"Sebelum pada komen aneh-aneh cuma mau ngasih tau aja ini di PANTAI, bukan di GUNUNG. Jadi pakainya SWIMMING SUIT bukan JAKET. Masa iya di PANTAI pake baju tutupan" Baris kalimat ini merupakan ungkapan penyerta di kolom komentar atas posting-an sebuah foto seksi berbaju renang one piece warna merah, yang pemotretannya berlokasi di bibir pantai---oleh salah seorang publik figur di akun instagram miliknya. Tapi walaupun telah membentengi diri dengan pesan tersebut, tetap saja komentar nyinyir dari netizen berdatangan.
Bukan hanya sekali, komentar berupa nasehat, kritik pedas atau hujatan di ranah media sosial terhadap publik figur yang berpakaian seksi seringkali terjadi. Ketika seorang publik figur atau bahkan seorang netizen yang bukan publik figur sekalipun, memasang foto seksi dengan lokasi (latar belakang) pantai atau di mana pun di akun media sosial, sudah bisa dipastikan bahwa tidak semua netizen akan menyukainya. Maka terlepas dari pro dan kontra terhadap respon netizen, yang menjadi bahasan di sini adalah sumber potensi (perbedaan persepsi, ketidaksepemahaman atau ketidakpahaman konten atau konteks) yang memungkinkan terjadinya konflik.
Secara logis, dari lokasi diambilnya foto seksi, tanggapan seorang publik figur itu tentu saja benar. Apabila tanggapan semacam tadi dirangkum kira-kira akan tertulis, "Hello! Ini di pantai." Namun bila ditinjau dari sejak terunggahnya foto seksi berlatar belakang pantai di akun media sosial sampai netizen memberi nasehat, kritik pedas atau hujatan, foto seksi tersebut sudah tidak lagi berada di pantai. Yang artinya, lokasi aktifitas pemotretan dengan lokasi peletakkan hasil pemotretan sudah menjadi berbeda oleh sebab para netizen yang melihat tanpa sengaja atau dengan sengaja, tidak sedang berada di waktu dan tempat (pantai) yang sama. Sehingga antara nasehat, kritik pedas atau hujatan netizen dengan argumentasi pengunggah foto seksi (publik figur) ke akun media sosial itu, berbeda persepsi.
Perbedaan persepsi dalam menilai eksistensi antara kejadian berlangsung nyata saat beraktifitas memakai pakaian seksi di pantai dengan foto seksi berlatar belakang pantai atau barangkali lebih real berupa video berpakaian seksi berlokasi pantai yang sudah diunggah di media sosial menjadi persepsi masing-masing dalam mempertahankan argumennya. Sumber potensi konflik itu terindikasi berasal dari ketidaksepemahaman atau ketidakpahaman dalam menejermahkan ruang (tempat, lokasi, media), waktu dan orang. Tetapi apakah benar bahwa konflik yang terjadi adalah akibat dari mempertahankan persepsi masing-masing akan ruang (tempat, lokasi, media), waktu dan orang?
Tidakkah timbulnya konflik justru karena adanya kecenderungan berapologi dari salah satu pihak dalam mempertahankan persepsi. Dan kecenderungan melakukannya merupakan cara mempertahankan atau membela diri atas ketidakterimaan terhadap nasehat, kritik pedas atau hujatan. Atau barangkali jika diperkenankan, perilaku mempertahankan diri atau membela diri (apologi) seperti itu merupakan salah satu bagian dari penyebab disorientizen. Apa pula maksud disorientizen? Apa ada kaitannya dengan disorientasi?
Selama ini kita mengenal disorientasi sebagai kehilangan daya untuk mengenal lingkungan, terutama yang berkenaan dengan waktu, tempat dan orang. Lebih ekstrem lagi, dikutip dari honestdocs.id, disorientasi atau dikenal juga dengan disorientation adalah kondisi mental yang berubah di mana seseorang yang mengalami ini tidak mengetahui waktu atau tempat mereka berada saat itu, bahkan tidak mengenali identitas dirinya sendiri. Lebih lanjut diinformasikan bahwa disorientasi umumnya disebabkan oleh dua hal, yaitu demensia dan delirium. Demensia adalah suatu kondisi yang mempengaruhi pemikiran, perilaku dan kemampuan seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Sedang delirium terjadi karena adanya gangguan secara mendadak pada kondisi pikiran seseorang yang disebabkan oleh infeksi atau obat-obatan.
Namun konflik perbedaan persepsi berpakaian seksi di pantai antara publik figur dengan netizen di media sosial tentu belum bisa memenuhi kriteria untuk disebut sebagai disorientasi. Selain memerlukan observasi personal untuk mengetahui penyebabnya, terdapat perbedaan ruang (tempat, lokasi, media), waktu dan orang. Lalu apakah konflik semacam itu dapat disebut disorientizen?
Teknologi informasi digital dengan beragam pilihan aplikasi dan berbagai produk media sosialnya yang berkembang pesat, kini terasa semakin jauh meninggalkan kemampuan nalar manusia. Media sosial dengan daya magnetisnya kian berhasil membungkam sebagian besar kemampuan nalar, lebih dari sekadar memengaruhi setiap orang untuk masuk ke dalamnya. Kemampuan cara berpikir logis bagai kehilangan kendali atas perannya dalam menerjemahkan kerasionalitasan ketika sudah masuk ke dalam dunia yang tidak lagi memiliki batasan ruang dan waktu. Bahkan setiap menit semakin banyak konten atau konteks di media sosial yang membuat daya pikir logis dijungkir balik. Indikatornya dapat dilihat dengan mengamati munculnya fenomena ilusi digital magnetis dan lahirnya sikap dan perilaku buatan (artificial attitude and behavior) yang menunjukkan kecenderungan negatifitas tetapi malah mendapat apresiasi atau tempat di dalamnya.
Selain kegagalan nalar dalam melogiskan ruang dan waktu, konflik semacam itu dihadapkan pada tuduhan lain tentang ketidakmampuan mengenali lingkungan atau disorientasi. Hanya saja, sebagian besar kita (netizen) barangkali akan dengan lantang menyangkal bahwa konflik semacam publik figur dengan netizen tentang pakaian seksi di pantai bukan tergolong disorientasi. Kuat dugaan bahwa daya sangkal terhadap tuduhan disorientasi adalah karena tidak satu pun pelaku konflik dalam keadaan demensia atau delirium.
Akan tetapi, bantahan apapun tidak mampu mengubah fakta tentang perbedaan ruang dan waktu antara dunia nyata dengan dunia digital (media sosial). Oleh karenanya ketika pada sebuah momen interaksi media sosial, nalar gagal dalam menerjemahkan ruang dan waktu, tentu ada faktor lain yang memengaruhinya. Yaitu faktor yang menyebabkan netizen kehilangan kemampuan mengenali lingkungannya atau diistilahkan sebagai disorientizen.
Belakangan saat perkembangan internet memasuki dunia virtual dengan metaversenya, kemampuan nalar dengan keterbatasannya sebagai salah satu piranti lunak otak, diuji oleh sebuah dunia yang sebagian besar akan berlawanan dengan realitas dan rasionalitas. Ambil contoh, dikutip dari SuaraJogja.id, diinformasikan kalau Alun-alun Utara Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, Puro Pakualam, Istana Kepresidenan Gedung Agung hingga Kantor Gubernur itu diperjualbelikan di dalam dunia metaverse atau ruang virtual. Penjualan virtual map di website nextearth.io ini pun viral karena dijual dengan harga fantastik dengan mata uang kripto.