Minat dan bakat adalah dua hal berbeda yang tak terpisahkan antara satu dan lainnya. Minat tercipta karena adanya ketertarikan kuat atas sesuatu. Sedangkan bakat merupakan potensi bawaan yang dimiliki manusia. Minat dan bakat seringkali dikaitkan dengan faktor kecerdasan dan kesuksesan seseorang.
Ironinya, dunia pendidikan kita sebagai salah satu wadah yang paling krusial bagi pengembangan minat dan bakat peserta didik sepertinya belum mampu membaca bahwa arah temuan teori Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk yang terdiri dari 8 (delapan) jenis kecerdasan merupakan representasi dari minat dan bakat. Hingga dunia pendidikan kita masih identik dengan pendidikan berkonsep tunggal seumpama konsep kecerdasan IQ.
Oleh karenanya, dunia pendidikan belum menempatkan posisi minat dan bakat sejajar dengan IQ sehingga proses dan hasil yang dicapai sangat cenderung masih berkonsep tunggal. Apakah Kurikulum Merdeka yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi akan mampu menjawab permasalahan yang selama ini terjadi di dunia pendidikan kita?
Sebelumnya, mundur jauh ke belakang, ada sebuah informasi terkait dunia pendidikan yang berkorelasi dengan konsep merdeka belajar yang secara faktual telah berjalan dan menunjukkan hasil positif.Â
Informasi tentang salah seorang murid Tino Sidin, yakni Djaduk Ferianto. Seorang seniman yang pernah berguru pada Tino Sidin itu mengatakan, cara mengajar gurunya persis seperti gaya mengajar ala Perguruan Taman Siswa. Djaduk mengungkapkan, dengan melakukan pendampingan pada anak, Tino mendorong mereka untuk menemukan kebebasan dalam berimajinasi dan berekspresi.
Ungkapan Djaduk dalam mendeskripsikan Tino Sidin dalam informasi itu memberikan beberapa temuan sekaligus. Pertama, bahwa Tino Sidin atau Pak Tino Sidin, seorang pelukis dan guru gambar yang dikenal lewat sebuah acara "Gemar Menggambar" di stasiun TVRI era 80-an adalah guru yang memiliki jiwa pamong (ngemong). Kedua, Perguruan Taman Siswa merupakan wadah pendidikan yang memberikan kebebasan pada murid dan memiliki pengajar (guru) pamong. Ketiga, Djaduk Ferianto adalah bagian dari Perguruan Taman Siswa.
Untuk diketahui, Djaduk Ferianto adalah seorang aktor, sutradara dan musikus. Ia adalah adik dari Butet Kartaredjasa yang juga dikenal sebagai aktor. Pendidikan pria kelahiran Yogyakarta 16 Juli 1964 itu, turut mempersiapkannya sebagai seniman. Dari SMP hingga SMA ia bersekolah di sebuah institusi pendidikan yang menaruh perhatian besar dalam dunia kebudayaan dan budi pekerti yaitu Taman Siswa.
Informasi berikutnya datang dari sebuah webinar yang membahas tentang Kurikulum Merdeka. Seorang pengamat pendidikan dan pengarang buku "Pendidikan Rusak-Rusakan", Darmaningtyas, ditanya dan diminta berbagi tentang sedikit konsep Merdeka Belajar yang asli dari Ki Hajar Dewantara oleh Indra Charismiadji sang pembawa acara.
Dirangkum dari paparan jawaban Darmaningtyas, didapat informasi bahwa substansi konsep Merdeka Belajar dari Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan harus memberikan kebebasan kepada minat dan bakat murid. Katanya, dulu, paling tidak sampai dengan generasi terakhir yang merasakan konsep merdeka belajar yang mungkin waktu itu, Djaduk Ferianto dan Butet Kartaredjasa adalah produk keluaran Perguruan Taman Siswa.
Tetapi konsep Merdeka Belajar Ki Hajar Dewantara yang demikian, yang terasa sekali merdeka belajarnya hanya masih terasa sampai tahun 80-an. Setelah tahun 80-an konsep Merdeka Belajar di Taman Siswa tidak terasa lagi. Sudah tidak ada bedanya bahkan tertinggal. Urai Darmaningtyas.
Informasi tentang seniman (Alm) Djaduk Ferianto di atas, seperti hendak menunjukkan bahwa secara generik, konsep Merdeka Belajar yang telah digunakan di Perguruan Taman Siswa sampai tahun 1980-an telah mampu merepresentasikan minat dan bakat sebagai bagian dari hasil capaian dunia pendidikan yang bukan merupakan konsep tunggal.