Pelayanan Publik Jakarta Yang kata Bu Risma Belum OK. Warga menggugat.
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini menilai bahwa Jakarta yang menjadi ibu kota NKRI tidak diimbangi dengan pelayanan yang memadai. Bu Risma juga heran mengapa Jakarta belum menerapkan e-government dalam pelayanannya. Dengan APBD yang sangat tinggi dan dengan kualitas SDM yang lebih baik logikanya Pemprov Jakarta bisa memberikan pelayanan prima kepada warganya.
Menanggapi penilaian tersebut, Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) menukas bahwa tidak sepantasnya Jakarta dibandingkan dengan Surabaya. Surabaya hanya setara dengan Jakarta Pusat atau Jakarta Selatan saja. Ahok menduga bu Risma belum memahami benar tentang Jakarta. Kita semua sudah e-government kok.Sampai seluruh kantor lurah sudah viber optic, sudah ada BPTSP dan sudah jalan 3 bulan sampai semua urusan di kantor BPTSP," jelas Ahok.
Di DKI Jakarta ada jalan provinsi serta ada pula jalan negara. Sehingga menurut Ahok, Risma tidak paham kalau menyindir tentang banyaknya tumpukan tanah bekas galian di pinggir jalan yang sudah mengeras.Ini kan ada jalan provinsi ada jalan negara. Kadang ada Telkom, PLN di jalan provinsi ijin dia gali dan dia nggak nutupin itu sudah kita peringatin. Kalau jalan berlubang memang kita akui trans Jakarta kacau balau. Tapi 13 sungai bukan kita yang urus kok," terangnya.
Penilaian yang fair
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tela melewati beberapa fase yang penuh dengan berbagai kompleksitas permasalahan dan bersifat dinamis melalui :
ØUU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
ØUU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, namun karena :
- kurang lengkapnya peraturan pelaksanaan dari UU tersebut
- menjaga pertumbuhan dan stabilitas ekonomi serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
maka pemerintah tetap memilih pemerintahan yang sentralisasi.
Terjadinya krisis pada tahun 1997 menyebabkan :
•Resesi ekonomi : penurunan kondisi perekonomian dengan pertumbuhan ekonomi negatif 2 kuartal berturut-turut
•Terjadi tingkat pengangguran dan inflasi yang tinggi, kurs valas dan indeks harga saham yang labil & penurunan aktivitas ekonomi dan investasi
•Terjadi depresi karena resesi berlangsung lama yang menyebabkan hiperinflasi sehingga ekonomi menjadi collapse
•PDB Indonesia mengalami kontraksi dengan minus 13%, terjadilah kerusuhan sosial dan menyebabkan terjadinya pergantian pemerintahan.
Dampak dari krisis adalah :
•Kesadaran bahwa pemerintahan yang sentralistik itu mahal, tidak efesien dan tidak akuntabel
•Program pemerintah yang sentralistik dinilai banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan ciri daerah sehingga tidak mampu mengakomodasikan aspirasi rakyat
•Diakui bahwa dalam pemerintahan sentralistik maka partisipasi rakyat rendah dan hubungan dengan pemerintah kurang harmonis
Diubahlah kemudian pemerintahan sentralistik menjadi desentralisasi dan pemberian otonomi daerah. Dengan otonomi daerah seharusnya rakyat diuntungkan karena pemerintah daerah bisa menyusun rencana pembangunan daerahnya sesuai dengan kondisi dan ciri daerahnya masing-masing. Dengan otonomi daerah seharusnya pemerintah daerah semakin dekat dengan rakyatnya. Dengan otonomi daerah seharusnya peran serta rakyat dalam pembangunan juga semakin tinggi. Lalu bagaimana dengan kondisi di Jakarta?
Kalau mau fair maka sebaiknya dilakukan survey tentang kepuasan warga Jakarta terhadap pelayanan pemerintah daerahnya. Dengan menggunakan lembaga yang independen maka survey bisa dilaksanakan. Namun kita semua harus me nyadari bahwa Sang Pencipta telah menetapkan segala sesuatu itu berpasangan. Baik-buruk, bagus jelek, siang-malam, positif dan negatid dsb. Oleh karena itu bila pendapat seseorang atas suatu hal ternyata negatif maka kita harus bisa menerima.
Kalau dari penilaian secara kasat mata kita bisa melihat bahwa program kerja dan pelayanan publik dari Pusat Pelayanan Terpadu di kantor walikota, kecamatan, lalu pelayanan di Puskesmas dan juga pelayanan di kelurahan perlu ditingkatkan karena belum bisa dinilai bagus. Pelayanan pembuatan akte kelahiran misalnya, dijanjikan selesai 2 minggu namun kenyatannya jauh lebih lama. Ruang pelayanan juga tidak disiapkan dengan memadai karena tidak rapi, tidak ada refreshment dan tidak ada petugas yang mengarahkan yang bisa membuat warga yang datang merasa senang karena disambut dengan baik dan diperhatikan . Seharusnya ada computer yang bisa digunakan untuk mengetahui pelayanan apa saja yang tersedia, prosedur (SOP) setiap pelayanan, persyaratannya, waktunya dan kalau harus bayar disebutkan besarnya biaya.
Pelayanan di Puskesmas misalnya, obat yang tersedia nampaknya masih sangat standar dengan obat generik. Bagi rakyat yang mempunyai penyakit yang memerlukan obat khusus tertentu seperti sakit jantung, asma, diabetes belum bisa dilayani secara memadai, padahal APBD DKI sangat tinggi. Begitu juga untuk kesehatan gigi obat yang tersedia juga kualitasnya belum baik, sehingga kualitas pengobatan giginya rendah seperti tambalan yang tidak kuat dsb. Dengan buruknya pelayanan BPJS seharusnya bisa ditanggulangi dengan pembangunan RSUD berkapasitas tinggi yang banyak yang disertai dengan fasilitas, dokter dan obat yang memadai. Menyediakan aqua bagi yang datang,biayanya tentunya tidak mahal tapi akan sangat bermakna.
Begitu juga pelayanan di kelurahan. Tidak ada peningkatan signifikan dalam cara melayani rakyat. Sikap pegawai, cara menyambut tamu dan cara melayani tamu juga tidak ada perbaikan. Apa lagi pelayanan E-KTP yang tidak pernah jelas waktu jadinya. Belum tersistemnya pelayanan dan belum dikembangkannya sikap melayani dari PNS Pemprov DKI Jakarta tampaknya merupakan pokok masalah sehingga pelayanan publik belum baik.
Dalam pembangunan atau perbaikan infrastruktur seperti jalan, selokan, jembatan, taman dsb. tidak nampak adanya monitoring dan evaluasi pekerjaan. Bila ada tanah tercecer yang mengeras memang selalu terjadi dan terlihat di semua tempat yang ada pembangunan seperti itu. Bahkan pemborong PLN dan Telekom kalau ditegor malah sok tahu bahwa mereka sudah bekerja seperti perintah bosnya. Akibatnya bila ada galian dan lalu turun hujan, kendaraan bisa kejeblos. Bekas galian dan ceceran tanah di jalan juga tidak pernah dibersihkan. Seperti kata Pak Ahok bahwa pemborong sudah diperingatkan namun kenyataannya kebanyakan memang masih bandel dan tidak ada yang mengawasi. Oleh karena itu kalau bu Risma melihat sendiri pemandangan seperti itu memang kenyataannya ada dan itu fakta, bukan fitnah. Karena tidak ada yang mengawasi dan mengevaluasi, banyak hasil pekerjaan pemborong yang kualitasnya sangat buruk. Normalisasi selokan dan penutupannya dengan beton banyak yang tidak dikerjakan seluruhnya, kedalaman dan lebar selokan tidak bertambah dan beton penutupnya juga tidak rapi dan bahkan menggangu karena tidak rata sehingga bisa membahayakan pejalan kaki. Tentang e-government, mungkin warga Jakartamasih banyak yang tidak tahu apalagi merasakan pelayanannya.
Sedang pekerjaan normalisasi sungai dan pekerjaan jalan yang bukan tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta, seharusnya ada koordinasi. Sebelum pekerjaan dilakukan, tentunya bisa dilakukan pertemuan koordinasi agar pekerjaan bisa memenuhi jadual dan standar kualitas yang ditentukan. Selama proyek berjalan agar dijaga kebersihan dan ketertiban lingkungan. Perempatan ex cocacola yang sudah lama rusak sehingga rawan kecelakaan dan kendaraan rusak karena lobang yang dalam, lama baru diperbaiki. . Begitu juga kondisi di jalan raya lain banyak yang seperti itu. Seharusnya ada petugas yang memonitor dan melaporkannya serta menanggulangi semua masalah yang ada, namun proses ini tidak jalan.
Bagaimana komunikasi dengan warga? Nampaknya masih kurang karena pejabat Pemprov jarang berkomunikasi dengan warganya. Gubernur sendiri dan wakilnya jarang kan menyapa warganya?Di awal-awal saja sebelum dilantik Pak Djarot banyak melihat pelosok Jakarta, tapi sekarang tidak pernah lagi? Bahkan dikirimi undangan saja, maaf boro-boro mau datang, dijawab saja suratnya tidak.Karena komukasi dengan warganya kurang baik sehingga peran serta warga dalam pembangunan juga rendah. Warga belum menjadi subyek dari pembangunan. Karena kondisinya masih seperti itu maka kalau APBD Jakarta lebih banyak diperuntukkan bagi birokratnya nampaknya belum waktunya karena kinerja mereka tidak bagus. Kembangkan sikap melayani dan rumuskan sistem pelayanan yang cepat, sistematis dan berkualitas. Baiknya dahulukanlah perbaikan pelayanan publik dan kualitas pekerjaan yang harus dilakukan. Disarankan agar mendatangi warga dan ajaklah warga berdiskusi.
Nah inilah masukan yang obyektif. Semoga Pak Ahok dan jajarannya tidak tersinggung dan marah karena kajian yang obyektif memang apa adanya. Semoga masukan ini bisa disimak, dianalisis dan dicocokan ke lapangan untuk perbaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H