh tahun lalu ketika para pemilih disuguhkan oleh pemisahan dua kubu yang seolah sengaja dibangun dengan menimbulkan kebencian pada masing-masing kubu. Bising digital kala itu terjadi dihampir seluruh platform digital atau platform media sosial dalam segala bentuk konten yang berisi ejekan, hujatan atau berbagai suguhan yang mengandung ujaran kebencian, perseteruan atau permusuhan.
Dari pengalaman tersebut mestinya kita belajar bahwa koalisi yang dibentuk dan mengusung capres dan cawapres ketika itu tidak mempunyai kualitas dalam menetralisir kebisingan perseteruan antara dua kubu yang terjadi di jagat maya. Oleh karenanya koalisi yang dibutuhkan sekarang adalah koalisi berkualitas yang berkenan, siap sedia dan berkomitmen untuk menjaga stabilitas keamanan dan kenyamanan dalam proses dan pelaksanaan pemilu, termasuk menjaganya di ranah digital.Â
Selain itu, ada satu keutamaan yang bisa menunjukkan sebuah koalisi dapat dikatakan berkualitas, yaitu koalisi yang siap menerima kekalahan dengan jiwa besar. Sebab koalisi yang bisa menerima kekalahan dengan berbesar jiwa dengan sendirinya akan menciptakan stabilitas keamanan dan kenyamanan bukan saja hanya dalam proses dan pelaksanaan pemilu, melainkan juga dalam lima tahun perjalanan politik di bawah pimpinan koalisi yang memenangkan pemilu. Apakah koalisi berkualitas hanya sebatas itu?
Tentu saja tidak. Koalisi berkualitas dapat dilihat dari faktor sifat koalisi, jenis koalisi, latar belakang pembentukan koalisi, capres dan cawapres yang diusung koalisi, serta visi dan misi yang dibuat oleh koalisi. Koalisi berkualitas sejatinya tidak perlu berburu untuk menangkap suara karena rakyat pemilih akan datang memburunya, dan dengan suka rela menyerahkan suaranya.