Mohon tunggu...
Sumbo Tinarbuko
Sumbo Tinarbuko Mohon Tunggu... -

dosen komunikasi visual isi yogyakarta | konsultan komunikasi visual | pemerhati budaya visual | penulis buku dekave penanda zaman masy global, semiotika komunikasi visual, iklan politik dalam realitas media | relawan komunitas reresik sampah visual | http://sumbotinarbuko.com/cv-sumbo | instagram: @sumbotinarbuko | twitter: @sumbotinarbuko | facebook: @sumbotinarbuko

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Surat Terbuka untuk Sahabatku Rakyat Indonesia

1 Januari 2014   01:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:17 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
indonesia-bukan-tanah-airku

Oleh Sumbo Tinarbuko Surat terbuka ini ditujukan untuk sahabatku sesama rakyat Indonesia. Hati ini tergerak menulis surat terbuka  untuk sahabatku sesama rakyat Indonesia, setelah melihat foto yang diunggah  Mazda Jopra yang diedarkan  media sosial Facebook. Di dalam foto tersebut, terpampang pernyataan getir, dituliskan si empunya  ‘rombong’ yang diletakkan di atas motor berplat  nomor A 4197 VI. Rangkaian kata itu digoreskan dengan cat merah di atas ‘rombong’ warna putih. Di kiri dan kanan tulisan itu dihias gambar bendera kebangsaan Indonesia, Sang Saka Merah Putih. Pernyataan itu terbaca: ‘’Indonesia bukan tanah airku. Tanah masih ngontrak. Air masih beli.’’ (foto: dok. Mazda Jopra) Sahabatku sesama rakyat Indonesia, pernyataan tersebut, dapat dimaknai sebagai representasi rintihan rakyat Indonesia sebagai kawula alit. Curahan hati semacam itu bermuara dari keinginan rakyat Indonesia mendapatkan kemerdekaan lahir batin dalam arti sesungguhnya. Pertanyaannya kemudian, benarkah Indonesia bukan tanah airku? Benarkah tanah tempat kita berpijak masih ngontrak? Benarkah untuk mendapatkan air harus beli? Pada titik kecil  ini harus diakui, ternyata merdeka dalam arti sebenarnya, secara realitas sosial, ternyata sulit digapai. Semuanya ini terjadi akibat pemerintah, pejabat publik dan anggota dewan lebih bahagia membincangkan dan menggerakkan kehidupan politik praktis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya Kekerasan Sudah menjadi rahasia umum, belakangan ini, penyelenggara negara  terlihat enggan memikirkan nasib rakyatnya. Mereka setengah hati dalam menyejahterakan hidup dan kehidupan rakyatnya. Parahnya, mereka abai memberi perlindungan agar rakyat dapat terus hidup dalam garis kesejahteraan yang merata. Itu terjadi akibat hidup dan kehidupan di negara ini dikuasai sekelompok elit politik dan segolongan orang berduit. Sahabatku sesama rakyat Indonesia, pesimisme rakyat makin menderu saat pemerintah, pejabat publik, anggota dewan dan elit politik tidak menjalin hubungan kekeluargaan yang didasarkan pada semangat untuk saling melindungi dan melayani masyarakat berdasarkan asas komunikasi fungsional bukan komunikasi struktural. Dampak moral dan sosialnya, muncullah tragedi kekerasan (baik kekerasan verbal maupun kekerasan visual), kejahatan kerah putih serta kejahatan dengan pemberatan dan ketegangan sosial di berbagai daerah. Semuanya itu terjadi secara kasatmata, karena pemerintah melakukan pembiaran atas berbagai kekerasan okol (otot), terorisme, radikalisme, dan kriminalitas yang digerakkan orang  jahat, tumbuh subur di Indonesia. Kejahatan publik yang menjadi basis kekuatan kriminalitas dan radikalisme secara visual merebak menjadi sebuah budaya jahat. Itu terjadi akibat kekecewaan rakyat terkait dengan kehidupan sosial ekonomi yang timpang dan tidak berkeadilan sosial bagi masyarakat luas. Atas merebaknya kekerasan publik yang muncul di ruang publik, maka benarlah pernyataan yang ditulis si empunya motor  A 4197 VI: Indonesia bukan tanah airku! Tanah masih ngontrak dan  air masih beli. Budaya Visual Sahabatku sesama rakyat Indonesia,  memasuki tahun 2014 dan melewati momentum 68 tahun Indonesia merdeka,  realitas sosialnya rakyat Indonesia semakin terjajah. Lihatlah misalnya, lidah sebagian rakyat Indonesia dikendalikan produk kuliner bercitarasa luar negeri. Pemenuhan sembilan bahan pokok kehidupan sehari-hari tergantung dari pasokan impor. Adat istiadat dan kebudayaan asli digempur dan dipaksa untuk ditinggalkan hanya dengan alasan agar dianggap sebagai orang modern. Beragam sinetron, talkshow, dan pertunjukkan musik  hasil tiruan televisi asing, menyuburkan jejaring penjajah industri tontonan di negeri ini.  Akibatnya, lahirlah budaya visual yang tidak mengakar dan membumi. Budaya visual semacam itu bukanlah hasil dari racikan budaya visual yang berasal dari berbagai kebudayaan dan kesenian hasil  anggitan nenek moyang  yang  tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Bangsa Indonesia oleh pihak tertentu dikondisikan sebagai  bangsa konsumen, bangsa gumunan, dan bangsa yang gemar menonton.  Rakyat pun selalu diposisikan sebagai bangsa konsumen yang ditaklukkan dengan ideologi budaya instan, gaya hidup modern yang  konsumtif dan hedonis. Penjajahan visual dan penjajahan selera semacam ini dibelitkan ke dalam otak rakyat Indonesia lewat program ideologi pembodohan. Program pembodohan dan pemiskinan imajinasi visual tersebut  secara sistematis di masukkan lewat indera mata rakyat Indonesia melalui tayangan program televisi. Sahabatku sesama rakyat Indonesia,  jika pemerintah, pejabat publik dan anggota dewan tidak segera berbenah diri,  rakyat pun semakin bersedih.  Ketika rakyat dirundung kesedihan permanen, maka kawula alit merasa hidup sendiri tanpa perlindungan dari pemerintah dalam melangsungkan hidup dan kehidupannya di jagad raya ini. Pertanyaannya kemudian, wahai tuan pemerintah, tuan pejabat publik, tuan anggota dewan yang terhormat, tegakah Anda dengan keadaan semacam ini? Budaya Berkeadilan Sahabatku sesama rakyat Indonesia,  lalu apa yang harus kita lakukan? Meski bersedih secara nasional, kita tidak boleh nglokro, kita tidak boleh putus asa. Rakyat Indonesia adalah sekumpulan manusia kreatif yang tangguh. Sejarah zaman sudah membuktikan hal itu. Secara konkret kita bergerak sesuai dengan talenta masing-masing. Kita bergerak secara bergotong royong untuk menyelamatkan masa depan rakyat  dan bangsa Indonesia lewat akal pikiran serta nalar perasaan. Modal sosial rakyat Indonesia adalah kekuatan kolektif rakyat baik secara virtual berbasis media sosial maupun kekuatan riil yang tersebar dari komunitas desa, kampung maupun kota  untuk bergerak maju menuju Indonesia yang lebih baik lagi. Mari sahabatku sesama rakyat Indonesia,  kita bergerak bersama demi mewujudkan kehidupan bermasyarakat dengan mengedepankan budaya berkeadilan yang manusiawi dan bermartabat. Terima kasih. *) Sumbo Tinarbuko adalah Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta dan Pemerhati Budaya Visual | Twitter: @sumbotinarbuko |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun