Penduduk dunia per Selasa, 15 November 2022 mencapai 8 miliar manusia, demikian proyeksi laporan berjudul Prospek Populasi Dunia 2022 yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Pertumbuhan populasi dunia adalah kisah sukses yang luar biasa", kata Sara Hertog, seorang pakar populasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tetapi keberhasilan ini harus dibayar mahal. Laporan terbaru PBB pada pertumbuhan penduduk sebagai salah satu sumber utama peningkatan gas emisi rumah kaca dan perusakan ekologi.
"Hilangnya keaneka ragaman hayati, perubahan iklim, polusi, penggundulan hutan, kekurangan air dan makanan---ini semua diperparah oleh jumlah penduduk yang besar dan terus meningkat", kata LSM Population Matters yang berbasis di Inggris. Gaya hidup dengan konsumsi berlebihan akan menjadi masalah besar bagi iklim dan lingkungan.
Dengan semua permasalahan ketersediaan sumber daya bumi dalam memberi penghidupan kepada 8 miliar manusia untuk bertahan hidup, apakah kita masih akan bertahan dengan cara hidup yang sama seperti sekarang? Bagaimana bumi meregenerasi sumber daya hayatinya (flora, fauna, air bersih dan tanah) jika kita terus merusak ekologi sistemnya? Apakah kemajuan teknologi mampu menyelesaikan semua permasalahan bumi kita?
Permasalahan tentang pertambahan populasi ini dikemukakan oleh Thomas Malthus (1978). Selain pertambahan populasi, berkembangnya penggunaan teknologi untuk pemenuhan kebutuhan manusia juga memperparah kerusakan lingkungan yang terjadi. Manusia dengan teknologinya cenderung eksploitatif dengan mengambil sumber daya secara berlebihan.
Jika teknologi cenderung turut memperparah kerusakan lingkungan, sepertinya kita tidak bisa berharap lebih pada kontribusi kemampuan teknologi dalam upaya menanggulangi kerusakan yang terjadi. Tetapi dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, kita masih bisa sedikit berharap pada teknologi ini. Oleh karena yang bertanggung jawab atas sebagian besar kerusakan lingkungan dari akibat konsumsi sumber daya yang berlebihan adalah perilaku.
Sylvia Lorek, profesor ekonomi konsumen di Universitas Helsinski dan ketua Sustainable Europe Research Institute di Jerman dan peneliti lain melakukan riset. Para peneliti fokus pada tiga bidang yang bertanggung jawab atas sebagian besar emisi dan konsumsi sumber daya kita: cara kita makan, cara kita hidup dan cara kita bergerak. Tiga bidang tersebut tidak lain adalah perilaku makan, hidup dan bergerak. Tapi bagaimana cara teknologi informasi memberikan kontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan sumber daya? Sejauh mana teknologi informasi berbasis digital ini dapat membantu?
Harapan itu datang dari metaverse atau dunia vitual. Metaverse merupakan versi teranyar dari dari virtual reality (VR) tanpa komputer. Â Pengguna teknologi dapat memasuki dunia virtual menggunakan perangkat berupa headset atau kaca mata berbasis augmented reality (AR) maupun VR. Dan sarung tangan berteknologi heptic. Â
Di metaverse, pengguna bisa melakukan aktivitas apa saja seperti berkumpul, mengadakan rapat, bekerja, bermain, mengadakan acara, mengikuti konser, olahraga, belanja daring, berjualan, belajar, membeli lahan atau properti, dan berbagai aktivitas lainnya.
Bayangkan! 8 miliar manusia melakukan semua aktivitas itu tanpa memikirkan cara mereka makan, cara mereka hidup dan cara mereka bergerak. Tentunya, bumi tidak perlu mencemaskan kerusakan ekologi dan ketersediaan sumber dayanya lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Â
Imajinasi itu memang terdengar fantastis dan bombastis. Terlebih ketika sebuah kasus yang menghebohkan datang dari metaverse dan menjadi sebuah petunjuk sekaligus pembuktian bahwa bayangan tersebut ternyata hanya ilusi digital magnetis.Â