Kata ‘iklan luar ruang’ dalam judul tulisan ini dimaknai sebagai iklan yang dikategorikan menggunakan media luar ruang (outdoor). Dalam konteks sampah visual,  upaya memanfaatkan, memilih, dan memasang beragam iklan luar ruang yang berserak di berbagai tempat strategis di sudut kota besar, ditengarai akan menghasilkan limbah sampah visual. Keberadaanya pun memicu  konflik, dan rawan bencana visual manakala konstruksi tiang pancang iklan luar ruang tidak sempurna peruntukkannya.
Perbedaan persepsi atas pemasangan iklan luar ruang senantiasa menjadi perdebatan panjang. Tetapi yang jelas, bencana visual akibat  robohnya iklan luar ruang berbentuk billboard telah menimpa kota Jakarta. Hasil liputan Kompas Minggu (8/1) yang diletakkan di kolom Metropolitan telah menuliskan berita robohnya enam papan billboard pada hari Kamis (5/1). Empat billboard yang roboh terlihat di Jakarta Utara. Sisanya di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan, masing-masing tercatat satu billboard roboh diterjang angin ribut.
Perihal perbedaan pendapat  dalam menyikapi pola pemancangan  iklan luar ruang hingga hari ini memantik  perdebatan panjang.  Kubu industri periklanan beranggapan titik  strategis di berbagai sudut kota besar (metropolitan) adalah titik emas yang mampu mendulang rupiah untuk menggerakkan industri kreatif periklanan dan  komunikasi visual yang mereka kelola.
Sebaliknya, bagi sebagian besar masyarakat, titik sentuh pemasangan iklan luar ruang berbentuk: Â billboard, baliho, rontek, neon box, spanduk, umbul-umbul dan tempelan poster justru menjadi antiklimaks yang memburamkan hidup dan kehidupan mereka. Mengapa demikian? Karena sebagian besar masyarakat merasa dihantui sampah visual yang menimbulkan bencana visual terkait dengan titik sentuh pemasangan iklan luar ruang yang mereka nilai amburadul.
Kebijakan Penuh 'Kebijakan'
Membicarakan masalah iklan luar ruang, rasanya tidak pernah tuntas. Inti permasalahannya bersumber dari penentuan titik penempatan dan pola pemasangan yang semrawut dan penuh 'kebijakan’ dengan menerapkan standar ganda.
Kesemrawutan visual itu semakin terlihat boroknya manakala menyaksikan iklan luar ruang yang difungsikan untuk menginformasikan beragam mata acara yang digelar Jum’at, Sabtu, dan Minggu dengan melibatkan merek rokok, kartu seluler, dan berbagai produk consumer goods sebagai sponsor pendukung.
Untuk meminimalisir kesemrawutan visual, ‘perang‘ antar iklan luar ruang seyogianya dihentikan. Mengapa? Karena sejatinya, pemanfaatan iklan luar ruang menjadi kurang efektif dan over communicated. Hal itu terjadi, karena pola pemasangan dan penempatan iklan luar ruang  bertolak belakang dari sebuah konsep desain iklan luar ruang yang dirancang sedemikian rupa agar tampil menarik, informatif, komunikatif dan persuasif. Ironisnya, di tangan petugas yang memasang iklan luar ruang, karya desain yang bagus itu beralih fungsi menjadi seonggok sampah visual.
Modus operandinya, oleh tukang pasang iklan luar ruang, antara desain yang satu dengan lainnya dipasang ala kadarnya. Dalam benak mereka: yang penting tugas memasang iklan luar ruang diselesaikan dengan ’baik dan cepat’. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan upah dan pujian atas prestasinya memasang ‘sampah visual‘ di berbagai sudut jalan strategis.
Tertibkan Iklan Luar Ruang
Pada titik ini, pemerintah lewat dinas terkait, hendaknya tidak hanya menertibkan keliaran iklan luar ruang, melainkan pertama, berani menurunkan iklan luar ruang yang menyalahi masterplan iklan luar ruang yang dimiliki pemerintah, baik pusat maupun daerah.