Seolah menjadi suatu stigma, bahwa anak yang pintar dan cerdas adalah mereka yang memiliki nilai tinggi. Nilai yang berbentuk angka pada laporan hasil belajarnya. Mendapat predikat sangat memuaskan atas kerja keras selama menjalani pembelajaran di kelas. Namun tanpa disadari, hasil tersebut hanyalah angka. Belum bisa dipastikan, hal tersebut bisa menjadi tolok ukur kemampuan anak dalam memaknai belajarnya.
Seperti diketahui Pendidikan di Indonesia masih mengukur kecerdasan anak melalui angka yang tertulis. Seperti penerimaan siswa baru berdasar nilai rapor atau ujian. Masuk perguruan tinggi berdasar angka pada rapor pula. Hal ini menunjukkan bahwa angka sangat menentukan keberadaan anak pada jenjang tertentu.
Namun benarkah, nilai dalam bentuk angka ini bisa menjamin anak mampu menghadapi masa depannya?
Baru-baru ini beredar berita, bahwa Gen Z banyak yang diberhentikan dari pekerjaannya. Pertanyaannya, mengapa mereka sebagai fresh graduate tidak bisa beradaptasi di tempat mereka bekerja, hingga dikeluarkan? Padahal mereka bisa dibilang sebagai generasi yang melek teknologi dan memiliki kreativitas tinggi.
Berdasar survei dari platform konsultasi pendidikan dan karier, Intelligent, menyampaikan bahwa Gen Z memiliki kelemahan kurangnya motivasi, kurangnya profesionalisme, dan keterampilan komunikasi yang buruk. Hal tersebut senada dengan yang disampaikan oleh sekretaris Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang dikutip dari NCBC Indonesia. Bahwa Gen Z di Indonesia umumnya dikenal sebagai generasi yang adaptif terhadap teknologi, kreatif, dan berorientasi pada fleksibilitas kerja. Namun, tantangan seperti kurangnya pengalaman, ekspektasi yang tinggi terhadap budaya kerja fleksibel, dan kesenjangan antara hard skills dan soft skills terkadang menjadi kendala.
Kondisi seperti ini tentunya menjadi tantangan bagi dunia pendidikan. Khususnya guru. Perlu melakukan refleksi, sudah sesuaikah pola Pendidikan yang diajarkan selama ini? Mengapa output Pendidikan kurang bisa memenuhi kebutuhan dunia kerja dan dunia industri?
Sebab hanya mengejar angka, seperti disampaikan di muka, anak mementingkan menghafal Pelajaran untuk mencapai target nilai tersebut. Ketika belum bisa mencapai target tertentu, guru ikut andil untuk melakukan pembelajaran tambahan. Anak-anak juga sering mengikuti bimbingan belajar untuk mendapatkan nilai terbaiknya.
Korelasinya apa? Antara hasil belajar anak dengan nilai tinggi terhadap diberhentikannya mereka dari Perusahaan karena kurang sesuai dengan harapan Perusahaan.
Ketika pembelajaran hanya mementingkan angka, anak akan menghafalkan materi agar bisa menjawab pertanyaan. Di mana pertanyaan sering pula text book berisi hafalan-hafalan belaka. Di sinilah muncul kemalasan-kemalasan dalam berpikir kritis. Ketika sudah sesuai dengan materi dalam buku, anak tidak lagi tergelitik pada daya nalarnya. Berhenti cukup di situ saja. Berbeda ketika guru memberikan stimulan agar anak dapat berpikir kritis. Anak akan memiliki usaha lebih agar memahami isi Pelajaran. Sehingga mampu menepis kemalasan-kemalasan. Tidak sekadar mengejar target materi atau angka nilai yang ditetapkan.
Di sinilah peran guru membentuk karakter anak. Menghilangkan kemalasan berpikir dalam memaknai pengetahuan dalam kegiatan belajar mengajar. Melalui pembelajaran yang kreatif, menyenangkan, dan bermakna. Dengan demikian diharapkan karakter baik dapat terbentuk. Â Gen Z yang adaptif dan kreatif di era teknologi diimbangi dengan karakter semangat, Kerjasama, dan pantang menyerah. Juga adaptif terhadap lingkungan sekitarnya.