Oleh Sumbo Tinarbuko
"Orang badannya besar begini belum tentu kuat. Yang besar itu adalah yang kuat kesabarannya. Yang besar adalah yang kuat kesalehannya". Demikian nasihat visual Presiden Joko Widodo pada Kaesang, putra bungsunya. Nasihat visual yang dikemas dalam bentuk komunikasi visual ala Presiden Joko Widodo diunggah Kaesang lewat akun YouTube, Sabtu 2 Juli 2016. Hingga tulisan ini dibuat, tayangan berjuluk PILOK #4: Adu Panco sudah disaksikan 1.853.314 kali.
Saat diresapi lebih mendalam, nasihat visual Presiden Joko Widodo pada Kaesang putra bungsunya, adalah nasihat sederhana. Representasi tutur sembur orangtua pada anaknya terkasih.
Manakala nasihat tersebut dibaca dengan pendekatan semiotika, Presiden Joko Widodo sedang menyematkan makna konotasi atas tanda visual 'badan besar' yang dimiliki Kaesang. Oleh Presiden Joko Widodo, tanda visual ‘badan besar’ direkatkan makna konotasi spiritual. Tanda visual ‘badan besar’ di mata Presiden Joko Widodo dibayangkan sebagai kuat kesabarannya dan kuat kesalehannya. Bukan sebaliknya, tanda visual ‘badan besar’ dipahami sebagai sesuatu yang kuat dalam konteks okol.
Nasihat visual tersebut, jika ditarik dalam perspektif lebih luas adalah sebuah nasihat yang dikumandangkan Presiden sebagai bapak bangsa. Seorang bapak bangsa yang memiliki kewajiban moral memberi nasihat berupa tutur sembur. Sebagai bapak bangsa, Presiden Joko Widodo  juga memiliki kewajiban berbagi energi positif kepada rakyatnya, yang dikonotasikan sebagai anak kandungnya.
Gaya nasihat visual yang dikemas dalam kemasan karya komunikasi visual ala Presiden Joko Widodo, sejatinya sebentuk ujaran pesan moral. Pesan warisan nenek moyang yang dihadirkan kembali dalam konteks budaya kekinian. Pesan moral tersebut memagari kita agar tidak rajin melukai batin bahkan gemar membinasakan tubuh sesama umat manusia.
Tabiat buruk
Kata ‘kuat’ dalam pemahaman Presiden Joko Widodo seperti divisualkan dalam tayangan vlog milik Kaesang, bukan sebagai sesuatu yang bersifat adigang, adigung, adiguna.  Sifat adigang, adigung, adiguna,hingga kini menjadi tabiat buruk yang melekat erat di tubuh penguasa. Ciri visualnya, mereka senantiasa mengagungkan diri lewat kekuatan fisik, kepandaian intelektual dan jabatan struktural yang dipangkunya.
Mereka adalah sekelompok orang berkuasa. Mereka sangat bahagia mengingkari dirinya sendiri ketika dipercaya menjalankan kekuasaan. Dampaknya, karena jabatan struktural yang disandingnya tidak dijunjung sebagai amanah agung. Rakyat lalu menilai para penguasa bertabiat buruk seperti itu bukanlah pejabat yang amanah. Mereka bukan lagi sebagai pejabat publik yang  membaktikan dirinya sebagai pelayan masyarakat.
Ciri visual lainnya, tuturan budi bahasanya tidak sebangun dengan gesture perilakunya. Hal itu terlihat dalam setiap langkahnya. Mereka senantiasa memparodikan nasihat luhur  nenek moyang kita yang semula tertulis: ‘sepi ing pamrih, rame ing gawe’ menjadi ‘sepi ing gawe, rame ing pamrih.’ Artinya, para penguasa yang seperti itu adalah representasi dari pribadi serakah. Maunya untung sendiri. Hidup nyaman tanpa mau berupaya keras untuk menyejahterakan, mengayomi dan mendengarkan suara rakyatnya.
Pada tititk inilah, nasihat visual Presiden Joko Widodo menjadi sangat relevan. Keberadaannya menemukan momentumnya. Bahwa sang kuat yang memiliki kekuatan tidak semestinya menempuh jalur miskomunikasi saat berkomunikasi. Juga seyogianya tidak membangun jalan pintas guna menyalahpahami apa pun yang ada di depan mata.