Mohon tunggu...
Sumbono Qomaruzaman
Sumbono Qomaruzaman Mohon Tunggu... -

Lulus dari Pesantren, sekolah Jurnalistik di Jogja, lalu bekerja pada harian Jogja Post, Bernas Jogjakarta. Kini, aktif di berbagai kegiatan sosial dan pendidikan di pedesaan. Dan, tetap menulis serta mengelola WarCom--sebuah wadah jejaring multi usaha di Banyumas-Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Psiko-SBY: Dibalik Siasat SBY

29 September 2014   08:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:07 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang pemimpin hadiruntuk menyampaikan solusi bagi rakyatnya. Pesan presiden, pikiran, ucapan dan tindakan adalah harapan baru dalam setiap persoalan yang dihadapi. Pemimpin, sekelas Presiden SBY sangat diharapkan mampu menjadi “Sang Democrat” sejati. Seperti tertulis dalam buku biografi “Sang Demokrat”.

Tapi, apa yang terjadi, memasuki usia senja kekuasaannya, SBY berusaha menjadi pemimpin yang “suul khatimah”. Upaya membangun demokrasi langsung “terkubur” saat partainya memilih walk out dari sidang parpiruna di DPR. Pilihannya, satu menolak pilkada langsung dan sepakat dengan Pilkada di DPRD.

SBY tampil sebagai dalang politik yang piawai. Di negeri demokrasi, Amerika Serikat, SBY berusaha “membajak” demorasi langsung dengan seolah-olah berpidatokepada rakyat Indonesia,bahwa dirinya, sama sekali tidak memilki iktikad untukmendukungPilkada melalui DPRD.

“Sikap saya tidak akan berubah. Setelah tidak jadi presiden nanti, saya akan terus berjuang bersama rakyat, agar pilkada dilakukan secara langsung dengan perbaikan. Ini, sumpah saya, meski saya sudah tidak jadi presiden lagi.”

Itulah, pernyataanPresiden SBYsaat jumpa pers di Hotel Willard Intercontinental sesaat sebelum meninggalkan Washington, DC, Amerika Serikat, Sabtu (27/9) pukul 09.00 waktu setempat.

SBY berusaha meyakinkan publikagar percaya bahwa dirinya, sama sekali tidak menghendaki Pilgub/Pilbup melalui DPRD. Paling tidak, sumpahnya, bisa dijadikan pegangan, bahwa dia akan konsisten memperjuangkan Pilkada langsung selepas pensiun.

Apakah kekuatan sumpah SBY bisa dijadikan pedoman politik?Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga pernah menantang dengan sumpah siap digantung di monas jika terbukti korupsi.

Lalu, setelah terbukti korupsi dan diganjar hukuman 8 tahun penjara, apakah Anas merelakan dirinya untuk digantung di monas?

Politisi Indonesia, selalu memudahkan sumpah saat tersudut atau terpojok untuk menyelamatkan muka dari rasa malu. Sumpah atau komitmen dianggap sepele dalam literatur kehidupan politik.Jauh hari semua politisi, pejabat juga disumpah dibawah naungan kitab suci dan atas nama Tuhan, disaksikan oleh petinggi negeri yang terhormat, tapi toh tetap saja melanggar.

Sikap mendua SBY dalam soal Pilkada langsung membuatamarah publik. Media sosial,menghujani kritik, hujatan, dan publikasi negatif tentang perilaku politik SBY. Publik, tidak percaya bahwa SBY tidak mengendalikan sikap anggota Fraksi Demokratdi DPR.

Siapapun tahu, bahkan mengerti bahwa Ketua Umum Partai, terlebih sebagai presiden pasti mengendalikan perilaku anggotannya, pilihan-pilihan politiknya.

Bagaimana mungkin SBY tidak mengendalikan anggotanya di DPR?Lalu, apa peran ketua umum? Tepatlah, SBY sedang memainkan sinetron.

Salah satu kebiasaan SBY adalah meninggalkan Indonesia, saat di dalam negeri sedang diliputi oleh masalah. SBY seringkali tampil sebagai pemimpin yang tinggal gelanggang . Seperti biasanya, SBY selalu ingin tampil bersih,cuci tangan dari permasalahan yang hadir.

Saat itu, harapan publik sangat tinggi terhadap peran SBY untuk bisa menyelamatkan Pilkada langsung. Berbagai cara dilakukan oleh publik, melalui aksi jalanan, media sosial untuk menekan SBY agar mendukung Pilkada Langsung.

Namun, SBY seperti sudah tidak membutuhkan lagi dukungan publik, seiring masa jabatanya yang tinggal sebulan lagi. Sikapnya tidak berubah meski dibanjiri kritik, sinisme, dan hujatan terhadap dirinya. Kalaupun, bersikap seolah mendukung hanyalah retorika belaka.

SBY tidak peduli, SBY tidak lagi menengok kepentingan jangka panjang dalam membangun demokrasi di tingkat bawah. SBY lebih percaya pada DPRD dari pada rakyat untuk memilihgubernur atau bupati , sekalipun dimengerti bahwa yang suka bohong adalah anggota DPRD. Sebaliknya, rakyat seperti habis manis sepah dibuang. Rakyat yang memilih SBY dalam dua kali Pilpres Langsung sudah tidak lagi bermanfaat dan berguna. Fase peran rakyat sudah berakhir.

SBY memilkivisi baru bahwa kemenangan politik Demokrat bukan lagi dengan Pilkada langsung tetapi dengan Pilkada DPRD. Citra sebagaiSang Demokrat sudah luntur pada saat terlibat membajak demokrat dari daerah. Pesan dan kesan dirinya sebagai presiden yang demokratis, berganti topeng sebagai“Presiden Pembela DPRD”.

Di masa-masa pensiun, SBY ingin menyaksikankehancuran demokrasi di Indonesia, mungkin dengan mengelus kader-kaderDemokrat. Putranya, atau keluarganya sudah diperhitungkan bahwa dengan Pilkada DPRD, SBY bisa memangkan Ibas,atau keluarganya sebagai gubernur atau bupati. Atau mungkin,mencalonkan Ibu Ani sebagai Gubernur Jawa Tengah.

Motif dukungan SBY terhadap Pilkada DPRD sudah dihitung dengan matang, layaknya seorang jendral dalam strategi perang.SBY,tidaklah bodoh. Dengan menghapus Pilkada Langsung, SBY tidak perlu repot-repot kampanye ke berbagai daerah untuk menjadikan kadernya sebagaigubernur atau bupati.

Untuk menjadikan Ibas sebagai Gubernur Jatim misalnya, SBY tidak perlu lagi kampanye keliling daerah di Jawa Timur cukup menemui pimpinan parpol, fraksi dan anggota yang kritis dan crewet, lalu lobi tersebumyi, tertutup. Selesai. Pilihan gubernur di Jawa Timur bisa dimenangkan oleh Ibas. Deal dengan sejumlah elit parpol lebih mudah, daripada deal dengan rakyat.

Efisien dan efektif dalam pemilu. Hemat dalam danabiaya politik, Uang beredar pun hanya di kalangan elit. Tapi keuntungan besar bisa diraih dengan mengekplorasi sumber daya alam di berbagai daerah. Presiden SBY sedang, berpikir secara ekonomis bagaimana menguasai wilayah tanpa harus mengeluarkan pembiayaan politik yang besar.

Mungkin saja SBY, lupa bahwapekerjaan politik apapun sistem membutuhkan pengorbanan. Di dunia initidak ada satupun pencapaian tujuan tanpa pengrobana. Bahkan,sudah menjadi pemandangan umum, pergi ke toilet di Jakarta pun pasti mesti mengeluarkanb biaya Rp 2000. Setiap terminal juga mengeluarkan dana peron masuk terminal. Tidak ada tempat gratis. Semua kegiatan pasti membutuhkan biaya, terlebih menjadi pemimpin. Inilah yang membedakan antara pemimpin dengan yang dipimpin.

Pilkada langsung atau tidak, pastilah membutuhkan perngorbanan.

Alasan pilkada langsung hanya merusak tatatan sosial, harmoni sosial, pemicu kerusahan, korupsi,terkesan hanya rekayasa untuk “memngubur demokrasi langsung” di daerah.Pilkada di DPRD, telah terbukti menghasilkan pemimpin yang hanya setiap pada “juragan”bukan pada kepentingan rakyat menyeluruh.

SBY memahami betul “anatomimiliter “ di Indonesia. Militerlah yang paling siap untuk “merebut” kursi Gubernur dan Bupati di Indonesia. Setelah, Pilkada langsung “dimatikan” lalu, SBY akan menghidupkankekuatan militer di daerah dengan jaringannya.Mesin militer dan mesin partai pasti lebih kuat dan lebih efisen ketimbang partai sipil. Dalam hitungan satu atau dua tahun, kemenangan militer bisa diraih.

Kepemimpinan militer lebih siap daripada kepemimpina sipil, kaderisasi dimiliter lebih efektif daripada di sipil dan lembaga sipil seperti parpol. Sikap petinggi militer untuk menerima presiden terpilih Jokowi sepertinya belum legawa. Belum menampakkan ketulusan untuk menerima presiden terpilih. Sekalipun, militer mengerti bahwa TNI adalah tentara rakyat, berakar pada rakyat, tanpa rakyat Indonesia juga tidak akan berdiri TNI.

Bagi SBY, kekuatan militer menguasai daerah lebih sigap. Lalu, skenario selanjutnya adalah TNI kembaliberpolitik secara menyeluruh, Post--post yang ditinggalkan akan direbut kembali.

Kini, persoalan pilkada langsung atau bukan, sudah sampai pada batas soal kekuatan politik sipil dan militer di tanah air. Bagaimana pun SBY sebagai representasi militer (TNI), akan tetap membangun kekuatan. Prabowo dan Ical hanya “diperalat” SBY. Ical dan Prabowo seolah kekuatan, padahal kekuatan sesungguhnya ada pada jaringan militer SBY . Prabowo dan Ical sangat mudah dikalahkan dalam perjalan politik yang akan datang. Keduanya, memiliki kelemahan yang mudah sekali dijatuhkan. Terbukti, Ical gagal menjadi capres, Prabowo juga gagal terpilih sebagai presiden.

Kekuatan SBY dalam membangun dinasti politik dan jaringanselama 10 tahun, tidak terkalahkan dengan pimpinan prapol lainnya.sebagaimana kemunculnnya tidak terduga oleh tokoh-tokoh reformasi saat itu. Misalnya, tokoh sekelas Amien Rais yang sudah putusa asa atas kekalahan-kekalahannya dalam pemilu langsung. Dan tokoh sekelah Megawati pun bisa dikalahkan SBY.

Kekuatan militer akan kembali ke dunia politik, lalu partai politik pelan tapi pasti, mungkin dalam periode 5 tahunke depan bisa dipreteli sampai habis. Parpol kembali menjadi stempel, tanpa proses dialog dengan publik, komunikasi dengan publik. Di kalangan NU, Muhammadiyah, dan ormas lainnya, pemimpin militer lebih diercaya daripada pemimpin sipil.

SBY, sedang menyusun jalan baru politik militer, militer siap kembali gelanggang politik.Kemenangan Koalisi Merah Putih, bukan hanya soal Pilkada melainkan akan merambat ke soal-soal lainyang mendasar dalam sistem politik. Jika, bisa seluruh hasil reformasi akan “dihapus” dalam lima tahun ke depan.

Jendral Moeldoko perlahan telah menyiapkan startegi politik untuk bersaing di 2019.Jadi, soal pilkada bukan lagi soal pemilu, tetapi kekuatan politik dan model politk yang dibangun.

Konstelasi militer dan sipil untuk memperebutkan kursi gubernur dan bupati, lalu selangkah lagi militer akan membangun rejim politik baru! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun