Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sum: Pelajaran Hidup

15 Oktober 2016   04:48 Diperbarui: 15 Oktober 2016   04:54 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak sedikitpun mata ini berkedip. Tak sedikitpun aku punya keinginan untuk tak mendengar barang satu kata saja. Ya, di depanku duduk perempuan yang sering disebut Mak Sum sambil mengunyah selembar daun sirih dan sedikit kapur.

"Kamu kenapa?" Tanpa melihatku ia bertanya. Aku tak menjawab. 

"Pikiranmu kacau!" Rupanya dia bisa membaca air mukaku. Sebentar saja dia mendongakkan wajahnya. Matanya seolah menghujam deras di mataku.

"Nggak pa pa kok, Mak," aku mencoba menghindar dari tajam matanya. Aku tak sanggup menyembunyikannya. Salah tingkah.

"Nduk." Mak Sum memulai nasihatnya. Sebenarnya ini yang aku tunggu sedari tadi. Sejak aku duduk di ambin berhadapan dengannya. Di ruang tamu sekaligus ruang tengah juga kamar tidur Mak Sum. 

Mak Sum memang tak punya apa-apa. Hanya sepasang cangkir dan teko blirik. Beberapa baju yang ia letakkan di laci, mungkin almari baginya, sebagai pengganti jarik dan kebaya. Namun wibawa dan keanggunan Mak Sum benar-benar menyirap setiap mata yang melihatnya. Garis-garis ayunya masih nampak, Selendang yang ia sampirkan di antara kedua bahunya menjadikan dirinya 'dedegé' tampak lebih gagah. Meski umurnya hampir menyentuh kepala lima.

"Pada hakikatnya hidup itu mudah," Mak Sum melanjutkan tanpa kuminta.

"Segala sesuatu tergantung dari hatimu sendiri. Saat engkau berburuk sangka dengan keadaanmu maka akan buruklah keadaanmu. Begitu juga sebaliknya." Mak Sum mengambil nafas.

"Kenapa kita harus risau dengan anggapan orang, 'wong' yang menjalani hidup ini ya kita sendiri. Selama kita berada dalam hidup yang benar, yakinlah dengan kehidupanmu. Kamu sok ngibadah ora?" sontak merah padam mukaku. Tiba-tiba hidung Mak Sum mengarah ke wajahku.

"Nggih, Mak," parau suaraku. Mungkin Mak Sum mendengarnya.

"Intine ngene," logat jawanya mulai muncul, mulai roaming. Konsentrasi aku mendengarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun