Mohon tunggu...
sunali agus
sunali agus Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Nama saya Sunali Agus Eko Purnomo, TTL : di Tuban, 25 Desember 1993, saat ini sedang kuliah di S1 Biologi FST UNAIR, no. Hp saya: +6289678370363, alamat saat ini di Manyar Kartika VIII no. 6 Surabaya, cita-cita ingin jadi guru teladan dan pengusaha, agama islam, hobi : membaca dan diskusi, motto hidup : "Man Jadda Wa Jadda"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengoptimalisasian Fungsi Keluarga dan Fungsi Produktivitasnya Sebagai Langkah Kreatif dalam Rangka Mencegah Terjadinya Bonus Demografi dan Terwujudnya Masyarakat yang Cerdas Melalui Pendidikan

9 Oktober 2014   03:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:48 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia seolah-olah mendewakan sekolah, sehingga tidak jarang para orang tua yang memasrahkan pendidikan anaknya kepada pihak sekolah, sehingga keluarga sekarang ini banyak yang telah kehilangan fungsinya sebagai keluarga dan fungsi produktivitasnya pada perkembangan anak, padahal keluarga merupakan tempat pertama yang intens dalam mendidik seorang anak, dan jarang juga orang tua yang memikirkan bagaimana kehidupan anaknya kelak sehingga sering kali orang-orang yang ada di desa-desa dimana pendidikannya yang mayoritas kurang anaknya banyak sehingga muncul suatu anggapan bahwa “banyak anak, banyak rezeki”. Selain itu semua sekarang mulai menjadi sebuah ironi bahwa sekolah-sekolah saat ini seperti pada pabrik yang mempunyai suatu standrat bagi para pelajar seperti contoh ketika ada suatu anak yang berbeda dari yang lain, seperti mencintai music, melukis, atau yang lain maka dianggap salah dan dikucilkan oleh teman-temannya bahkan oleh gurunya serta lingkungan sekolah sehingga yang awalnya anak tersebut beragam ide, bakat minat dan yang lain malah menjadi sesuatu yang seragam. Saat ini, pendidikan Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tetapi yang sangat disayangkan rata-rata sekolah yang ada di Indonesia saat ini mengikuti program yang ada di Inggris dan juga dari Belanda yang menanamkan nilai-nilainya saat menjajah Indonesia, dan sistem inilah yang mulai menggusur sistem pendidikan yang pernah ada di Indonesia yaitu sistem pendidikan pondok pesantren, padahal sistem pendidikan ponpes sudah sangat baik dimana tidak membatasi bakat dan minat pelajar, sehingga mereka bebas mengembangkan kreativitasnya tanpa ada mengukung perkembangan seorang anak. Ketika para kolonial atau orang asing mulai menjajah dan menguasai negeri ini, mereka mulai mengembangkan mindset bahwa pendidikan di pondok pesantren itu kuno, tertinggal, jorok dan hal-hal negatif lainnya, dan ini terus ditanamkan oleh pihak asing di Indonesia hingga saat ini, dan ditekankan pula bahwa mindset yang menyatakan bahwa orang yang mendidik itu harus punya gelar guru, sehingga para orang tua kebanyakan acuh tak acuh pada pendidikan anaknya, sehingga ketika anaknya bertingkah laku jelek, maka dengan mudahnya orang tua sering berkata, “melakukan apa saja disekolah, apa gak pernah diajari oleh sekolah, dan yang lain sebagaiya”, padahal orang lain atau masyarakat pada umumnya menilai seorang anak adalah akibat dari didikan orang tua, sehingga muncul suatu semboyan atau parikan dari orang-orang jawa dahulu yaitu “anak polah, bapak kepradah (semua kegiatan yang dilakukan anaknya, pasti memberikan dampak bagi orang tuanya baik secara langsung atau tidak).

Sistem pendidikan di Indonesia sendiri terus mengalami suatu perbaikan demi perbaikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.  Hal ini tentu saja dilakukan demi terwujudnya mimpi Indonesia memiliki generasi penerus bangsa berkualitas yang menjadi pembangun masa depan negeri ini dan para orang tuapun kini sadar betul pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Perubahan sistem pendidikan ini terkait dengan perubahan materi belajar, peningkatan kualitas guru dan perubahan sistem kelulusan seperti contoh pada tahun 2004, pemerintah  menetapkan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang kemudian berganti nama menjadi Ujian Nasional (UN) untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang pelajar dengan standar nilai kelulusan yang telah ditetapkan sebagai pengukurnya. Tidak sedikit yang merasa sistem seperti ini kurang tepat karena kelulusan seorang siswa hanya didasarkan pada satu aspek saja, padahal proses selama belajar mengajar merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan pengaruhnya dalam menilai kelulusan seorang pelajar. Sehingga banyaklah terjadi kebocoran soal dan oknum-oknum yang menjual soal UN.

Pada sistem kurikulum 2013, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan  menerapkan supaya siswa lebih lama di sekolah sehingga bermunculanlah sekolah-sekolah yang full day, wajib belajar harus meningkat dan perbaikan guru sehingga seolah-olah yang hanya boleh mendidik atau mengajar seorang anak hanyalah guru dan tempat untuk belajar hanya berada di sekolah. Hal inilah kesalahan fatal yang tanpa disadari oleh masyarakat pada umumnya telah menghilangkan fungsi-fungsi yang ada di dalam keluarga seperti mendidik anak, mengajari tata cara makan, berpakaian ataupun pendidikan tentang akhlaknya. Padahal banyak kisah-kisah yang begitu sangat hebat tentang hubungan kesuksesan atau kecerdasan seorang anak bergantung pada pendidikan yang ada di lingkungan keluarga, seperti contoh Thomas Alva Edison dimana ia sampai-sampai dikeluarkan dari sekolahnya dan tidak ada yang mau menerimanya, karena ia adalah sosok yang berbeda dengan teman-temannya dan tidak mau kebebasannya terkungkung oleh suatu system, sehingga ia banyak bertanya pada guru-guru yang mengajarinya, tetapi apa respon para gurunya, mereka malah menganggapnya aneh, keterbelakangan mental dan hal lainnya, tetapi sang ibu tidak pernah putus asa akan tanggapan dari guru-guru anaknya atau orang lain, sehingga ia bulatkan tekad untuk mengajar anaknya sendiri dan ia sama sekali tidak membatasi kebebasan anaknya, lalu apa yang terjadi, kejadian yang luar biasa, yang orang tak mampu memikirkan apa saat itu, dan menganggapnya aneh dan keterbelakangan mental mereka terkagum-kagum dengan apa yang telah ditemukan oleh mantan anak didiknya yang telah dihinanya dimana hingga saat ini banyak digunakan di seluruh dunia yaitu bola lampu, dimana ia ibarat intan permata yang menunjukkan kehebatannya pada dunia. Disini yang perlu di ingat bahwa keberhasilan Thomas Alva Edison tidak terlepas dari orang tuanya terutama seorang ibu.

Oleh karena itu  masyarakat dan pemerintah sekarang harus mulai membuka pikiran dan menyadari bahwa belajar itu tidak harus di sekolah, tetapi bisa dimana saja dan kapan saja  baik ada guru secara langsung atau tidak, sehingga kedepan tidak jarang bahwa kalau ada pengembala kambing sambil membawa buku-buku yang tebal, dimana mereka tidak ditertawakan lagi oleh orang-orang yang ada di sekitarnya dan jangan sampai kita mengikuti sistem pendidikan para penjajah dahulu dimana mereka hanya ingin agar masyarakat Indonesia agar tetap bodoh, sehingga ketika sistem pendidikan seperti ini terus dijalankan, pendidikan kita tidak akan maju-maju seperti bangsa yang lain. Sehingga langkah pertama yang harus dilakukan adalah menstimulus dan memperbaiki fungsi-fungsi kembali keluarga yang ada di Indonesia serta fungsi produktivitasnya dari keluarga dan jangan sampai pendidikan di rumah atau lingkungan keluarga hilang dan dirumah hanya dijadikan fungsi untuk konsumsi atau iklan-iklan semata melalui radio, televisi ataupun internet saja, sementara itu para orang tua terus diberi suatu pemahaman untuk selalu memikirkan bagaimana masa depan anaknya, sehingga mereka mempunyai suatu rasa tanggung jawab kepada anaknya dan secara otomatis masalah ledakan penduduk bisa dicegah secara tidak langsung dan mereka akan merencankan sistem KB (Keluarga Berencana) sendiri walau tidak ada paksaan dari pemerintah, selain itu pemerintahan juga harus berperan untuk memperbaiki tata kelola sekolah, dan memperkecil peran kementerian melaui pemandatkan daerah-daerah untuk mengaturnya sendiri dan kementerian sebagai pengawas, lalu jangan sampai bersifat sentralistik atau terpusat dan membentuk dewan pendidikan nasional yng berfungsi untuk mengatur pendelegasian pendidikan di daerah-daerah, serta terus menaikkan sistem KB terutama di daerah-daerah pelosok Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun