(12) Umi Azzurasantika
[caption caption="3.bp.blogspot.com"][/caption]
Sore itu langit pekat. Tak sedikitpun menampakkan wajahnya. Di kejauhan lamat-lamat pohon termenung. Ada sebuah kesedihan melingkupinya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Yang jelas, daunnya terkatup. Ranting-ranting seolah enggan bercerita. Menunduk tak berdaya. Semangatnya pudar seiring berjalannya matahari ke ufuk barat, yang hanya secercah cahayanya menimpa sebagian ranting yang tinggal memiliki beberapa helai daun.
Duduk termenung Pongo di dahan tempat yang ia bangun tadi siang. Sebuah keranjang ukuran besar berdiameter kurang lebih satu meter. Pandangannya kosong. Tubuhnya berkeringat. Panas, gerah, namun kadang dingin menyergap seluruh tubuhnya. Ia mainkan jari-jemarinya yang kian menua. Sesekali menyibak rambutnya juga kian habis di makan usia. Dia ambil sehelai daun muda. Dikunyahnya pelahan. Hambar.
“Sayang, apa yang kau pikirkan?” Tiba-tiba Pygmaeus telah duduk di sampingnya.
“Ehm... ehm...” terperanjat Pongo. Dia tidak menduga Pygi, panggilan sayang untuk istrinya, tiba-tiba duduk di sampingnya.
“Grumph” jawabnya menggelegar.
Dahan-dahan bergidik mendengar lengkingan suaranya yang terdengar hingga ratusan meter, lima ratusan meter mungkin lebih. Apalagi suasana yang remang-remang jelang senja membuat suasana semakin menciutkan nyali burung-burung untuk terbang di sekitar rumah Pongo.
“Aku perhatikan sedari siang kau tidak beranjak dari rumah?” Pygi terus mendesak. Pandangan matanya lekat. Menatap kekasih hatinya. Suami tercinta yang telah berpuluh tahun mendampinginya.
Di hutan ini mereka dipertemukan. Pandangan pertama mengurungkan perkelahian saat itu. Pongo yang tinggi besar, kurang lebih 1,8 meter tepat berada di depanku. Pucuk-pucuk daun, dahan menjuntai mengaminkan pertemuan indah itu.
Ya, pertemuan kami 35 lalu, yang akhirnya menjadi tonggak sejarah hidup kami. Pernikahan yang hanya akan kami lakukan sekali saja.