Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Langit September yang Mengirim Hujan Bersama Rinainya

8 April 2018   20:24 Diperbarui: 8 April 2018   20:24 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hujan Bersama Rinainya. Sumber foto: plukme.com

Di antara serakan bebintang yang mernyerupai kelereng-kelereng emas, kau serupa malaikat bersayap perak. Aku rasakan kehadiranmu di taman hati pada ambang terbit matari. Sungguhpun kita yang tinggal di planit berbeda telah dipisahkan jarak jutaan tahun cahaya. Cara kita sama dalam membaca kejora di kubah malam. Kau berpijak pada serpihan Mars di ujung pandang mataku. Sementara aku terombang-ambing di tengah lautan di bumi renta. Berdiri termangu pada geladak kapal yang layarnya sedkit berkembang. Berdiri termangu di bibir fajar. Mencatat waktu yang mengendap-endap serupa maling usia kesiangan.  

Betapa susah bayangmu aku jaring dengan imajiku. Namun keyakinanku kau telah mengabarkan lewat gelombang tentang keasrian taman firdaus. Hingga senyumku semekar flamboyan di musim kering. Hingga angin menyelasak di rongga dadaku yang kian lapang. Hingga Juli-ku yang masih merintikkan air mata hujan menapak sedikit gontai menuju rumah Agustus kekasihnya.    

Tak ada yang pantas diabadikan dalam puisi, selain sungging senyummu yang tak berubah. Namun, sungguhkah itu senyummu? Senyum yang menjelma setiap larik dan bait puisi. Senyum yang mendamparkanku ke pulau di mana aku tak tahu. Apakah di lembahnya yang  penuh bebatuan. Apakah di padang rumput yang menghijaukan kalbu. Atau awan gemawan yang berarak serupa sobekan-sobekan kapas. Ketika aku serasa balon yang membubung, kau serupa angin yang meninabobokanku.  

Tentang paras Agustus yang seanggun lengkung bianglala. Ingin aku abadikan pada sebingkai kanvas. Jingga auramu. Putih lembut hatimu. Legam rambutmu yang  aku rangkai satu-satu. Aku sulam setangkup bibirku dengan renyah tawamu. Tak aku lewatkan sorot bening matamu. Hingga ungu yang melengkapi sudut ruang hati. Membirukuningkan pondok sukmaku.

Entah sudah berapa sajak aku gubah. Melukiskan tawamu dan kibasan rambutmu yang menjurai di keningmu. Tak habis tinta dalam cawanku mengisahkan tentang keugaharian pribadimu. Hingga Agustus mencapai batas senja. Belum juga usai jemari lentikku meriwayatkanmu.

Selayung matari, Agustus segera pulang. Akankah langit Setember akan mengirim hujan bersama rinainya. Di mana kau dan aku akan membelanjakan waktu di bangku taman. Bersama-sama membuka episode pertama kisah kita. Di mana kau dan aku akan memandang langit penuh bebintang. Hingga fajar mengabarkan, "Mimpi dan nyata telah mengristal serupa lingkaran yin-yang."

-Ummi Azzura Wijana-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun