Seseorang akan mengalami perkembangan fisik maupun psikis di umur 10-20 tahun. Di sisi lain, mereka akan mengalami suatu fase dalam hidupnya, yaitu krisis dalam pencarian identitas; menurut Erikson. Sering disebut masa pubertas. Pada saat inilah, remaja mengalami kebingungan dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Pada fase ini mereka terlihat mulai membentuk suatu hubungan pertemanan, mencari kenyamanan, dan pencarian jati diri.
Mencari jati diri di usia remaja dianggap lumrah. Di mana jati diri merupakan inti dari identitas seseorang, mencerminkan bagaimana individu melihat dirinya sendiri, mengenali kekuatan dan kelemahan, serta mengartikan peran dan tanggung jawabnya dalam masyarakat. Sebab masih puber, banyak hal yang mereka lakukan melewati proses tersebut.
Pada proses pencarian jati diri, remaja sering menjajal banyak hal. Mengeksplore segala sesuatu yang menarik perhatian mereka. Hingga menemukan jati diri dalam frame pemikiran mereka sendiri. Selama mencari jati diri tersebut, kadang-kadang mereka tidak merujuk pada satu hal yang menjadi panutan. Banyak terjadi, sebab keingin tahuannya yang besar, remaja terjerumus pada hal negatif.
Tidak semua remaja melampaui masa pencarian jati diri secara mulus. Banyak faktor yang memengaruhi perjalanan tersebut. Bisa jadi karena adanya pengaruh sosial, entah itu orang tua, atau lingkungan yang membesarkannya. Kadang terlihat 'aman' tanpa gejolak yang dirasakan oleh orang dewasa di sekitarnya. Namun adakalanya, remaja melakukan pemberontakan terhadap orang dewasa; dalam hal ini orang tua, untuk menunjukkan identitasnya atau jati diri yang sedang ia bangun.
Setiap orang memiliki kemerdekaan atas dirinya. Artinya mereka bebas menentukan langkah hidupnya mau dibawa ke mana. Dengan demikian, ketika anak menasbihkan jati dirinya tidak selaras yang diinginkan oleh orang tua, itu sah-sah saja. Namun di sini, tentunya orang tua yang lebih dulu berjalan pada roda kehidupan, juga sah, untuk memberikan pandangan pada anak yang 'mungkin' sedang mengalami kebingunan atas petualangannya mencari jati diri.
Namun orang dewasa perlu menyadari, bahwa mereka berbeda. Baik lingkungan sosial yang membesarkannya maupun perkembangan teknologi yang turut memengaruhi anak tersebut. Gen Z, menurut Anggi Afriansyah, Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN; merupakan individu yang lahir dan tumbuh dengan teknologi digital, sehingga memiliki keterampilan digital yang tinggi. Mereka cenderung mencari informasi, termasuk ulasan dan berita, secara online sebelum membuat keputusan apapun termasuk dalam hal pembelian (brin.go.id).
Kondisi tersebut menjadi pertimbangan orang dewasa dalam memberikan pandangan kepada mereka. Mereka bukan Gen X yang memiliki kecenderungan mandiri, disiplin, pekerja keras, logis, dan juga mengutamakan karir. Pada saat mereka telah melalui proses pencarian jati diri, bisa jadi kurang terarah, mereka tidak bisa dicegah begitu saja. Penolakan secara frontal justru akan menimbulkan pemberontakan. Fenomena tersebut yang terjadi pada remaja saat ini.
Dialektika Membantu Anak Menemukan Jati Diri
Agar anak tidak mengalami kebingungan dalam pencarian jati diri, peran orang tua sangat dibutuhkan. Sebab sebagus-bagusnya Pendidikan, madrasah pertama dan terbaik adalah orang tua di dalam keluarga. Peran orang tua yang mendampingi anak dari kecil hingga remaja akan sangat memengaruhi pola pikir anak, sehingga mereka dapat melalui fase petualangan pubertas yang dinamis.
Pertanyaannya? Apakah semudah itu? Tentu saja tidak.