"Hai, mana nih sobat-sobat yang harus mikir dua kali kalau mau bepergian jauh dengan ongkos yang lumayan mahal?"
Orang-orang biasanya ke luar negeri untuk sekolah, liburan, silaturahim, urusan bisnis, dll. Ongkos ke luar negeri pun terbilang mahal, apalagi bagi mahasiswi seperti saya, cukup menguras rekening, sangat fantastis. Namun, hanya berbekal do'a dan paspor (yang 1 tahun lagi habis masa berlakunya), akhirnya tibalah Allah takdirkan saya untuk bisa berkunjung ke negeri yang saya impikan sejak lama. Pengalaman ini diawali dari seorang teman yang meminta bantuan saya, dan mengajak saya untuk datang ke Istanbul. Segala urusan mengenai administrasi dan biaya, semuanya dia yang urus. MaasyaAllah, "the real rezeki min haitsu laa yahtasib", rezeki yang datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Tidak pernah terpikir sebelumnya bahwa salah satu impianku akan terwujud secepat ini.
Perjalanan dimulai pada 16 Agustus 2021. Terpantau, pesawat aman terparkir di lapangan udara, para penumpang yang terdiri mulai dari pelancong sampai mahasiswa, sudah menunggu di depan pintu gate. Saya berada di antara mereka, membawa koper dan menggendong ransel seorang diri.
Untuk pertama kalinya menaiki pesawat, Saya memberanikan diri pergi sendiri. Keadaan, suasana, dan aroma di pesawat mematahkan dugaanku bahwa naik pesawat pasti bikin mual. It’s actually “wrong”. Pesawat Ettihad yang saat itu memang sedang banyak diminati karna promonya, menjadikan kursi saat itu terisi penuh, dengan setiap satu kursi setelah satu penumpang dikosongkan untuk menjaga physical distancing antar penumpang. Di masa pandemi ini, persyaratan atau aturan di Bandara dan pesawat diperketat dengan berbagai protokol kesehatan. Mulai dari hasil tes PCR, masker, hand sanitizer, physical distancing, dan aplikasi eHAC. Ternyata naik pesawat tidak menyeramkan seperti yang dibayangkan sebelumnya. Kursi pesawat yang dilengkapi dengan seat belt, bantal, selimut, dan Inflight Entertainment (IFE) nirkabel atau layar hiburan di belakangnya, membuat para penumpang merasa aman dan nyaman, sehingga perjalanan terasa menyenangkan.
Pesawat melakukan transit di Bandara Internasional Abu Dhabi. Ternyata ini bukan hanya perjalanan pertamaku saja, melainkan lima orang PMI (Pekerja Migran Indonesia) yang kebingungan mencari pintu gate di Bandara Internasional Abu Dhabi, terlihat dari raut wajah mereka. Garis-garis kerutan di wajah pun menjadi saksi kerja keras mereka menyambung hidup dan memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.
Di belahan bumi lain, ada keluarganya yang menunggu kabar baik dan selalu mendo’akan mereka. Akhirnya kami bergabung sampai kembali menaiki pesawat menuju Istanbul, Turki. -Untuk sekadar informasi, jika melakukan transit di Bandara Internasional Abu Dhabi, lebih baik kita langsung tanyakan ke petugas Bandara di dekat pintu gate, untuk keberangkatan menuju negara tujuan kita lewat gate berapa. Karna berdasarkan pengalamanku dua kali transit di Bandara Internasional Abu Dhabi, pintu gate selalu tidak sesuai dengan yang tertulis di boarding pass, atau selalu ada perubahan pintu gate, dan saya hampir tertinggal pesawat. Berlari sambil membawa koper dan ransel dari gate 61 menuju gate 8 dan masuk ke dalam pesawat bersama rombongan penumpang lain yang terakhir adalah pengalaman yang sangat tidak bisa dilupakan.-
Layar di depanku menginformasikan bahwa 10 menit lagi pesawat akan landing di lapangan udara Bandara Internasional Istanbul. Sudah nampak dari atas awan, pesona negeri bekas Konstantinopel yang begitu indah. Arsitektur bangunan yang khas Eropa, dengan warna-warnanya yang pastel, sangat selaras dengan warna langit yang sangat cerah siang itu. Sebagai informasi lagi, di Bandara Internasional Istanbul jika kita ingin membawa barang dengan stroller itu tidak gratis, kita harus menyewanya dengan harga 10 TL. Di sanapun sudah disediakan money changer, jadi tidak perlu khawatir jika tidak membawa uang Turki (Turki Lira), karna kita bisa mendapatkannya dengan menukarkan uang rupiah. Di dekat jajaran stroller, di pinggir tempat pengambilan bagasi kita akan menemukan sebuah mesin. Di sanalah kita bisa menyewa stroller. Cukup masukkan uang 10 TL ke dalam mesin, maka satu stroller bisa diambil.
Seorang teman menjemput saya di Bandara. Sembari menunggu otobus, dia memberi sebuah kartu. Cukup menarik, karna hanya dengan satu kartu itu ternyata kita bisa menaiki berbagai jenis kendaraan umum di Istanbul, seperti otobus, marmaray, dan kapal. Tarif kendaraan secara umum berkisar antara 2 – 8 TL. Namun jika anda mahasiswa, maka anda bisa menggunakan kartu khusus pelajar dan secara otomatis akan mendapat potongan harga. Selama di Turki, temankulah yang menjadi tour guide-ku. Keadaan di Turki saat itu sudah mulai normal kembali karna kasus pandemi yang sudah melandai, suasana di Bandara, transportasi umum, tempat-tempat makan dan wisata sangatlah ramai dan tanpa social distancing. Tetapi mereka masih taat mengenakan masker. Saat itu di Turki telah memasuki penghujung musim panas, sehingga cuaca sangat panas dan terik, tetapi beruntungnya, kami dapat menikmati suasana dan panorama Istanbul yang begitu indah dan cerah.
Istanbul bukanlah ibu kota Turki, melainkan Ankara. Namun, Istanbul merupakan pusat aktifitas ekonomi terbesar di Turki, makanya dia lebih terkenal dibandingkan ibu kotanya sendiri. Jika anda keluar untuk jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata atau masjid-masjid di sana, bahkan hanya berjalan di pinggir jalan, maka anda akan melihat bendera Turki berkibar di mana-mana, menjulang tinggi dengan gagahnya, merah menyala menggambarkan jiwa bangsanya. Konon katanya, masyarakat Turki memang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Mereka ingin setiap orang asing yang datang ke Turki bisa melihat bendera yang menggambarkan nasionalisme bangsanya, dan juga budaya-budaya mereka agar dikenal luas oleh mancanegara.