Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Amsal Daun Kering

6 April 2016   11:14 Diperbarui: 9 Februari 2018   18:15 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Foto: Dokpri"][/caption]Hembusan selaksa angin utara.Terbangkan kidung suci. Merapal bait-bait pujangga. Perempuan berkebaya kuthu baru tergesa meniti pematang ladang di ujung desa.

"Uma, 'mbok pelan-pelan to jalannya!" Inah menguntit perempuan di depannya. Bibirnya manyun. Tidak sabar dengan langkah kecilnya, ia angkat tinggi-tinggi kain yang dipakainya. Ikatan anggur hitam dalam bakul yang dipeluknya dengan lengan kirinya sedikit terburai.

Uma, perempuan yang di depan Inah terus berjalan. Tak memerdulikan teriakan Inah yang sedari tadi menguntitnya.
 "Kalau kamu capai, berhentilah," ucap Uma datar.

Sejurus kemudian, "biyungalah....!" Inah hampir jatuh. Menabrak Uma yang berdiri tegak di depannya.

"Kamu itu ada apa, to? Tadi buru-buru seperti dikejar maling, tiba-tiba berdiri grek seperti patung. Aku hampir jatuh ini, lo!" Gerutu Inah, sambil mengambil anggur-angur dan bunga yang sempat jatuh ke tanah.

Uma terdiam, ia tak peduli dengan omelan Inah. Perlahan-lahan ia ambil tusuk konde dari gelungan rambutnya. Hitam dan bergelombang rambutnya terurai. Tatapnya lurus. Sendu, namun ada kerinduan yang ia simpan dalam bening bola matanya. Rambutnya riap-riap tersapu angin. Menutup sebagian wajah yang menyisakan ayu keibuan.

Ia selipkan sekuntum kamboja putih di telinga kirinya. Bersedekap, memeluk selendang beledu tipis warna biru. Semakin erat, lalu dikalungkan di lehernya.

Matanya berkaca-kaca. Uma mengambil sebatang rumput liar berbunga kuning gading. Ia pilin berulang-ulang. Ia pandang. Sesekali menghela nafas panjang. Perlahan ia hembuskan. Terdengar berat.

Kaki bersihnya yang tanpa alas kaki ia celupkan dalam 'blumbang' kecil di depan gubug bambu kecil, tempat di mana ia sering menghabiskan waktu sendirian.

Jari-jarinya yang lentik membersihkan balai-balai itu. Inah hanya diam, melihat Uma seperti bercerita pada apa yang dipegangnya.

Uma duduk.  "Siwa," gumamnya lirih.

Menuai padi seperti yang menjadi inginku, maumu
Mimpi anak desa yang bermain rumput alang-alang
Janji berdua di kehidupan dewasa
Kau sematkan pada mahkota dedaun di kepala

Tapi Siwa, ladang ini tinggal jerami
Kerontang seperti danau di mata ini
Tak gembur, subur, penuh cinta
Tinggal kenang dalam diam
Bersemayam di kalbu

Aku daun kering
Diterbang angin
Dihempas badai
mencari hingga menemukanmu di bilik hatiku

Semilir angin sore, bersiutan. Burung-burung terbang rendah di atas ladang, bersegera pulang ke sarang. Matahari ke peraduan.

Pohon kelapa membayang. Menutup samar muka Uma. Mata Uma menganak sungai basahi kain sido muktinya.

***
 Pematang, 05042016-09022018
 Umi Azzura

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun