Memasuki wilayah Kota Magelang seperti memasuki kota di pegunungan. Bagaimana tidak, di wilayah kecil ini terdapat gunung yang menjadi pakuning tanah Jawa. Gunung Tidar, ya betul, gunung ini menjadi simbol pakuning tanah Jawa. Istilah ini digunakan sejak jaman penjajahan dulu. Konon, jika gunung ini bergerak, akan bergoyang seluruh Jawa ini. Simbol inilah yang kemudian dijadikan tema Magelang Tempo Doeloe tahun 2016. “The Spijker van Java”. Tema ini sebagai simbol tentang peradaban yang ada di tengah Pulau Jawa.
Pakuning Tanah Jawa. Foto: Panitia
Magelang Tempo Doeloe yang diikuti kurang lebih 75
stand, baik pemerintah, BUMD, dan swasta telah dibuka oleh Wali Kota Magelang Bapak Sigit Widiyonindito. Upacara pembukaan yang diawali dengan tari gambyong dan limbukan juga dihadiri Gubernur
Akmil. “Acara ini sebagai rangkaian perayaan ulang tahun Kota Magelang. Telah menjadi agenda tahunan yang dimaksudkan untuk
nguri-nguri kabudayan serta salah satu usaha untuk mendatangkan wisatawan ke Kota Magelang,” ujar Wali Kota Magelang dua periode ini dalam sambutannya.
Walikota Kota Magelang saat memberikan sambutan. Foto: Dokpri
Usai pembukaan, wali kota beserta Gubernur Akmil didampingi Sekjend Magelang Tempo Doeloe, dan wakil wali kota beserta rombongan menyempatkan diri meninjau
stand-stand pameran.
Stand pameran yang beragam. Mulai dari mobil antik, uang
kuno, sepeda
onthel dan sepeda motor kuno. Untuk pameran foto ada foto kuno saat pernikahan Ratu Juliana di Belanda, namun diperingati oleh seluruh negara jajahan Belanda, termasuk Magelang wilayah Indonesia (Hindia Belanda).
Pameran foto Ratu Juliana. Foto: Dokpri
Ada juga
stand kuliner yang menyajikan makanan lawasan seperti jadah bakar, jenang dan lain-lain. Tidak ketinggalan, kupat tahu
magelang yang terkenal seantero negeri.
Mobil antik. Foto: Dokpri
img-0773-jpg-5736768b90fdfd0f048b457f.jpg
Stand mainan anak-anak jaman dulu ramai dikunjungi oleh para pengunjung malam tadi. Mulai dari yoyok kayu, gangsing dari bambu, hingga kerajinan kayu dan batok kelapa yang dijadikan alat dapur. Rata-rata mereka kagum dan mungkin asing dengan mainan-mainan tersebut. Amsalnya mainan-mainan itu jarang dijual di toko-toko mainan. Hanya muncul saat-saat pameran saja. Magelang Tempo Doeloe tentu menjadi ajang yang tepat untuk memperkenalkan kembali mainan-mainan lama ini kepada anak-anak. Generasi muda penerus
budaya yang seharusnya tidak boleh tidak mengenal. Tergerus arus modernisasi dan teknologi yang semakin pesat.
Stand mainan. Foto: Dokpri
Salah satu mainan anak. Foto: Dokpri
Ada banyak stand BUMD yang menyajikan pameran dengan cara unik. Seperti Bank Jateng, untuk menarik perhatian, mereka menampilkan dua badut lucu. Sehingga banyak yang datang dan ingin berfoto bersama. Lain lagi dengan Museum Sudirman. Museum ini menyajikan batik khas Magelang. Di mana ada
workshop membatik di sana, sehingga anak-anak (terutama) bisa berlatih menggoreskan malam dengan canting di kain, untuk membatik.
Beberapa stand menarik perhatian penonton yang suka membaca. Ada stand perpustakaan yang memamerkan buku Mahabharata dalam bentuk komik seri A sampai D. Ada buku kuno juga milik Ir. Soekarno. Surat-surat jaman dulu juga dipamerkan di sini. Stand lain yang memamerkan buku kuno juga banyak. Majalah-majalah lama seperti Kartini, Intisari, dll. Masih terlihat bagus dan dijual untuk pengunjung. Perangko lama, koin-koin kuno untuk mahar yang dijual kurang lebih Rp 20.000/buah ada juga. Untuk para jomblowan/wati boleh deh berburu koin untuk mahar. Cieee...
Namun ada yang menarik untuk saya perhatikan. Buku Ir. Soekarno yang justru bukan perpustakan yang memajang. Stand lain memamerkan buku presiden pertama RI ini. Masih bagus, hanya warnanya agak kekuningan.
Buku karya Ir. Soekarno. Foto: Dokpri.
Dari sekian
stand pameran, ada satu
stand yang menarik perhatian saya. Hampir setengah jam saya berada di
stand ini.
Stand yang mungkin luput dari ingar bingar dan gebyar sorot lampu. Stand pak Supardi, komikus lokal Magelang. Lelaki kelahiran Magelang tahun 1958 sebagai pemiliknya dengan bangga dan senyum tulus melayani pertanyaan saya dan pengunjung lain.
Ada sekitar 7 judul komik yang sudah beliau selesaikan. Dari buku yang dipamerkan, masih ada yang kosong dan goresan pensil. Ternyata, proses pembuatan komiknya dari sketsa pensil, setelah selesai ia tebali dengan pulpen dan spidol. Sungguh sangat tradisional, tanpa ada sentuhan teknologi sama sekali. Namun justru itulah yang menarik. Komiknya tidak pernah diterbitkan, tak ada niat juga darinya, sebagai hobi saja, tuturnya.
S. Pardi dengan karyanya. Foto: Dokpri
Selain membuat komik, kesehariannya dihabiskan untuk memenuhi pesanan pelanggan, baik gambar, topeng, juga menggambar di sekolah-sekolah. Seperti gambar tembok TK dan PAUD. Laki-laki yang murah senyum ini memiliki dua orang anak yang telah berkeluarga. Tulusnya dia dalam berkesenian tak sedikitpun ada keinginan secara materi dengan komiknya. Seniman sejati. Mungkin daerah yang bisa memberi ruang kepadanya agar lebih berdaya dan lebih semangat berkarya.
img-0713-jpg-57367b25b47e61e1081a3707.jpg
Pameran yang berada di area alun-alun Kota Magelang ini masih berlangsung hingga Minggu, 15 Mei 2016 besok. Segera datang ya. Masih banyak acara di sini. Banyak juga
spot foto untuk narsis dan eksis.
Lihat Lyfe Selengkapnya