Mohon tunggu...
Sumaryoto Padmodiningrat
Sumaryoto Padmodiningrat Mohon Tunggu... -

Putra Asli Wonogiri...yang Cinta Bangsa, Negara dan Budaya...

Selanjutnya

Tutup

Politik

SiBuYa Lambang Kehebatan

8 Februari 2010   03:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:02 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain Kura-kura Ninja, binatang yang sanggup memasuki wilayah politik Indonesia ialah “SiBuYa”. Bedanya, kalau Kura-kura Ninja adalah tokoh fiksi, yakni tokoh utama dalam film animasi anak-anak dari Jepang dengan judul yang sama, maka “SiBuYa” adalah binatang sungguhan, yakni seekor kerbau yang pada punggungnya dibubuhkan tulisan “SiBuYa” dengan cat.
“SiBuYa” menjadi tokoh fakta, bukan tokoh fiksi seperti Kura-kura Ninja, dalam aksi demonstrasi mahasiswa mengkritisi 100 hari pertama pemerintahan SBY-Boediono di kawasan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/1/2010). Pada aksi demo berikutnya di lokasi yang sama, Rabu (3/2/2010), yang antara lain juga mengktirisi masalah skandal Bank Century yang tak kunjung terselesaikan pemerintahan SBY-Boediono, sedianya “SiBuYa” juga diikutsertakan lagi, namun gagal karena di tengah perjalanan dicegat aparat keamanan di Kalimalang, Bekasi, Jawa Barat, tidak boleh memasuki wilayah Ibu Kota dengan dalih bisa mengganggu ketertiban umum.
Bedanya lagi, kalau Kura-kura Ninja yang dalam film animasi berperan sebagai pendekar penegak hukum diandaikan oleh Ketua Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR tentang Skandal Bank Century Idrus Marham sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka “SiBuYa” dimaknai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai binatang besar yang gemuk, malas, dan bodoh.
Pemaknaan “SiBuYa” sebagai binatang besar, gemuk, malas, dan bodoh ini disampaikan SBY saat “curhat” (mencurahkan isi hati) di depan rapat yang diikuti semua menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dan gubernur seluruh Indonesia di Istana Kepresidenan Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, Selasa (2/2/2010).
Sebagai politisi, saya pribadi tidak sependapat dengan aksi-aksi demo yang menyertakan binatang, apalagi jika benar keberadaan binatang itu dimaksudkan untuk menyindir penguasa. Cara-cara demo semacam ini tidak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran dan tata krama yang dianut Indonesia, dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berideologikan Pancasila. Saya bahkan mengajak kita semua untuk berpolitik secara santun dan berbudaya.
Tapi, saya kemudian juga merenung, benarkah yang dilakukan para mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya dalam aksi demo yang mengikutsertakan seekor kerbau itu tidak sopan?
Coba bandingkan, misalnya, lebih tidak sopan mana para demonstran itu dengan perilaku politisi di Senayan, misalnya ketika beradu argumentasi dalam rapat-rapat Pansus Century yang sampai melontarkan kata-kata kasar, bahkan membawa-bawa nama binatang pula, seperti, mohon maaf, anggota Pansus Cantury dari Partai Demokrat Ruhut Sitompul. Ruhut sempat melontarkan kata “bangsat” yang ditujukan kepada Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Pansus Century dari PDI Perjuangan.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Effendy Ghazali termasuk yang mempertanyakan itu. “Lebih tidak sopan mana demonstran yang membawa kerbau dengan anggota DPR yang dalam rapat sempat melontarkan kata bangsat?” tanya Effendy Ghazali ketika menjadi narasumber dalam sebuah dialog di salah satu stasiun televisi di Jakarta, Sabtu (6/2/2010).
Dalam hati, saya pun bertanya: mengapa aksi-aksi demo belakangan ini cenderung dilakukan dengan cara vulgar dan menjurus sarkasme, apakah itu lantaran demo-demo sopan yang mereka gelar selama ini tidak beroleh sambutan signifikan dari pemerintah, sehingga kemudian demo pun digelar vulgar? Mengapa pemerintah menjadi kurang sensitif? Apakah karena mereka takut kehilangan kekuasaan?
“Bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan. Takut kehilangan kekuasaan merusak watak mereka yang berkuasa, takut dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai,” kata pejuang demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi ketika menerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991.
Saya kemudian juga merenungkan, mengapa yang direspons SBY bukannya substansi dari aksi demo itu sendiri, melainkan hal-hal yang bersifat artifisial dan masih debatable? Bukankah tuntutan para demonstran itu sudah sangat jelas, cetho welo-welo: selesaikan skandal Bank Century dalam 100 hari pertama pemerintahan SBY-Boediono!
Ironisnya, alih-alih menyelesaikan skandal Century dalam 100 hari pertama pemerintahannya, SBY justru kian berputar-putar bak spiral bahkan dikhawatirkan menciptakan blunder dalam menyikapi skandal Century, antara lain dengan isu reshuffle kabinet yang diembuskan orang-orang Partai Demokrat, dengan harapan bisa menekan partai-partai mitra koalisi sehingga tidak akan “galak” lagi di Pansus Century. Dalam kaitan ini, kita juga menagih komitmen SBY yang waktu itu mempersilakan kasus Century dibuka selebar-lebarnya. Kalau memang tidak bersalah, mengapa mesti takut dan panik?
Akan lebih tepat kiranya jika SBY terlebih dulu merespons tuntutan para demonstran dengan menyelesaikan segera skandal Bank Century, baru kemudian mempersoalkan cara-cara demonstrasi yang membawa-bawa kerbau segala, bukan malah sebaliknya. Saya sependapat bahwa aksi demo yang membawa-bawa binatang tidaklah sesuai dengan nilai-nilai ketimuran, karena itu harus ditertibkan. Namun alangkah elegannya jika respons terhadap “demo kerbau” itu didahului dengan langkah SBY menyelesaikan skandal Century yang merugikan keuangan negara hingga Rp6,7 triliun, segera, hari ini juga. Rakyat sudah lama menunggu dan lelah. Pansus pun sudah jauh lebih lelah, tak bergairah.
Terkait “SiBuYa”, adalah menarik apa yang diungkapkan pengamat politik dari UI Tjipta Lesmana. Dalam astrologi China, katanya, kerbau adalah lambang kehebatan. Oleh sebab itu, SBY mestinya justru bangga ketika dianalogikan dengan kerbau dalam aksi demo 28 Januari silam.
"Kata biksu, kerbau itu lambang kehebatan, (lambang) luar biasa. Sebab itu, menurut saya, Pak SBY seharusnya bangga sekali," ujar Tjipta Lesmana dalam sebuah diskusi bertajuk “Pers: Antara Politik dan Kekuasaan” di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (6/2/2101).
Tjipta kemudian bercerita, sebelumnya ia bertemu dengan seorang menteri dan ditanya usianya berapa. Ternyata, usia dia dan sang menteri tersebut sama dengan usia SBY, 61 tahun, dan hanya selisih bulan. "Dia (menteri) bilang, berarti kita sama-sama kerbau, dong," kata Tjipta menirukan ucapan sang menteri dengan nada berseloroh.
Namun, Tjipta mengaku tidak mengerti dengan maksud ucapan menteri tersebut, sehingga akhirnya ia menghubungi seorang biksu (rohaniawan agama Budha) yang menguasai astrologi China, untuk mengetahui makna dari lambang kerbau. Biksu itu menyatakan, kerbau bermakna hebat. "Itu yang ngomong biksu ya, bukan saya," jelas Tjipta.
Kebenaran di dunia ini memang relatif, tak ada kebenaran mutlak. Semua tergantung sudut pandangnya. Makna lambang kerbau pun bisa multitafsir. SBY memaknai kerbau sebagai binatang besar dan gemuk, namun malas dan bodoh. Sementara astrologi China justru memaknai sebaliknya: kerbau adalah lambang kehebatan, keperkasaan.
Ular pun bisa dimaknai multitafsir. Bagi sebagian orang, ular diasumsikan sebagai binatang jahat, licik, berbisa, yang sengatan bisanya bisa sangat mematikan. Maka kalau ada orang jahat, suka menipu, omongannya menyengat tajam dan menyakitkan, ia akan disebut sebagai ular. Sebaliknya, dalam dunia kesehatan, ular dianggap bisa menjadi obat. Bisa ular bisa diambil untuk bahan vaksin yang bisa digunakan untuk menangkal bisa ular. Makanya, ular dijadikan lambang dalam dunia kesehatan. Lihat saja apotek-apotek yang tersebar di seluruh Jakarta bahkan seantero Nusantara. Tidak jarang apotek-apotek itu memajang lambang ular yang sedang melilit sebuah gelas. Ular tidak selamanya jahat.
Dalam konteks ini, saya mengajak semua pihak untuk berpikir jernih, cerdas, cerdik, arif, dan bijaksana. Mari kita ambil hikmah di balik musibah, mengambil keberuntungan dari sebuah kecelakaan, atau blessing in disguise.
Katakankah benar bahwa para demonstran itu mengandaikan SBY dengan kerbau yang dikonotasikan sebagai binatang yang besar dan gemuk, tetapi malas dan bodoh. Baiklah itu kita anggap sebagai “kecelakaan”. Namun, “kecelakaan” itu jangan serta-merta ditanggapi negatif. Kita harus dapat mengambil hikmah di balik “kecelakaan” itu. Kita maknai bahwa para demonstran itu mencoba mengingatkan SBY yang berpostur tinggi besar supaya tidak malas dan bodoh. Juga jangan sampai nyali SBY tidak sebesar postur tubuhnya, termasuk dalam menyelesaikan skandal Bank Century. Untuk bisa menarik hikmah semacam ini, kuncinya mudah: jangan panik!
Sebaliknya, jika kemudian kita berpandangan bahwa kerbau adalah lambang kehebatan atau keperkasaan seperti dalam astrologi China, maka SBY pun patut bersyukur, karena ia diharapkan bahkan didoakan menjadi pemimpin yang hebat, kuat, dan perkasa sehingga dapat dengan cepat menyelesaikan skandal Century yang telah menguras energi bangsa ini. Itulah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun