Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kambing Abu-Abu

30 November 2022   09:43 Diperbarui: 30 November 2022   09:58 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari sebuah portal berita online tahun 2016, seorang ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dijatuhi sanksi etik berupa teguran lisan karena mengeluarkan katebelece. Majelis Dewan etik MK menilai nota dinas itu tidak layak dibuat oleh penjaga konstitusi. Katebelece yang dimaksud adalah selembar kertas yang ditulis Arief pada 16 April 2015. Nota itu ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Widyo Pramono yang berisikan bahwa pembawa nota tersebut adalah jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek. "Mohon titip dan dibina, djadikan anak bapak" tulis Arief dalam memonya.

Di lain kasus, sekira dua puluh tahun lalu seorang teman saya pernah bercerita tentang keberaniannya dalam mencatut nama seorang polisi berpangkat. Dia mencatut nama polisi berpangkat itu dalam satu perjalanan. Perbuatan mencatutnya dilakukan saat mobil yang dikendarainya diberhentikan oleh seorang polisi lalu lintas karena menerobos lampu merah. Diakuinya nama polisi berpangkat itu sebagai kerabat dekat. Dia berbicara dengan nada, mimik dan bahasa tubuh yang mampu meyakinkan petugas lalu lintas yang tadinya hendak melakukan tilang.

Singkat cerita, nama polisi berpangkat yang dicatutnya terbukti ampuh melumpuhkan pasal pelanggaran yang dibacakan sang petugas. Kasus pencatutan nama polisi berpangkat yang dimanfaatkan untuk lolos dari jeratan sanksi atau denda tilang seringkali terjadi.

Kasus-kasus dari cerita semacam ini tentu tidak bisa dikategorikan sebagai katebelece. Tidak ada surat, memo atau nota tertulis yang menunjukkan bahwa polisi berpangkat tersebut telah memberi izin kepada teman saya untuk terbebas dari jeratan undang-undang pelanggaran lalu lintas. Jika bukan katebelece disebut apakah kasus pelanggar lalu lintas yang mencatut nama seorang polisi berpangkat ini?

Apakah kasus pelanggar lalu lintas pencatut nama polisi berpangkat bisa disebut kambing abu-abu? Yang akan disebut kambing abu-abu adalah sebuah perbuatan yang padanya melekat sesuatu dengan empat ciri.

Pertama, sesuatu itu mempunyai nilai. Kedua, sesuatu itu digunakan atau dicatut untuk dimanfaatkan atau mendapat keuntungan. Ketiga, sesuatu itu digunakan atau dicatut secara keliru, salah, menabrak etik, melawan hukum atau tidak sesuai peruntukkannya. Dan terakhir, setelah digunakan atau dicatut akan memiliki kecenderungan melanggar atau bersentuhan dengan hukum, norma, dogma atau nilai-nilai. Dengan keempat ciri tersebut apakah kasus pencatutan nama seorang polisi berpangkat oleh pelanggar lalu lintas adalah kambing abu-abu?

Perbuatan pelanggar lalu lintas mencatut nama polisi berpangkat bisa dibilang kambing abu-abu ditentukan oleh melekatnya empat ciri pada perbuatan si pelanggar. Pertama, nama polisi berpangkat adalah sesuatu yang dinilai sebagai profesi atau jabatan. Oleh sebab untuk memiliki profesi atau jabatan itu seseorang butuh pengorbanan dan kerja keras dalam meraihnya. Kedua, pencatutan nama polisi berpangkat dimanfaatkan agar pelanggar lalu lintas lolos dari sanksi hukum atau denda. Ketiga, pencatutan nama polisi berpangkat digunakan untuk perbuatan yang jelas salah karena melawan hukum. Terakhir, apabila polisi berpangkat yang dicatut namanya tidak senang dengan perbuatan itu maka kasusnya bisa berujung ke meja hijau. Dengan demikian, kasus tersebut adalah kambing abu-abu.               

Dari contoh kasus yang diungkap dengan mengupas ciri-ciri yang melekat pada perbuatannya tentu akan jauh lebih mudah mendefinisikan istilah kambing abu-abu. Tetapi sebelum masuk pada pendefinisian, ada tiga buah judul buku dengan menggunakan nama hewan yang menjadi bahan rujukan sekaligus asal usul penulisan ini memakai kambing abu-abu. Pertama, buku berjudul Purple Cow (Sapi Ungu) karya Seth Godin. Kedua, buku Kambing Jantan karya Raditya Dika, dan ketiga buku The Black Swan (Angsa Hitam) karya Nassim Nicholas Taleb.

Buku Kesatu, Purple Cow merupakan pengganti kata luar biasa dalam dunia pemasaran untuk dimasukkan sebagai P berikutnya ke dalam daftar konsep bauran pemasaran  (Marketing Mix). Purple Cow adalah sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang baru, menarik, perkecualian, patut diperhatikan dan penghilang kebosanan. Purple Cow sendiri merupakan pengganti kata luar biasa karena luar biasa tidak dimulai dengan huruf P.

Istilah Purple Cow didapat ketika Seth Godin dan keluarganya sedang berkendara melewati Perancis dan meilhat kumpulan sapi di ladang di sisi jalan raya, tetapi sapi-sapi yang terlihat indah itu lama-kelamaan membosankan. Kecuali sapi ungu. Purple cow digagas untuk menghilangkan kebosanan dari pandangan mata terhadap sapi-sapi yang pada umumnya berwarna coklat atau putih, yang kemudian ditujukan pada dunia pemasaran untuk menjadi salah satu konsep bauran pemasaran yang dimaksudkan sebagai pembeda. Sebuah konsep bauran pemasaran sebagai seni membangun hal yang patut diperhatikan ke dalam produk atau jasa.

Kedua, buku Kambing Jantan yang menurut penulisnya adalah jurnal harian yang awalnya ditulis pada blog miliknya. Tetapi di luar dugaan, ternyata judul Kambing Jantan tidak menjelaskan makna apa pun. Bahkan tidak bercerita tentang hewan kambing berkelamin jantan sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun