[caption id="attachment_379253" align="aligncenter" width="306" caption="foto: forum.kompas.com"][/caption]
Umi Azzurasantika (37)
Ujung daun bergoyang ditingkahi hembusan angin. Agak dingin. Tidak seperti biasanya. Sekilas terlihat dari pendopo tempat aku duduk, lereng Merbabu terlihat sedikit berkabut.
“Setinggi impian pemakainya” gumamku. Sambil ku tata satu-satu mahkota yang tersusun di pojok pendopo belakang gamelan.
“Lita baru saja lewat, mau beli hape katanya, ‘ndak kepingin kamu, nduk?”
Tiba-tiba saja Simak sudah berdiri di sampingku. Ikut mengambil mahkota bulu, dan merapikannya, menggantungnya kembali. Berjajar rapi.
“Ini pilihanku, Mak”.
Simak menoleh. Ada sunggingan termanis yang pernah aku lihat.
***
“Kamu ‘ndak ikut, Ras?” tanya Lita.
“Ndak Lit, aku mau latian” jawabku singkat.
Berharap Lita tidak kecewa dengan jawabanku. Karena dia adalah sahabatku. Aku tidak ingin kata-kataku mengecewakan hatinya.
“Yo wis”.
Dalam hitungan detik, Lita sudah menghilang dari pandanganku. Setengah berlari dia meninggalkanku. Aku terpaku. Di halaman ini, tempat kami main bersama sejak TK hingga sekarang sudah semester dua kuliah kami, kami selalu satu sekolah. Selalu bersama dalam satu kelas. Namun untuk kali ini memang kami beda jalur, beda pandangan. Aku menekuni seni tari di Jogja, dan dia Matematika di Salatiga.
“Siapa, Nduk?” Sambut Simak saat ku hempaskan pantatku di sisi Simak. Di kursi paling antik sedunia mungkin. Terbuat dari kayu dan beralaskan anyaman rotan. Tak banyak orang yang memiliki ini. Tapi sepertinya Simak sangat sayang dengan kursi set ini. Ah... biarlah dia memang punya pilihan, seperti diriku. Aku pun punya pilihan hidup sendiri.
“Nanti latihan ya, Mak?” tak kujawab pertanyaan Simak.
“Siapa tadi? Kok malah balik nanya”.
“Lita” Simak memandangku.
“Kamu suka dengan Topeng Ireng?” tanya Simak lurus.
Tak perlu ku jawab. Simak sudah tahu jawabannya. Karena dialah pelatihku, teman diskusiku tentang Topeng Ireng ini. Dia juga yang selalu mengajak aku dan teman-teman untuk mengikuti beberapa event budaya.
Simak meletakkan pisaunya yang sedari tadi digenggamnya. Mengupas beberapa jenis sayuran.
“Kamu, Nduk, harus temen.” Simak menyambung ucapannya.
“Topeng Ireng itu identitasnya orang Jawa Tengah, terutama orang Lereng Merbabu dan Merapi. Punya sejarah yang tak semua orang mengetahuinya”. Ku dengarkan Simak bercerita. Mata Simak menerawang. Seakan ada dinding kokoh yang ingin ditembusnya.
“Simak dulu sangat bangga menjadi pemain topeng ireng. Kata mbahmu dulu, Simak jadi perempuan yang menjadi pemainnya harus paham falsafah Topeng Ireng Toto Lempeng Irama Kenceng”.
“Kamu paham?” tiba-tiba saja Simak melontarkan pertanyaan.
“ehm... apa mak?” geragapan aku menjawabnya.
Kuakui tadi agak buyar pikiranku. Besok pagi aku pentas. Aku kurang konsentrasi. Tapi Simak menjadikanku menghadirkan seluruh konsentrasi untuk mendengarkannya.
“Sebagai seniman kamu harus Toto yaitu harus tertata hidupnya tidak boleh sembarangan menjalani hidup, grusah-grusuh, gobrak-gabruk”.
“Kedua Harus Lempeng lurus, jalan hidup yang harus kamu lalui. Wong urip itu sudah digariskan jalan hidupnya, tinggal bagaimana menjalaninya. Kita punya agama, punya Tuhan, punya kitab. Itu yang harus kamu pegang” panjang lebar Simak menjelaskan padaku.
“Hiduppun tak selamanya mulus, berirama. Kadang ada susah, sedih, gembira. Itu sudah biasa. Itu bukti, kita akan menjadi dewasa ketika kita menjalani dengan bijaksana, arif. Bukan Arif temanmu itu lo ya...”
“hahahaha....” tawa kami pecah. Baru serius mendengarkan Simak malah ngajak becanda. Ada bulir hangat menggantung di sudut matanya.
“Nduk Ras, terakhir. Menjadi pemain Topeng Ireng harus Kenceng. Berkeyakinan keras dalam menjaga amanah, kenceng semangat hidupnya. insyaAllah hidup ini akan dapat kamu jalani dengan baik”. Tatap mata Simak menghujam relung hatiku. Ada kesungguhan. Nasehat itu disampaikan kepadaku. Berharap anak semata wayangnya ini dapat menuruni jejaknya. Simak, Sri Panggung Topeng ireng era 80an.
“Nduk ambillah!. Ini gelang pemberian bapakmu almarhum saat meminang Simak. Tak bernilai seberapa. Kamu, Laras Wanodya Pawestri akan menjadi sri panggung berikutnya. Seperti Simak!”
Genggaman tangan Simak sangat kuat. Pelukan Simak benar-benar meyakinkanku.
***
Riuh tetabuhan gamelan, gemerincing kelinthingan memacu adrenalinku. Tepuk tangan mengiringi kami bersepuluh. Tak terasa baju kami basah oleh keringat yang mengucur deras. Terengah-engah nafas kami memburu.
“Maaf mbak, boleh kami wawancara sebentar” tetiba laki-laki menyandang kamera DSLR dan memegang sebuah blok note kecil dan pulpen menghampiri.
“Nama mbak siapa”
“LARAS WANODYA PAWESTRI” ada getar halus menyelinap, menyirap darahku. Saat tatapan laki-laki itu lekat di hadapanku.
Mak, perasaaan ini mungkin sama denganmu kala itu bertemu Bapak.
Aloon-aloon seolah lengang.
***
Magelang, 20 April 2015
Note:
Wanodya : Perempuan
Simak : Panggilan untuk seorang ibu
Yo wis : Ya sudah
Temen : Tekun
Toto : Tertata
Lempeng : Lurus
Irama : Irama
Kenceng : Keras
Grusah-grusuh, gobrak-gabruk : Ceroboh
Tokoh dan tempat pada cerita di atas bukanlah nama dan tempat yang sesungguhnya. Hanya fiksi belaka. Bertujuan untuk lebih mengangkat Kesenian Topeng Ireng dari Jawa Tengah. Informasi lebih lengkap baca http://id.wikipedia.org/wiki/Topeng_Ireng
Untuk membaca karya perserta lain kunjungi Rumpies The Club
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H