Oleh Sumbo Tinarbuko
Sejak Pemilu 1999 hingga sekarang, alat peraga kampanye, secara komunikasi visual tidak bersalin wajah. Para caleg yang berburu ‘kekuasaan’ senantiasa menampilkan jatidirinya seperti halnya desain kartu tanda penduduk. Di sudut kiri, terpampang foto wajahnya yang diatur sedemikian rupa agar secara visual tampil rupawan dan cantik memesona. Di sebelahnya dihadirkan catatan sukses sang caleg. Di antara catatan sukses itu tertulis deretan gelar akademis, gelar kebangsawanan, gelar keagamaan, hubungan kekerabatan dengan tokoh parpol dan status sosial lainnya. Di bawahnya dituliskan pula janji politik sang caleg.
Gaya Visual Narsisme
Selama hampir 15 tahun, terhitung sejak 1999, rakyat Indonesia alias calon pemilih selalu disuguhi alat peraga kampanye bersifat paritas dan bergaya visual narsisme. Caleg yang menerapkan strategi narsisme dengan memasang deretan gerbong gelar akademis, gelar kebangsawanan, gelar keagamaan, dan hubungan kekerabatan dengan tokoh parpol, ditengarai belum memiliki pengalaman dan kompetensi memadai dalam jagad politik.
Harus diakui, sejatinya mereka belum memiliki prestasi politik yang teruji ruang dan waktu. Selain itu, mereka yang bertarung sebagai caleg  mesti rela berdarah-darah dalam pengertian yang sebenarnya. Syarat berikutnya, mereka harus cerdas dan cepat mengelaborasi berbagai permasalahan yang muncul di tataran akar rumput. Terpenting, mereka harus cermat, tangkas dan trengginas menyusun pemecahan masalah berikut solusinya atas permasalahan yang berkembang di daerah yang diwakilinya.
Gaya visual narsisme senantiasa menjadi trending topic dalam perhelatan Pemilu 15 tahun terakhir ini. Efek visual yang muncul, jagad percalegan akan menuai masa paceklik saat gaya visual narsisme dijadikan pakem visual pembuatan alat peraga kampanye. Sejarah menyatat, ladang Pemilu tidak mampu membuahkan panen raya anggota legislatif yang mumpuni. Dengan demikian, pelan namun pasti, kekhawatiran lembaga legislatif tidak serius memperjuangkan nasib rakyat akan menuju orbit kenyataan. Akankah Pemilu 2014 mengulang hasil kelam Pemilu lalu?
Tebar Sampah Visual
Sementara itu, secara sepihak, lokasi yang dianggap strategis pun dikapling dan dikuasai para caleg peserta Pemilu 2014. Mereka dengan penuh percaya diri hadir di seantero ruang publik, ruang terbuka hijau, taman kota dan di antara rindangnya pepohonan. Di tempat itu, para caleg seakan mengajak berkomunikasi calon pemilihnya lewat alat peraga kampanye. Mereka tanpa malu dan ewuh pakewuh membentangkan dirinya dalam bentangan spanduk, rontek, billboard dan baliho yang ditancapkan dan dipakukan di batang pohon. Karena perilaku negatif semacam itu, Komunitas Reresik Sampah Visual menjulukinya sebagai ‘caleg penunggu pohon’. Ujungnya, ‘caleg penunggu pohon’ justru menebar rasa antipati pada calon pemilihnya. Pola komunikasi politik yang dijalankannya cenderung memaksakan kehendak pribadinya.
Hal itu terlihat saat ‘caleg penunggu pohon’ belum jadi anggota legislatif, tetapi realitas sosialnya sudah bertindak adigang, adigung, adiguna lewat pemasangan alat peraga kampanye yang amburadul, tidak ramah lingkungan dan mengabaikan ekologi visual. Selain itu, kenyataannya mereka belum resmi menjadi anggota dewan. Tetapi secara terstruktur, mereka sengaja melanggar aturan KPU No 15 Tahun 2013. Mereka dengan kesadaran penuh menebar sampah visual iklan politik di ruang publik. Apologinya, demi mengejar aspek popularitas di tengah calon pemilih yang belum mengenal dirinya.
Obral Janji Politik
Di antara kesibukannya menebar sampah visual iklan politik, para ‘caleg penunggu pohon’ lewat bentangan spanduk, rontek dan baliho yang jadi andalannya, juga menjalankan ritual obral janji politik. Seperti apakah janji politik yang diobral para ‘caleg penunggu pohon?’. Biasanya berupa janji surga. Sebuah janji politik yang realitas sosialnya sulit diejawantahkan. Seperti ini bunyi janji politik tersebut: piye kabare isih penak zamanku to?; mengutamakan aspirasi rakyat; awali dari kita untuk kesejahteraan bersama; bersih peduli tegas; berkarya untuk satu; bangun Indonesia dengan cinta, kerja dan harmoni; tertawa dan menangis bersama rakyat; berjuang untuk rakyat; berbakti dengan hati; mengangakat yang terbuang, menjemput yang tertinggal; merakyat menunaikan amanat rakyat.