Peringatan 60 tahun Konprensi Asia Afrika telah dimulai. Peringatan dimulai dengan SOM (Senior Official Meting) yang merupakan pertemuan antara delegasi peserta yang menduduki jabatan eselon II s/d menteri walaupun ada staf yang mendampingi. Peringatan yang bertajuk Growing Together ini melandasi terbukanya kerjasama diantara berbagai bidang yang bisa dilakukan oleh para delegasi melalui pertemuan bilateral dan dikukuhkan dengan MOU. SOM inilah yang akan menjadi dasar dan menentukan arah pertemuan kepala negara/kepala pemerintahan.
Kalau semula banyak negara yang mengembangkan diri dengan memproduksi barang dan jasa dan mengeksportnya berdasarkan teori yang mempunyai comparative advantage, maka sejak India dan beberapa negara lain termasuk Indonesia yang tidak mengikuti teori perdagangan internasional terakhir ini ikut menikmatinya. Berdasarkan ajaran comparative advantage maka Indonesia dan juga India baiknya memproduksi barang yang mempunyai keunggulan komparativa dan bersifat padat karya seperti sepatu, teksil, dsb. Sehingga kalau kita menjumpai ada sepatu yang harganya US $7 di Dallas dan ternyata itu buatan Indonesia kita jangan heran. Hal yang serupa juga bisa kita jumpai di Melbourne. Namun kalau kita mendapati ada tank dan pesawat terbang di Emirat Arab atau di Afrika yang ternyata buatan Pindad atau PTDI nah kita baru bisa kaget. India yang mulai tahap pembangunannya dengan tahapan industri dipandang sebagai langkah yang aneh karena tidak mulai dengan pembangunan sektor pertaniannya. Mereka justru fokus pada pembangunan industri berat yang bersifat capital intensive dan technological intensive. Suatu industri yang memang menghasilkan barang dengan value added yang tinggi. Sedang Indonesia yang kini memasuki sektor industri yang padat modal dan tehnologi itu setelah kita sebelumnya mengikuti tahapan pembangunan yang bersifat konvensional dengan diawali pembangunan di sektor pertanian.
Konprensi Asia Afrika telah membuktikan pandangan founding fathers kita dari Bung Karno, Ali Sastroamijoyo dll yang jauh kedepan. Konprensi itu diadakan untuk menyikapi masih banyaknya negara di Asia Afrika yang saat itu masih dalam katagori growing pain, baik dalam bentuk masih berjuang untuk merdeka, baru dalam tahap dijanjikan untuk merdeka seperti menjadi negara protektorat dsb. Peringatan Konprensi Asia Afrika itu kini tetap rilevan karena walau banyak negara sudah merdeka namun mereka banyak yang harus terus berjuang karena masih sibuk dengan masalah keamanan dan ekonomi yang terus melilitnya. Masalah lain seperti timbulnya banyak kelompok radikal radi Al Qaeda, ISIS dll itu merupakan penomena yang sebelumnya tidak diduga. Namun karena gerakannya mencakup lintas negara menjadikan masalah terakhir ini sangat menyibukkan banyak pihak. Pertanyaanya, apakah peringatan KAA itu akan bisa menghasilkan kerja sama untuk menanggulangi masalah-masalah itu?
Hal itu akan sangat tergantung kepada sikap dan pandangan para delegasi. Bila dalam peringatan itu bisa dikembangkan sikap bersama untuk growing together dengan mengesampingkan ego politik negara masing-masing maka peringatan KAA ini akan benar-benar akan efektif menghasilkan kesepakatan bersama yang saling membantu. Masalah yang timbul belakangan ini terlihat semakin rumit sehingga para peserta harus mampu untuk mensimplified masalah. Semoga para delegasi sudah mampu meninggalkan era Kids on the block 25 tahun yang lalu dengan hit mereka Growing Pain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H