Di antara serakan bebintang yang mernyerupai kelereng-kelereng emas, kau serupa malaikat bersayap perak. Aku rasakan kehadiranmu di taman hati pada ambang terbit matari. Sungguhpun kita yang tinggal di planit berbeda telah dipisahkan jarak jutaan tahun cahaya. Cara kita sama dalam membaca kejora di kubah malam. Kau berpijak pada serpihan Mars di ujung pandang mataku. Sementara aku terombang-ambing di tengah lautan di bumi renta. Berdiri termangu pada geladak kapal yang layarnya sedkit berkembang. Berdiri termangu di bibir fajar. Mencatat waktu yang mengendap-endap serupa maling usia kesiangan. Â
Betapa susah bayangmu aku jaring dengan imajiku. Namun keyakinanku kau telah mengabarkan lewat gelombang tentang keasrian taman firdaus. Hingga senyumku semekar flamboyan di musim kering. Hingga angin menyelasak di rongga dadaku yang kian lapang. Hingga Juli-ku yang masih merintikkan air mata hujan menapak sedikit gontai menuju rumah Agustus kekasihnya. Â Â
Tak ada yang pantas diabadikan dalam puisi, selain sungging senyummu yang tak berubah. Namun, sungguhkah itu senyummu? Senyum yang menjelma setiap larik dan bait puisi. Senyum yang mendamparkanku ke pulau di mana aku tak tahu. Apakah di lembahnya yang  penuh bebatuan. Apakah di padang rumput yang menghijaukan kalbu. Atau awan gemawan yang berarak serupa sobekan-sobekan kapas. Ketika aku serasa balon yang membubung, kau serupa angin yang meninabobokanku. Â
Tentang paras Agustus yang seanggun lengkung bianglala. Ingin aku abadikan pada sebingkai kanvas. Jingga auramu. Putih lembut hatimu. Legam rambutmu yang  aku rangkai satu-satu. Aku sulam setangkup bibirku dengan renyah tawamu. Tak aku lewatkan sorot bening matamu. Hingga ungu yang melengkapi sudut ruang hati. Membirukuningkan pondok sukmaku.
Entah sudah berapa sajak aku gubah. Melukiskan tawamu dan kibasan rambutmu yang menjurai di keningmu. Tak habis tinta dalam cawanku mengisahkan tentang keugaharian pribadimu. Hingga Agustus mencapai batas senja. Belum juga usai jemari lentikku meriwayatkanmu.
Selayung matari, Agustus segera pulang. Akankah langit Setember akan mengirim hujan bersama rinainya. Di mana kau dan aku akan membelanjakan waktu di bangku taman. Bersama-sama membuka episode pertama kisah kita. Di mana kau dan aku akan memandang langit penuh bebintang. Hingga fajar mengabarkan, "Mimpi dan nyata telah mengristal serupa lingkaran yin-yang."
-Ummi Azzura Wijana-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI