Malam enggan mengatupkan kelopak matanya yang legam. Tersaput selaksa angin, beriring debur ombak hantamkan rindunya pada karang. Bukan untuk sebuah kemarahan namun kepastian janji untuk selalu datang.
Berkejaran Tukik di antara kaki kecil perempuan tergerai rambut, berjalan. Ke barat ikuti bisik kidung klasik yang menggema di dada.
Aroma dupa, bunga tujuh rupa tersirap dari balik jarik parang rusak. Tersibak di sela-sela kepulan tembakau menusuk sukma. Bercampur ramuan kemenyan. Menebar rayuan cinta kepalsuan.
Tulang rusuk remuk berganti tulang punggung. Terbungkuk oleh amuk gelombang yang garang. Langkah tak henti pada teriakan samudera yang sepi.
Dipungutnya lembar demi lembar harap, pada puntung rokok yang habis ia hisap. Mengusap lelehan ratap yang ia gantung setinggi atap balkon di ujung jalan. Usai pertarungan hidup taruhkan harga diri yang tersisa sepenggalan.
-Ummi Azzura Wijana-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H