Berita viral pernikahan sepasang anjing ras alaskan malamute yang kabarnya menghabiskan biaya hingga 200 juta rupiah menimbulkan polemik dan menuai perdebatan. 200 juta rupiah untuk pernikahan hewan, are you serious? Â Berita pernikahan itu spontan membuat saya sok kebarat-baratan. Berasa kembali muda dan meniru gaya bahasa anak Jaksel.
Waw! Amazing! Itulah respon saya. Di tengah banyak kisah pernikahan manusia yang tertunda bahkan gagal karena masalah biaya nikah, dua ekor anjing peliharaan melenggang bahagia di pelaminan. Ups! Apa iya pernikahan adalah salah satu ukuran kebahagiaan hewan? Hewan nggak mengenal kata nikah, malah kata kawin sebagai kosa kata yang lebih cocok saja tidak bisa diucapkan hewan. Apakah boleh memanusiakan hewan?
Pernikahan viral dua ekor anjing peliharaan merupakan bagian dari upaya memanusiakan hewan. Oleh sebab di sepanjang peradaban manusia, ikatan perkawinan (pernikahan) semacam itu, seperti yang tampak di media sosial hanya layak dilakukan manusia. Secara teologi moral pun pernikahan tersebut bertentangan.Â
Memuliakan hewan dengan menunjukkan sebentuk kasih sayang seharusnya tidak dilakukan secara berlebihan. Kebutuhan hewan tidak sama dengan kebutuhan manusia. Hewan tidak membutuhkan pakaian, makan makanan manusia, apalagi pernikahan. Menunjukkan kasih sayang atau memuliakan hewan hewan peliharaan adalah dengan memastikan kesejahteraan hewan yang dipeliharanya dapat terpenuhi.Â
Untuk memenuhi kesejahteraan hewan (kesrawan) perlu memerhatikan lima parameter berikut: Pertama, hewan bebas mengakes nutrisi dan minuman sehingga terhindar dari malnutrisi. Kedua, memiliki akses ke dokter hewan agar hewan bebas dari rasa sakit dan penyakit. Ketiga, memiliki tempat tinggal yang baik demi memberikan rasa nyaman pada hewan. Keempat, bebas dari stres. Kelima, ketika hewan bisa mengekspresikan tingkah laku alami mereka, hal ini sekaligus menyatakan bahwa anthropomorphism dan memanusiakan hewan tidak dianjurkan atau tidak dibolehkan.Â
Tetapi lima parameter bagi kesejahteraan hewan peliharaan hanya mampu dipenuhi oleh para pemelihara atau majikan dari hewan tersebut melalui komitmen. Selain komitmen terkait kesanggupan akan biaya hewan peliharaan yang pastinya akan merogoh kocek jauh lebih dalam, dibutuhkan juga komitmen ketersediaan waktu jangka panjang dalam menjalankan proses pemeliharaannya. Dan komitmen itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sungguh peduli, menyukai, menyayangi dan mencintai hewan. Â Â Â
Jika memanusiakan hewan tidak diperbolehkan, timbul pertanyaan sebaliknya, apakah menghewankan manusia dibolehkan? Untuk pertanyaan ini bisa dijawab dengan cepat tanpa menimbang, mengingat atau melihat berita apa pun yang melatarbelakanginya, jawabnya tentu tidak dibolehkan. Mengapa tidak dibolehkan?
Sebab menghewankan manusia atau memperlakukan manusia bagai hewan bertentangan dengan banyak nilai dan norma kehidupan manusia. Di antara perilaku yang menunjukkan perlakuan manusia menghewankan manusia adalah perbudakan, perdagangan manusia, pemaksaan, pelabelan hewan pada manusia dan lainnya.
Kasus perbudakan manusia masih banyak terjadi di dunia meskipun perjuangan terkait kebebasan dan penghapusan perbudakan di dunia terus digaungkan. Jual-beli manusia pun masih terjadi di banyak negara. Umumnya, manusia yang diperdagangkan dijadikan budak atau pekerja seks. Terlebih pemaksaan terhadap manusia oleh manusia lainnya dengan dalih kewajiban agama, budaya, adat atau lainnya masih terjadi di mana-mana di hampir seluruh penjuru dunia.Â
Pelabelan hewan pada manusia juga termasuk dalam perlakuan menghewankan manusia sejauh pelabelan tersebut ditujukan untuk mengolok-olok, mengejek atau menghina. Cebong, kampret, cicak, buaya atau apapun jenis hewan yang disematkan atau dilabelkan pada seorang manusia adalah bentuk olok-olok, ejekan atau penghinaan karena dinilai berbeda pandangan atau keberpihakan, memiliki keburukan perilaku sesuai dengan hewan yang dilabelkan, atau mempunyai bentuk fisik seperti hewan yang disebutkan.